Girl In The Window Part 2

Cast : Joshua Tan a.k.a Hangeng
          Brittany Arthur (OC)

Notes : Hollaa! Ini kelanjutan dari Girl In The Window! Pertama-tama, ada yang perlu saya luruskan. Cast laki-laki adalah Hangeng ex Super Junior, BUKAN Chanyeol EXO. Karena persepsi yang salah ini, saya sempat berpikir untuk mengubah cast laki-laki menjadi Chanyeol. Namun saya batalkan karena satu alasan yang tak bisa saya sebutkan. Seperti biasa, maaf jika menurut kalian pendek, karena hanya itulah satu-satunya kritik yang saya dapat selama saya menulis. Maaf jika ada kesamaan alur, nama, tempat, dsb itu semua hanya kebetulan semata. Maaf jika readers tak mengerti alur cerita ini atau apapun itu. Maaf jika kurang menarik dsb. Seperti biasa diharapkan kritik, saran dari readers semuanya, karena saya masih pemula dalam dunia tulis-menulis. Happy reading and hope you like it!


***

Aku berjalan keluar dari kelasku. Mata pelajaran Matematika sudah berakhir dan itu membuatku lega. Belum genap satu minggu aku menuntut ilmu di Universitas Toronto ini, aku sudah bertemu dengan dosen Matematika yang killer.

“Aduh! Hah, kenapa bisa ada genangan air disini?! Argh! Sakit,” tiba-tiba kudengar suara seseorang. Padahal, tak ada siapapun disini. Kalau begitu.. Hantu?

Ah, tentu saja tidak, bodoh! Berhenti berpikir konyol! Aku memarahi diriku sendiri dalam hati.

Aku mulai memberanikan diriku untuk melihat siapakah yang berteriak. Jika benar itu hantu, aku akan langsung lari tanpa dikomando lagi!

Aku mulai menuruni anak-anak tangga yang ada satu-persatu dengan sangat hati-hati. Ternyata benar, memang ada genangan air disini. Siapa yang menjatuhkan air?

Belum habis aku menuruni anak tangga, kulihat seseorang terduduk di bawah tangga. Nampaknya dia seorang gadis. Mungkin ia terpeleset. Ah, rupanya pikiranku saja yang konyol!

Aku cepat-cepat menuruni sisa anak tangga dengan hati-hati. “Hey, apa kau tidak apa-apa?” tanyaku ketika sudah berada didekatnya.

“Entahlah,” jawab gadis itu lirih sambil terus meringis kesakitan.

“Apa kau bisa berdiri?” tanyaku lagi padanya. Untuk kali ini dia menoleh menatapku. Tanganku terulur tepat didepan wajahnya. Gadis itu menatap wajahku dan tanganku secara bergantian dengan sorot keraguan di matanya.

“Kau bisa berdiri?” tanyaku sekali lagi karena gadis itu tak menjawab pertanyaanku. 

Masih dengan keraguan di matanya, gadis itu mengulurkan tangannya dan menggenggam tanganku dan mencoba berdiri. 

“Um.. Ah.. Uwaa!”

Aku segera menangkap tubuh gadis itu. Dan.. Kini ia berada tepat dalam pelukanku, tatapan  mata kami bertemu. Dan dapat kupastikan jarak kami sangat dekat. Yah, menurut perkiraanku sekitar 5 cm. Dapat kulihat dengan jelas mata hazel brown gadis itu membesar.

“Um.. Maaf, sepertinya kakimu terkilir,” kataku gugup pada gadis asing yang masih ada dalam pelukanku.

Dan tiba-tiba aku mengangkat tubuh gadis itu—menggendongnya ala bridal style sambil berjalan menuju UKS. Dan bisa ditebak, gadis itu sangat kaget melihat aksiku yang amat tiba-tiba ini. Aku sendiri tak mengerti mengapa aku melakukannya. Untung saja tak ada mahasiswa lain disini.

Gadis asing itu berusaha melepaskan diri dari pelukanku. Siapa yang tidak? Bayangkan jika kau digendong ala bridal style oleh laki-laki yang samasekali tak kau kenal, pasti kau juga akan melakukan hal yang sama. Namun, aku malah semakin mengeratkan pelukanku sambil terus berjalan ke UKS. Dan tentu saja tenagaku jauh lebih besar dari gadis ini, sehingga ia selalu gagal.

“Turunkan aku! Siapa kau berani melakukan ini padaku?!” teriak gadis itu marah—tepat di telingaku. Namun, aku tak peduli akan teriakannya itu.

Akhirnya kami sampai di UKS. Aku segera membaringkannya di tempat tidur. 

“Diam disini, bodoh!” desisku tajam sambil menatapnya setajam desisanku padanya karena gadis asing itu kelihatannya ingin pergi dari tempat ini.

“Kau! Kau punya hak apa mengataiku bodoh, huh?!” sahutnya cepat sambil menatapku tajam.

“Apa? Hak? Tentu saja aku punya,” jawabku asal. Padahal jelas-jelas aku tahu bahwa aku samasekali tidak—atu belum mengenal gadis asing ini, jadi aku samasekali tak memiliki hak untuk mengatainya ‘bodoh’.

“Apa?! Kau bilang apa? Kau punya hak?” bentak gadis asing itu. “Kau! Kau laki-laki gila dan tak tahu diri! Kau menggendongku ala bridal style, dan membawaku ke tempat ini!”

Aku menatap “gadis asing” ini tajam. Okay, aku tahu aku salah dalam hal ini. Aku mengerti jika ia mengataiku “gila” dan “tak tahu diri” setelah semua perlakuanku padanya. Tapi, aku hanya menolongnya! Oh, bahkan ia samasekali tak mengucapkan terima kasih!

Tentu saja, karena gadis asing ini sudah terlanjur marah.

Aku tak memperdulikan gadis asing yang ada didepanku yang masih terus mengomel. Lebih baik bagiku jika aku duduk di satu bangku yang terletak di sebelah tempat tidur daripada mendengarkan omelan “gadis asing” yang menurutku samasekali tidak penting.

Aku pun duduk di bangku tersebut, mengeluarkan Ponselku, dan mulai asyik dengan benda berbentuk persegi panjang, berwarna hitam, serta berteknologi touch screen tersebut.

“Kau dengar kataku?! Hey, kau! Dengar tidak?!”

Aku tak memperdulikan gadis asing itu—pura-pura tak mendengar apa yang ia katakan. 

“Kau dengar tidak?!” bentak gadis itu lagi. Entah pada siapa—aku tak tahu. Ah, tidak. Sebenarnya aku tahu. Bentakan itu ditujukan untukku.

“Hey, kau! Kau ini manusia atau patung?!” bentaknya lagi untuk kesekian kalinya. “Jawab aku jika kau memiliki telinga untuk mendengar!”

“Kau bicara dengan siapa, bodoh?” kataku akhirnya tanpa sedikitpun menoleh dari Ponselku. Aku tak ingin menoleh sedikitpun dari Ponselku saat ini hanya untuk memandang wajah “gadis asing”—atau mungkin “gadis bodoh”—kurasa itu lebih tepat—itu barang sedetik pun. Disuruh pun aku takkan mau. Tidak, terima kasih.

“Namaku bukan ‘bodoh’!” protesnya untuk kedua kalinya padaku—lagi-lagi tepat ditelingaku. “Dan tentu saja aku bicara padamu!”

“Dan namaku juga bukan ‘kau’ seperti yang kau sebutkan berulang-ulang,” sahutku tajam dengan cepat sambil mengernyit dan menggosok-gosok telingaku dengan telapak tangan. 

Gadis ini benar-benar bodoh, atau gila? Tanyaku dalam hati.  Ah, kurasa tidak. Tapi dia benar-benar galak.

Tak ada Dokter yang bertugas disini. Maklum, saat ini sudah jam pulang. Mungkin Dokter itu juga sudah pulang.

“Hey, kau!”

“Bodoh!”

“Kau saja duluan,” seruku—lagi-lagi bersamaan dengan “gadis asing yang bodoh” ini.

“Sudah kubilang namaku bukan bodoh! Apa kau tak mengerti?!” teriaknya protes untuk ketiga kalinya.

“Kau mau apa, bodoh?” tanyaku tanpa memperdulikan kata-katanya barusan. Dan tentu saja aku tak menoleh dari layar Ponselku sedikitpun.

“Kau harus meminta maaf padaku!’ seru gadis itu. Uhh.. Gadis ini benar-benar galak!

“Haruskah?” tanyaku sambil mengernyit.

“Ya! Harus! Catat itu baik-baik dalam otakmu!”

Ah kurasa gadis ini benar-benar gila. Gila dan galak. Dan mungkin juga bodoh. Minta maaf, katanya? Yeah, aku tahu aku salah. Tapi hey, aku bermaksud untuk menolongnya! Seharusnya dia mengucapkan terimakasih padaku! 

“Bagaimana jika aku tidak mau?”

Kau harus melakukannya!”

“Dan jawabanku adalah tidak,” jawabku santai.

“Lakukan, atau tidak?” Tanya gadis itu galak dengan tatapan menantang.

“Tidak,” jawabku tegas.

“Kau! Kau benar-benar laki-laki gila!” teriaknya marah. Gadis itu mulai turun dari tempat tidur dan berjalan ke arahku sambil menatapku dengan tatapan galak.

Gadis itu semakin mendekat ke arahku. Ia masih berjalan tertatih-tatih. Badannya mulai limbung, dan..
“Uwaa.. Ahh!”

Aku segera menangkap tubuh gadis itu sebelum ia benar-benar terjatuh ke lantai. Dan bisa ditebak, tatapan mataku kembali bertemu dengan tatapan matanya untuk kedua kalinya. Mata hazel brown-nya kembali membesar. 

“Lebih baik kau diam, bodoh!” kataku sambil membantunya berjalan ketempat tidur. “Dan tolong jangan berteriak-teriak. Apalagi ditelingaku,” kataku lagi teringat dengan tingkah lakunya sejak tadi. “Aku muak mendengarnya, kau tahu?”

“Pergi kau!” teriaknya mengusirku. 

Seketika aku melotot mendengarnya. Apa? Pergi katanya? Hey, aku sudah berbaik hati menolongnya, tapi dia malah mengusirku? Keterlaluan!

“Apa?! Pergi katamu?! Kau gila!” protesku.

“Minta maaf padaku atau silakan  keluar dari sini!” katanya keras memberiku 2 pilihan.

Hah, baiklah! “Maafkan aku,” kataku datar dengan singkat padanya—kemudian berbalik dan berjalan menuju pintu UKS yang tertutup.

BRAKK!

Aku membanting pintu UKS keras-keras karena kesal. Yeah, tentu saja aku meninggalkan gadis asing yang galak dan bodoh itu di dalam. Biar saja! Apa peduliku?

Aku pun berjalan menuju tempat parkir. Ya—aku mau pulang. Aku menemukan mobilku, masuk ke dalamnya, dan duduk di kursi pengemudi. Aku mulai memasukkan kunci mobil ke dalam lubangnya dan tak butuh waktu lama untuk menunggu hingga mesinnya hidup. Aku hendak menginjak pedal gas ketika aku teringat sesuatu.

Universitas ini sudah cukup sepi—tak seramai sebelum aku bertemu dengan gadis asing itu. Hanya ada beberapa mahasiswa yang masih bermain basket sebelum pulang. Dan lagi, kini gadis itu sendirian di Ruang Kesehatan—kakinya terkilir pula. Dan aku meninggalkan gadis itu sendirian!

Tolonglah dia! Obati dia dan antarkan dia pulang!

Biarkan saja dia sendirian di sana! Bukankah dia sendiri yang mengusirmu—menyuruhmu pergi? Biar saja dia sendirian di sana! Lebih baik kau pulang ke Rumah dan istirahat!

Dia seorang gadis! Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?

“Argh!!” erangku gusar karena perang batin yang berkecamuk dalam pikiranku. Aku membayangkan, saat ini di atas kepalaku ada 2 sosoksosok iblis dan malaikatdan kini mereka tengah berdebat di atas kepalaku—seperti adegan-adegan yang biasa terdapat di dalam komik-komik atau kartun.



Haruskah aku kembali ke Ruang Kesehatan, mengobatinya, dan mengantarnya pulang?

Atau lebih baik pulang ke Rumah?

Akhirnya aku mematikan mesin mobilku, mencabut kunci mobil dari lubangnya, dan keluar dari mobil. Aku berjalan ke arah Ruang Kesehatan.

Ya—aku memutuskan untuk kembali lagi saja. Bagaimana pun juga, dia seorang gadis. Aku tak mau terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan padanya—walaupun aku tak mengenalnya dan perlakuannya padaku tidak menyenangkan. Lagipula, jika aku tetap membiarkan gadis asing yang galak dan bodoh itu sendirian disana, bisa saja ia akan membicarakanku ke mahasiswa lainnya. Tentu itu akan sangat memalukan bagiku!

Aku baru saja hendak membuka pintu Ruang Kesehatan ketika kulihat dari jendela gadis asing yang galak dan bodoh itu masih duduk diatas tempat tidur—sama seperti sebelum aku meninggalkannya—sambil mengurut-urut kakinya yang terkilir. Cih! Kurasa gadis itu memang bodoh. Benar-benar bodoh. Bagaimana jika kakinya yang terkilir itu salah urat karena pijatannya sendiri? Ck, benar-benar bodoh!

Aku pun membuka pintu Ruang Kesehatan dan masuk ke dalam. Gadis itu menoleh ke arah pintu. Ia memandangku dengan tatapan mengejek—menyipitkan matanya. Tapi aku tak memperdulikan tatapannya itu.

Aku berjalan menuju lemari tempat obat-obatan diletakkan. Kuambil barang-barang yang dibutuhkan.

“Hentikan itu,” kataku pelan namun aku yakin ia pasti dapat mendengarnya.

Ia masih menatapku dengan cara yang sama seperti tadi. Aku berlutut dihadapannya, dan mulai mengobatinya. Dan anehnya ia tak menolak sedikitpun—tak protes, berteriak-teriak, atau apapun itu seperti tadi. Ia hanya diam. Dan tentu masih dengan tatapan yang sama. Tatapan mengejek dengan menyipitkan mata.

Namun, itu semua berbeda saat aku menyentuh kakinya yang terkilir. Ia tiba-tiba menendangku hingga aku tersungkur. Tentu gadis itu menggunakan kaki kirinya, bukan kaki kanannya yang terkilir. Uhh.. Tendangannya sakit sekali! Apa gadis ini bisa karate?

Aku meringis kesakitan sambil mengusap-usap dahiku perlahan. “Aku ingin mengobatimu,” kataku datar.

Aku menyentuh kaki kanannya sekali lagi. Dan kali ini tak ada teriakan, atau tendangan sebagai penolakan. Namun, masih bisa kurasakan tatapannya yang galak itu. Benar-benar gadis yang mengerikan.

Okay, aku tahu aku sudah memberi gadis itu banyak julukan, padahal baru hari ini aku bertemu dengannya. Tapi, itu memang kenyataan.

“Nah, selesai!” kataku saat aku sudah selesai mengobati gadis ini. “Kau tidak pulang?” tanyaku.

“Aku bisa pulang sendiri,” jawabnya ketus. 

“Kau yakin?” tanyaku lagi. Namun, sepertinya aku tak memerlukan jawaban lagi. Gadis itu mencoba berjalan sendiri ke arah pintu Ruang Kesehatan saat aku menanyakan hal tersebut. Dan bisa ditebak, dalam waktu kurang dari 5 menit gadis itu jatuh tersungkur.

“Kau mau kuantar pulang ke Rumah? Dimana Rumahmu?” tanyaku berinisiatif mengantarkan gadis yang galak dan macam-macam lagi itu. Aku berpikir sebaiknya aku menuntunnya saja agar dia tak lagi berburuk sangka padaku. Tapi aku ragu apa kakinya yang terkilir itu bisa menuruni tangga yang ada di dekat Ruang Kesehatan.

“Sudah kukatakan padamu, aku—Uwaa!!”

Belum selesai kata-kata gadis itu, aku sudah mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi. Dan kini tubuhnya berada di dalam genggamanku—dengan gendongan ala bridal style.

“Turunkan aku! Sudah kukatakan, aku bisa pulang sendiri!” kurasa aku harus menambahkan satu julukan lagi untuknya : Keras kepala. Gadis gila, galak, bodoh, dan keras kepala.

Aku tak memperdulikan setiap teriakan yang ia tujukan padaku. Aku membuka pintu mobil, dan menaruhnya di kursi penumpang—cepat-cepat menutup dan mengunci pintunya. Kemudian, aku membuka satu pintu lagi, duduk di kursi pengemudi, dan kembali menutup pintunya. Kumasukkan kunci mobil ke dalam lubang kunci dan mesin mulai menyala. Kemudian, kujalankan mobil keluar dari kawasan Universitas.

“Dimana Rumahmu?”

To be Continued

Gimana? Jelek? Pendek? Gak jelas? Gak ngerti? Feel-nya gak dapat? Iya, benar. Tapi saya tetap mengharapkan kritik dan saran dari readers semuanya. Gomawo sudah baca FF gaje ini. Gomawo!
 


Comments

Popular posts from this blog

It’s You