Beautiful In White Part 3



Cast : Main Cast : Dennis Park a.k.a Leeteuk
                             Abigail Lavoie (OC)
          Other Cast : Aiden Lee a.k.a Donghae


Ini lanjutan dari Beautiful In White. Semoga suka yaa. Ide cerita ini murni dari pikiran saya. Jika ada kesamaan latar, alur, dsb itu hanya kebetulan semata. FF ini juga di post di FB dan blog pribadi. Oh ya, mian kalo judul tak sesuai dengan cerita. Karena saya gak pintar buat judul. Dibutuhkan kritik dan saran dari readers, karena saya masih pemula. Gomawo. Happy Reading!

***

Je t’aime. –Beautiful In White Part 3-

BRAKK!! 
Aiden membanting pintu kamarnya keras-keras—melampiaskan seluruh amarahnya yang meluap-luap. Detik berikutnya, ia menghempaskan  tubuhnya di atas tempat tidurnya yang empuk. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan penuh amarah.
Tunggu! Ada apa denganku? Tanyanya dalam hati. Ada apa? Tak biasanya aku seperti ini. Aku marah? Pada siapa? Pada Abigail? Sahabatku sendiri? Tapi kenapa?
Kini ia menatap langit-langit kamarnya kosong—tak seperti tadi yang menatap dengan penuh amarah. Ia bertanya-tanya dalam hati. 
Hey! Tentu saja aku tak memiliki perasaan apapun padanya kan?  Aku tak memiliki perasaan antara laki-laki ke perempuan itu padanya kan? Ya kan?
“Argh!!” Teriak Aiden gusar. Nampaknya ia benar-benar bingung akan apa yang terjadi padanya—bingung dengan perasaannya sendiri.
Aiden berpikir-pikir kembali. Selama ia bersahabat dengan Abigail—tepatnya semenjak masuk kuliah—ia merasakan perasaan aneh menyusup dalam hatinya. Ya—ia ingat itu. Ia sering merasakan jantungnya berdebar-debar saat berada di dekat perempuan itu, bahkan terkadang jantungnya serasa berhenti berdetak. Semula ia berpikir mungkin itu hanya karena ia kecapaian. Akan tetapi, rupanya itu terus-menerus terjadi hingga saat ini. Ia juga sering merasa ingin melihat Abigail setiap hari. Abigail juga hal yang paling pertama ia pikirkan saat ia bangun tidur di pagi hari dan saat ia akan tidur kembali di malam hari. Wajah Abigail juga sangat sering berenang-renang di otaknya. 
Apa.. Aku jatuh cinta padanya?  Tanyanya dalam hati. Ini tidak mungkin. Tidak. 
You’re not his girlfriend!”
Hey, Aiden! Why?  I like him, ah no, I love him!”
Ucapan Abigail tadi kembali terngiang-ngiang di telinganya. Dalam sekejap seluruh kejadian yang ia lewati bersama Abigail kembali terngiang-ngiang di otaknya—seperti menonton gulungan film lama. Seperti slide presentasi dosennya di Universitas.
Ah, kalau itu benar, lalu mengapa aku marah padanya?  Tanyanya lagi dalam hati. Apa aku cemburu? Tidak. Tidak mungkin. Itu tak boleh terjadi. Elaknya. Kenapa aku harus cemburu? Ah, tidak. Mungkin saja aku cemburu karena sahabat perempuanku akan bersama laki-laki lain sehingga mungkin ia akan jarang bersamaku lagi. Bukan cemburu antara laki-laki kepada perempuan!
***

“Hey! Ada apa? Tak biasanya kau lesu seperti ini,” kataku pada Aiden—sahabatku itu sambil mengambil tempat disampingnya.
“Ah, tidak. Aku tak apa-apa, Dennis,” ujarnya singkat. Nada suaranya terdengar parau. Benar-benar aneh. Biasanya ia selalu semangat dan ceria. Namun, kini ia terlihat murung dan lesu. Benar-benar tak biasa. Seperti orang sakit saja!
“Apa kau sakit?” tanyaku lagi. Kucoba untuk meraba keningnya. Ah, tidak panas.
“Tidak, Dennis. Aku tak apa-apa. Sungguh,” ujarnya lagi. Aku mengerutkan keningku sambil menatapnya dengan tatapan bingung bercampur heran.
Believe me, Dennis. I’m okay,” ujarnya meyakinkanku kalau ia tak apa-apa sambil tersenyum. Senyumnya aneh. Senyumnya berbeda dari biasanya—bukan senyum ceria yang biasanya ia suguhkan pada semua orang, namun seperti senyum terpaksa. Kau berniat untuk meyakinkanku Aiden, tapi kurasa niatmu itu gagal.  Ucapku dalam hati.
***
  “Aiden!”
“Aiden! Tunggu!”
“Apa kau masih marah padaku?”
Abigail—wanita itu kembali muncul dihadapan Aiden.
“Ini jaketmu,” ia menyerahkan benda berwarna hitam itu pada Aiden. Jaket Aiden—tentu saja.
“Maafkan aku,” ujarnya lirih. Bisa dilihat jelas ia merasa bersalah lewat tatapan matanya itu. Bukankah mata tak bisa berbohong?
Aiden mengerutkan keningnya tak mengerti. “Maaf? Untuk apa?”
“Kau marah padaku semalam,” sahut Abigail. “Mafkan aku. Aku benar-benar tak bermaksud..”
“Sudahlah, lupakan saja,” Aiden memotong ucapan Abigail sambil mengacak-acak rambut Abigail gemas. “Bagaimana jika kita makan siang, hm?” ajaknya.
“Baiklah. Aku sudah sangat lapar,” sahut Abigail sambil tersenyum senang dan berjalan mengikuti Aiden.
***

 “Allo, Abigail,” sapaku pada Abigail. Ia nampak asyik mengetik di laptopnya.
“Oh, Kau. Allo juga, Dennis,” ujarnya sambil menoleh singkat padaku. Nampaknya ia sangat serius. Melihatnya membuatku ingin tahu apa yang sedang dikerjakannya.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyaku ingin tahu.
“Aku sedang belajar,” ujarnya tanpa menoleh dari layar laptopnya sedikit pun ke arahku. Kurasa ini benar-benar menyebalkan untukku.
“Um.. Abigail, apa malam ini kau ada waktu?” tanyaku.
“Hm?” kali ini ia menoleh padaku sambil mengerutkan kening .  Apa ia tak mendengarkan perkataanku barusan. Astaga, seserius itukah dia?
“Apa kau ada waktu malam ini?” ulangku sekali lagi.
“Oh,” ia bergumam. Detik berikutnya, ia nampak berpikir-pikir. “Ada. Memangnya kenapa?”
Ah baguslah. “Ah, aku hanya ingin mengajakmu kencan. Kau mau?”
Dan Abigail menjawab dengan anggukan serta senyum manis.
***

Aku melirik jam yang melilit pergelangan tanganku. Jam 06.30 p.m.
Kini aku berada di taman Jardin du Luxembourg. Aku pun duduk di salah satu kursi taman yang ada sambil menunggu.
“Ah, Dennis. Maaf, aku terlambat.”
Aku menoleh ketika mendengar seseorang menyebut namaku. Dan kini dihadapanku terlihat sosok perempuan berambut kecoklatan. Orang yang selama ini kukagumi secara diam-diam. Ya—dia Abigail. Abigail Lavoie.
“Tidak apa-apa. Aku juga baru sampai,” sahutku.
“Kita mau kemana malam ini?” tanyanya padaku. Ah, dia nampak cantik tanpa kacamatanya itu.
“Abigail,” aku mencoba mengumpulkan keberanianku. 
“Hm?” ia mengerutkan keningnya  sambil menatapku. Oh tidak, jangan tatap aku seperti itu!
Do you want to be my girl?”
Kulihat Abigail melotot kaget padaku. Astaga, kenapa aku secara frontal mengatakan itu? Ini benar-benar tak sesuai dengan kata-kata yang sudah kurancang!
“Kau.. Menembakku?” katanya lirih. 
Aku hanya bisa mengangguk malu. “Aku.. Menyukaimu sejak kita pertama kali bertemu. Maukah kau.. Menjadi kekasihku?” ucapku gugup.
Abigail menatapku lekat-lekat. Ia nampak berpikir-pikir. Apa jangan-jangan ia akan menolakku? Oh tidak!
“Apa kau serius denganku?” Akhirnya ia membuka mulut setelah keheningan singgah diantara kami cukup lama.
“Sangat, Abigail,” kataku jujur.
“Banyak laki-laki yang menembakku tapi aku tahu mereka tidak serius denganku. Aku tahu mereka hanya ingin pamer memiliki kekasih sepertiku. Aku tidak bermaksud sombong tapi aku dapat membaca itu dari wajah mereka,” ujarnya panjang lebar dengan nada yang sangat serius. Apa maksudnya? Apa dia mau mengatakan kalau dia dapat melihat ketidakseriusan dari wajahku? Tidak! Itu salah! Aku benar-benar serius denganmu, Abigail. Aku tak pernah main-main denganmu! Tegasku dalam hati. Sepertinya aku harus siap menerima penolakan darinya.
“…Tapi kau berbeda, Dennis. Aku dapat membaca keseriusanmu padaku. Selama ini aku tak menemukan itu dari laki-laki yang menembakku, tapi kali ini aku menemukan itu di dalam dirimu,” lanjunya dengan nada yang sama—sangat serius. “Aku mau.”
Aku menatapnya tak percaya. Tak percaya dengan pendengaranku—tentu. “Apa? Bisakah kau mengulangnya?”
“Aku mau,” ulangnya padaku. Kulihat pipinya bersemu merah di tengah gelapnya malam.
“Terima kasih, Abigail,” ucapku. Dengan refleks aku memeluk tubuhnya yang mungil namun cantik itu. Kurasakan tubuhnya menegang seketika.
“Ah, maafkan aku, Abigail. Aku benar-benar tak sengaja.”
Ia menjawabku dengan gelengan kepala dan berkata, “Tak apa-apa, Dennis. Aku senang dipeluk olehmu,” katanya.
“Kau mau?” tawarku dengan senyum dan kilatan nakal dari mataku .
Abigail mengangguk. Aku pun kembali memeluknya dan langsung mencium keningnya. Kali ini aku sengaja melakukannya. Ia menjerit kecil dalam pelukanku karena perlakuanku itu padanya—namun kemudian tawanya yang renyah kudengar ditemani dengan pelukan kami yang hangat ditengah dinginnya malam—tak lupa dengan saksi bisu kami—taman Jardin du Luxembourg.
***

“Ada apa kau malam-malam begini kemari, Aiden?” tanyaku ketika melihat sosok Aiden di depan pintu rumahku di tengah malam seperti ini. Tidak hanya itu, ia juga menatapku dengan sorot matanya yang.. menurutku tak biasanya—tidak ramah seperti biasanya—namun tajam, menusuk.
“Bolehkah aku masuk?” tanyanya. Satu lagi, nada suaranya terdengar dingin. Membuatku makin ingin tahu apa yang terjadi hingga membuatnya seperti itu.
“Ah, tentu. Tentu saja,” kataku sambil mempersilakannya untuk masuk ke dalam rumahku tanpa menghilangkan keheranan dan kebingungan yang menimpaku di tengah malam yang damai ini.
BUGH!
Tiba-tiba saja Aiden memukulku. Seketika itu juga kurasakan darah segar menetes dari ujung bibirku. Perih rasanya. Namun, rasa perih itu sepertinya terkalahkan dengan kebingungan, keheranan, dan rasa ingin tahuku yang semakin besar ini karena tindakannya yang tiba-tiba itu. Ada apa sebenarnya?
“Ada apa? Kenapa kau tiba-tiba memukulku seperti ini, Aiden?” tanyaku tak mengerti sambil menyeka darah yang keluar dari ujung bibirku dengan ujung tangan.
“Jangan pura-pura tidak tahu!” Akhirnya ia bersuara. Detik kemudian, satu pukulan kembali mendarat di pipiku. Kurasa pipiku lebam sekarang. Ah, rupanya aku keliru. Setelah pukulan itu pukulan-pukulan lainnya menyusul. Pukulan-pukulan itu menghujaniku di bibir, pelipis, dan pipi. Sungguh, ini benar-benar hujan yang mengerikan. Anehnya, aku samasekali tak ingin membalas pukulan-pukulan yang diberikannya padaku.
“Ada apa? Jelaskan padaku!” kataku dengan nada suara tenang namun tegas setelah seluruh pukulan itu habis. Aku benar-benar tidak suka ini. Ini bukan Aiden. Ini orang lain. Ini bukan Aiden yang kukenal!
“Kau menciumnya,” ujarnya dingin. Tatapannya itu benar-benar menusuk. Dia benar-benar berubah 180 derajat!
“Menciumnya? Mencium siapa?” tanyaku lagi masih tak mengerti.
“Abigail,” ucapnya lagi dingin. “Kau menciumnya! Laki-laki macam apa kau ini?!” bentaknya lagi padaku.
Ingatanku kembali berputar ke 5 setengah jam yang lalu. Jam 06.30 p.m. Saat itu aku bertemu dengan Abigail di taman Jardin du Luxembourg. Aku menyatakan perasaanku disana padanya—berpelukan dengannya. Aku sama sekali tak ada menciumnya! Okay, aku memang menciumnya, namun hanya di kening—tidak di bibir!
“Apa maksudmu sebenarnya? Jelaskan padaku! Kau datang ke rumahku di tengah malam seperti ini dan memukulku tanpa alasan yang jelas! Apa maumu sebenarnya?” ujarku padanya dengan tenang namun tegas seperti sebelumnya. Ya—bagiku itu tidak jelas, karena aku benar-benar tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Kau bertemu dengannya kan? Di Jardin du Luxembourg? Kau menyatakan perasaanmu padanya, memeluknya, dan kemudian menciumnya! Ya kan? Katakan padaku jika aku salah,” ujarnya. Kini ia mulai sedikit lebih tenang—tidak brutal seperti tadi. Hanya saja nada suaranya belum kembali seperti semula.
Aku terdiam—mencoba mencerna semua yang ia katakan. Mencerna pukulan-pukulan yang tadi diberikannya untukku.
Ah, kini aku mulai mengerti. Apa.. Dia menyukai Abigail? Dia cemburu? Tapi.. Bagaimana ia bisa tahu soal itu? Apa Abigail memberitahunya? Atau dia membuntuti salah satu dari kami sehingga ia bisa melihat perlakuanku itu?
“Kau menyukainya?” tanyaku terang-terangan. “Jawab aku, Aiden. Apa kau menyukainya?’ ulangku lagi karena ia hanya diam—tak memberiku satu jawaban pun.
“Kenapa kau begitu tenang?” ia malah bertanya balik padaku. “Kenapa? Kenapa kau tak membalasku? Kenapa?”
Aku terdiam untuk kedua kalinya. Jujur, aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Kenapa? Aku sendiri tak tahu kenapa aku melakukan ini semua. Tidak membalas pukulannya, bicara dengan tenang padanya, tidak membalas semua yang ia lakukan padaku malam ini.
“Kenapa kau begitu tenang?” ia mengulang pertanyaannya. “Apa kau ini.. kurang gentleman atau bagaimana? Tapi aku tahu, kau memang tidak seperti itu. Maksudku, kau seperti malaikat. Hatimu itu.. Ya, seperti malaikat,” katanya lagi.
“Jawab pertanyaanku tadi, Aiden,” pintaku untuk yang ketiga kalinya.
“Ya, aku menyukainya,” jawabnya frontal dengan senyuman yang yang sangat sulit kuartikan. 
“Jadi? Kau cemburu?”
“Aku akui, aku cemburu. Jika aku tidak mengakuinya maka aku adalah orang munafik, jadi kupikir aku akui saja padamu,” ujarnya lagi dengan sebuah seringai. Ia menatap seluruh lebam di wajahku dengan penuh minat.
“Bagaimana kau bisa tahu? Aku memang menciumnya, namun hanya di kening, tidak di bibir. Kurasa itu tidak berlebihan. Apa itu salah untukmu?” aku mengeluarkan beberapa pertanyaan sekaligus—mengeluarkan seluruh pertanyaan yang terus-menerus menganggu pikiranku sejak tadi.
“Oh ya? Tapi bagiku itu salah,” jawabnya. Tatapannya itu.. Sulit diartikan. Benar-benar mengerikan.
“Kenapa?” kini aku benar-benar tak mengerti. Sungguh.
“Menurutku kau tak pantas melakukannya,” ujarnya singkat.
“Katakan padaku,” aku membuka suara kembali. “Itu karena kau cemburu, bukan? Sehingga kau marah padaku karena aku menciumnya?”
Aiden mendengus. Ia tersenyum mengejek ke arahku. “Kau benar-benar pintar, Dennis.”
Ternyata benar. “Kau masih belum menjawab seluruh pertanyaanku, Aiden.”
“Ah ya, aku tahu hal itu. Tentu saja aku tahu. Bukan Abigail yang memberitahuku. Aku membuntutimu diam-diam. Tentu saja kau tidak tahu. Ternyata tujuanmu ke taman Jardin du Luxembourg. Kau menemui Abigail. Dan aku mendengar seluruh percakapan kalian, melihat apa saja yang kalian lakukan. Ya, aku menyaksikan semuanya dengan mata kepalaku sendiri.”
Aku menatapnya lekat-lekat—tak percaya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku tak menyadari ada yang membuntutiku?
“Aku hanya minta satu hal saja padamu,” ia memecah keheningan malam yang terjadi diantara kami. 
“Jaga dia baik-baik. Kurasa sudah waktunya aku berhenti menjaganya. Kini giliranmu. Jangan lukai dia. Jangan buat dia menangis. Jika kau melanggarnya, aku tak akan segan-segan menghukummu.”
“Kau memberikan Abigail untukku?” tanyaku tak percaya. “Bukankah kau menyukainya? Apa kau tak sakit hati?”
“Seutuhnya,” ujarnya dengan nada yakin. “Bukankah cinta tidak harus memiliki? Okay, rasanya mungkin memang sakit, tapi kau akan menemukan cinta dari sebuah kehilangan kan?”
***

Beberapa bulan kemudian…
Abigail, Dennis, dan Aiden kini sudah lulus dari kuliah mereka—lengkap dengan predikat cum laude mereka. Hebat, bukan? Kini, mereka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Namun, mereka tak melupakan persahabatan mereka. Mereka tetap berkomunikasi—baik via telepon, pesan singkat, jejaring social, bahkan bertemu langsung satu sama lain. 
Kini Abigail bekerja sebagai designer di Paris, Prancis—memiliki butik yang besar dan memiliki banyak cabang yang tersebar di seluruh dunia—khususnya Asia dan Eropa. Bisa dibilang kini ia sangat terkenal di kalangan designer.
Tak jauh berbeda dengan kekasihnya, Abigail, kini Dennis sudah menjadi pengusaha yang sukses. Kini ia memegang jabatan sebagai CEO di Giraudeau Corp.—sebuah perusahaan yang memiliki banyak cabang di Eropa, dan kini tengah berusaha mencapai pasaran Asia dan Amerika. Tentunya kini ia telah sukses dan memiliki banyak penghasilan. Namun, ia tak pernah sombong dengan kekayaannya itu. Itulah Dennis. 
Sama seperti Dennis,  Aiden kini juga tengah menjadi seorang CEO yang sukses. Kini, ia tengah memimpin perusahaan Lemercier Corp.—sebuah perusahaan yang diwariskan dari ayahnya—pemilik perusahaan tersebut untuk ia kelola. Cabangnya kini sudah menyebar di seluruh dunia.
Ya—bisa disimpulkan kini mereka semua terbilang sukses. Sangat sukses, malah.
Saat ini Abigail terlihat sangat sibuk. Itu bisa terlihat dari berkas-berkas file dan banyak sketsa yang berantakan di mejanya. Nampaknya ia pusing karena pekerjaannya yang setumpuk itu. Ia nampak sangat sibuk, hingga ia tak menghiraukan ponselnya yang sedari tadi berdering pertanda ada sebuah panggilan masuk untuknya.
Untuk ke 15 kalinya ponsel Abigail kembali berdering. Untuk pertama kalinya Abigail melirik ponselnya sekilas dan mendecak kesal. Tentu baginya hal itu sangat mengganggunya yang sangat sibuk itu. “Siapapun kau, aku tak akan segan-segan untuk melemparmu ke Sungai Seine,”desisnya kesal. Ia yakin, jika ia melemparkan orang itu—siapapun yang meneleponnya hingga 15 kali itu ke Sungai Seine, ia yakin orang tersebut pasti akan segera mati beku didalam air Sungai Seine yang tentunya sangat dingin di musim dingin seperti sekarang.
Dengan sangat terpaksa ia mengambil ponselnya dan melihat siapa pemanggil tersebut. Tertera di layar :
15 Missed Calls : Dennis
“Astaga,” gumamnya. Seketika ia teringat kembali dengan ucapannya—ia tak akan segan-segan melemparkan orang itu—orang yang telah memberi panggilan untuknya sebanyak 15 kali itu ke dalam Sungai Seine yang akan membuat orang tersebut bisa mati beku tanpa memerlukan waktu lama. Ya—orang itu ternyata Dennis. Tunangannya sendiri.
Ya—benar. Mereka kini telah bertunangan sebulan yang lalu.
Untuk ke 16 kalinya ponselnya kembali berdering. Dan ia bisa melihat dengan jelas tertera dilayar : 
Dennis Calling.
Akhirnya ia menjawab panggilan tersebut setelah hanya sempat memandangi layar ponselnya selama beberapa detik. “Hallo? Ada apa? Ah, tidak. Aku tidak apa-apa..  Maaf, aku sepertinya terlalu sibuk hingga mngabaikan teleponmu. Ya, benar, aku tak apa-apa. Percayalah padaku. Apa? Punya waktu? Malam ini?” perempuan itu nampak berpikir-pikir sambil sesekali menatap berkas-berkas pekerjaannya yang menumpuk. “Ah ya, aku ada sedikit waktu. Jam berapa? Jam 7 p.m? Ah, baiklah,” katanya sambil mengakhiri pembicaraan dan kemudian kembali fokus ke pekerjaannya.
***

Kini aku berada di puncak Arc de Triomphe. Disini kita bisa melihat pemandangan kota Paris dari ketinggian. Dan tempat ini akan menjadi saksi bisu bagi kami.
Ya—aku akan melamarnya, Abigail maksudku, disini—di Arc de Triomphe. Banyak orang lebih suka melihat Paris dari ketinggian dan tentunya melamar kekasihnya di Menara Eiffel, tapi menurutku Arc de Triomphe adalah yang terbaik. Tempat ini benar-benar fantastic.
“Dennis.”
Aku menoleh ketika mendengar seseorang menyebut namaku. Siapa lagi kalau bukan Abigail. Aku memberikan senyum terbaikku untuknya.
“Kau tampan sekali hari ini,” katanya. Oh ya? Mungkin saja. Dengan kaos putih, celana jins, sepatu putih, jaket krem, dan topi yang sewarna dengan jaket yang kukenakan ini aku terlihat tampan. Tapi? Hari ini? Apa dia mau mengatakan kalau selama ini aku terlihat jelek, begitu?
“Hey, bukankah pada dasarnya aku ini memang tampan?” ujarku sambil tersenyum untuk menggodanya.
“Siapa bilang? Kadar percaya dirimu tinggi sekali rupanya, Dennis Giraudeau,” sahutnya.
“Ah, tapi hatimu berkata sebaliknya, bukan?” kataku. Aku makin senang saja melihat pipinya yang bersemu merah karena kugoda. Benar-benar manis.
Aku kembali teringat dengan tujuan awalku mengajaknya datang ke sini. Kulihat ia sedang asyik memandangi kota Paris dari sini. Ya—memang benar-benar indah.
“Ah,” aku segera tersadar dari lamunanku. “Ini untukmu,” kataku lagi.
“Apa ini?” tanyanya sambil melihatku dan kotak kecil—benda yang kuberikan padanya secara bergantian dengan pandangan bingung.
“Buka saja,” kataku sambil tersenyum misterius.
Dan ketika ia membukanya, ia melihat sebuah cincin berlian. Cincin itu sangat indah. Rasanya ia belum pernah melihat cincin seindah itu. Dan tentu saja, ia sangat menyukai cincin itu. 
“Kau suka?” tanyaku lirih.
“Ya, aku sangat, sangat, sangat menyukainya,” jawabnya. Matanya bersinar-sinar bahagia. “Tapi, kenapa? Hari ini bukan hari ulang tahunku, bukan hari Valentine, bukan anniversary hubungan kita, atau hari-hari special seperti itu. Kenapa?”
“Abigail.”
 
Dia menatap mataku lekat-lekat dan berkata, “Ya?”
Aku mengumpulkan seluruh keberanianku sementara dia masih terus menatapku sambil mengernyit ingin tahu. “Maukah kau menikah denganku?”
“Apa?” bisiknya. “Menikah?”
Aku hanya bisa mengangguk. “Kalau kau ragu-ragu kau boleh..”
“Untuk apa aku ragu-ragu?” tanyanya memotong ucapanku. “Aku mau.”
Aku menatapnya lekat-lekat. “Ada apa? Aku tahu kau serius denganku. Aku tahu kau itu sosok yang bertanggung jawab, disiplin. Yah.. Walaupun kau pelit..” sial, dia menonjolkan hal itu. Ya, aku memang pelit. Aku tahu itu dan aku bangga.
“…tapi kau sosok yang penyayang, setia, perhatian. Dan aku suka itu. Kukira perempuan lain yang akan mendapatkan dirimu, tapi ternyata aku beruntung,” lanjutnya lagi. “Aku mau,” ulangnya sekali lagi—seakan –akan ia tahu kalau aku tak percaya dengan pendengaranku sendiri. Dan kini aku hanya bisa diam—menatap matanya yang coklat itu. Ah, dia selalu berhasil membuatku seperti orang bisu seperti sekarang.
“Terima kasih. Je t’aime, ” bisikku.

To be Continued

Comments

Popular posts from this blog

It’s You