Beautiful In White Part 3
Cast : Main Cast :
Dennis Park a.k.a Leeteuk
Abigail Lavoie (OC)
Other Cast : Aiden Lee a.k.a Donghae
Abigail Lavoie (OC)
Other Cast : Aiden Lee a.k.a Donghae
Ini lanjutan
dari Beautiful In White. Semoga suka yaa. Ide cerita ini murni dari pikiran
saya. Jika ada kesamaan latar, alur, dsb itu hanya kebetulan semata. FF ini
juga di post di FB dan blog pribadi. Oh ya, mian kalo judul tak sesuai dengan
cerita. Karena saya gak pintar buat judul. Dibutuhkan kritik dan saran dari
readers, karena saya masih pemula. Gomawo. Happy Reading!
***
Je t’aime. –Beautiful
In White Part 3-
BRAKK!!
Aiden
membanting pintu kamarnya keras-keras—melampiaskan seluruh amarahnya yang meluap-luap.
Detik berikutnya, ia menghempaskan
tubuhnya di atas tempat tidurnya yang empuk. Ia menatap langit-langit
kamarnya dengan penuh amarah.
Tunggu! Ada apa denganku? Tanyanya dalam hati. Ada apa? Tak biasanya aku seperti ini. Aku
marah? Pada siapa? Pada Abigail? Sahabatku sendiri? Tapi kenapa?
Kini ia
menatap langit-langit kamarnya kosong—tak seperti tadi yang menatap dengan
penuh amarah. Ia bertanya-tanya dalam hati.
Hey! Tentu saja aku tak memiliki
perasaan apapun padanya kan? Aku tak
memiliki perasaan antara laki-laki ke perempuan itu padanya kan? Ya kan?
“Argh!!”
Teriak Aiden gusar. Nampaknya ia benar-benar bingung akan apa yang terjadi
padanya—bingung dengan perasaannya sendiri.
Aiden
berpikir-pikir kembali. Selama ia bersahabat dengan Abigail—tepatnya semenjak
masuk kuliah—ia merasakan perasaan aneh menyusup dalam hatinya. Ya—ia ingat
itu. Ia sering merasakan jantungnya berdebar-debar saat berada di dekat
perempuan itu, bahkan terkadang jantungnya serasa berhenti berdetak. Semula ia
berpikir mungkin itu hanya karena ia kecapaian. Akan tetapi, rupanya itu
terus-menerus terjadi hingga saat ini. Ia juga sering merasa ingin melihat
Abigail setiap hari. Abigail juga hal yang paling pertama ia pikirkan saat ia
bangun tidur di pagi hari dan saat ia akan tidur kembali di malam hari. Wajah
Abigail juga sangat sering berenang-renang di otaknya.
Apa.. Aku jatuh cinta padanya? Tanyanya dalam hati. Ini
tidak mungkin. Tidak.
“You’re not his girlfriend!”
“Hey, Aiden! Why? I like him, ah no, I love him!”
Ucapan
Abigail tadi kembali terngiang-ngiang di telinganya. Dalam sekejap seluruh
kejadian yang ia lewati bersama Abigail kembali terngiang-ngiang di
otaknya—seperti menonton gulungan film lama. Seperti slide presentasi dosennya di Universitas.
Ah, kalau itu benar, lalu mengapa aku
marah padanya? Tanyanya lagi dalam hati. Apa aku cemburu? Tidak. Tidak mungkin. Itu
tak boleh terjadi. Elaknya. Kenapa
aku harus cemburu? Ah, tidak. Mungkin saja aku cemburu karena sahabat
perempuanku akan bersama laki-laki lain sehingga mungkin ia akan jarang
bersamaku lagi. Bukan cemburu antara laki-laki kepada perempuan!
***
“Hey! Ada apa? Tak biasanya kau lesu seperti ini,” kataku pada Aiden—sahabatku itu sambil mengambil tempat disampingnya.
“Ah, tidak.
Aku tak apa-apa, Dennis,” ujarnya singkat. Nada suaranya terdengar parau.
Benar-benar aneh. Biasanya ia selalu semangat dan ceria. Namun, kini ia
terlihat murung dan lesu. Benar-benar tak biasa. Seperti orang sakit saja!
“Apa kau
sakit?” tanyaku lagi. Kucoba untuk meraba keningnya. Ah, tidak panas.
“Tidak,
Dennis. Aku tak apa-apa. Sungguh,” ujarnya lagi. Aku mengerutkan keningku
sambil menatapnya dengan tatapan bingung bercampur heran.
“Believe me, Dennis. I’m okay,” ujarnya
meyakinkanku kalau ia tak apa-apa sambil tersenyum. Senyumnya aneh. Senyumnya
berbeda dari biasanya—bukan senyum ceria yang biasanya ia suguhkan pada semua
orang, namun seperti senyum terpaksa. Kau
berniat untuk meyakinkanku Aiden, tapi kurasa niatmu itu gagal. Ucapku dalam hati.
***
“Aiden!”
“Aiden!
Tunggu!”
“Apa kau
masih marah padaku?”
Abigail—wanita
itu kembali muncul dihadapan Aiden.
“Ini
jaketmu,” ia menyerahkan benda berwarna hitam itu pada Aiden. Jaket Aiden—tentu
saja.
“Maafkan
aku,” ujarnya lirih. Bisa dilihat jelas ia merasa bersalah lewat tatapan matanya
itu. Bukankah mata tak bisa berbohong?
Aiden
mengerutkan keningnya tak mengerti. “Maaf? Untuk apa?”
“Kau marah
padaku semalam,” sahut Abigail. “Mafkan aku. Aku benar-benar tak bermaksud..”
“Sudahlah,
lupakan saja,” Aiden memotong ucapan Abigail sambil mengacak-acak rambut
Abigail gemas. “Bagaimana jika kita makan siang, hm?” ajaknya.
“Baiklah.
Aku sudah sangat lapar,” sahut Abigail sambil tersenyum senang dan berjalan
mengikuti Aiden.
***
“Allo, Abigail,” sapaku pada Abigail. Ia nampak asyik mengetik di laptopnya.
“Oh, Kau. Allo juga, Dennis,” ujarnya sambil
menoleh singkat padaku. Nampaknya ia sangat serius. Melihatnya membuatku ingin
tahu apa yang sedang dikerjakannya.
“Apa yang
sedang kau lakukan?” tanyaku ingin tahu.
“Aku sedang
belajar,” ujarnya tanpa menoleh dari layar laptopnya sedikit pun ke arahku.
Kurasa ini benar-benar menyebalkan untukku.
“Um..
Abigail, apa malam ini kau ada waktu?” tanyaku.
“Hm?” kali
ini ia menoleh padaku sambil mengerutkan kening . Apa ia tak mendengarkan perkataanku barusan.
Astaga, seserius itukah dia?
“Apa kau ada
waktu malam ini?” ulangku sekali lagi.
“Oh,” ia
bergumam. Detik berikutnya, ia nampak berpikir-pikir. “Ada. Memangnya kenapa?”
Ah baguslah.
“Ah, aku hanya ingin mengajakmu kencan. Kau mau?”
Dan Abigail
menjawab dengan anggukan serta senyum manis.
***
Aku melirik jam yang melilit pergelangan tanganku. Jam 06.30 p.m.
Kini aku
berada di taman Jardin du Luxembourg. Aku pun duduk di salah satu kursi taman
yang ada sambil menunggu.
“Ah, Dennis.
Maaf, aku terlambat.”
Aku menoleh
ketika mendengar seseorang menyebut namaku. Dan kini dihadapanku terlihat sosok
perempuan berambut kecoklatan. Orang yang selama ini kukagumi secara diam-diam.
Ya—dia Abigail. Abigail Lavoie.
“Tidak
apa-apa. Aku juga baru sampai,” sahutku.
“Kita mau
kemana malam ini?” tanyanya padaku. Ah, dia nampak cantik tanpa kacamatanya
itu.
“Abigail,”
aku mencoba mengumpulkan keberanianku.
“Hm?” ia
mengerutkan keningnya sambil menatapku.
Oh tidak, jangan tatap aku seperti itu!
“Do you want to be my girl?”
Kulihat
Abigail melotot kaget padaku. Astaga, kenapa aku secara frontal mengatakan itu?
Ini benar-benar tak sesuai dengan kata-kata yang sudah kurancang!
“Kau..
Menembakku?” katanya lirih.
Aku hanya
bisa mengangguk malu. “Aku.. Menyukaimu sejak kita pertama kali bertemu. Maukah
kau.. Menjadi kekasihku?” ucapku gugup.
Abigail
menatapku lekat-lekat. Ia nampak berpikir-pikir. Apa jangan-jangan ia akan
menolakku? Oh tidak!
“Apa kau
serius denganku?” Akhirnya ia membuka mulut setelah keheningan singgah diantara
kami cukup lama.
“Sangat,
Abigail,” kataku jujur.
“Banyak
laki-laki yang menembakku tapi aku tahu mereka tidak serius denganku. Aku tahu
mereka hanya ingin pamer memiliki kekasih sepertiku. Aku tidak bermaksud
sombong tapi aku dapat membaca itu dari wajah mereka,” ujarnya panjang lebar
dengan nada yang sangat serius. Apa maksudnya? Apa dia mau mengatakan kalau dia
dapat melihat ketidakseriusan dari wajahku? Tidak! Itu salah! Aku benar-benar serius denganmu, Abigail.
Aku tak pernah main-main denganmu! Tegasku dalam hati. Sepertinya aku harus
siap menerima penolakan darinya.
“…Tapi kau
berbeda, Dennis. Aku dapat membaca keseriusanmu padaku. Selama ini aku tak
menemukan itu dari laki-laki yang menembakku, tapi kali ini aku menemukan itu
di dalam dirimu,” lanjunya dengan nada yang sama—sangat serius. “Aku mau.”
Aku
menatapnya tak percaya. Tak percaya dengan pendengaranku—tentu. “Apa? Bisakah
kau mengulangnya?”
“Aku mau,”
ulangnya padaku. Kulihat pipinya bersemu merah di tengah gelapnya malam.
“Terima
kasih, Abigail,” ucapku. Dengan refleks aku memeluk tubuhnya yang mungil namun
cantik itu. Kurasakan tubuhnya menegang seketika.
“Ah, maafkan
aku, Abigail. Aku benar-benar tak sengaja.”
Ia
menjawabku dengan gelengan kepala dan berkata, “Tak apa-apa, Dennis. Aku senang
dipeluk olehmu,” katanya.
“Kau mau?”
tawarku dengan senyum dan kilatan nakal dari mataku .
Abigail
mengangguk. Aku pun kembali memeluknya dan langsung mencium keningnya. Kali ini
aku sengaja melakukannya. Ia menjerit kecil dalam pelukanku karena perlakuanku
itu padanya—namun kemudian tawanya yang renyah kudengar ditemani dengan pelukan
kami yang hangat ditengah dinginnya malam—tak lupa dengan saksi bisu kami—taman
Jardin du Luxembourg.
***
“Ada apa kau malam-malam begini kemari, Aiden?” tanyaku ketika melihat sosok Aiden di depan pintu rumahku di tengah malam seperti ini. Tidak hanya itu, ia juga menatapku dengan sorot matanya yang.. menurutku tak biasanya—tidak ramah seperti biasanya—namun tajam, menusuk.
“Bolehkah
aku masuk?” tanyanya. Satu lagi, nada suaranya terdengar dingin. Membuatku
makin ingin tahu apa yang terjadi hingga membuatnya seperti itu.
“Ah, tentu.
Tentu saja,” kataku sambil mempersilakannya untuk masuk ke dalam rumahku tanpa
menghilangkan keheranan dan kebingungan yang menimpaku di tengah malam yang
damai ini.
BUGH!
Tiba-tiba
saja Aiden memukulku. Seketika itu juga kurasakan darah segar menetes dari
ujung bibirku. Perih rasanya. Namun, rasa perih itu sepertinya terkalahkan
dengan kebingungan, keheranan, dan rasa ingin tahuku yang semakin besar ini
karena tindakannya yang tiba-tiba itu. Ada apa sebenarnya?
“Ada apa?
Kenapa kau tiba-tiba memukulku seperti ini, Aiden?” tanyaku tak mengerti sambil
menyeka darah yang keluar dari ujung bibirku dengan ujung tangan.
“Jangan
pura-pura tidak tahu!” Akhirnya ia bersuara. Detik kemudian, satu pukulan
kembali mendarat di pipiku. Kurasa pipiku lebam sekarang. Ah, rupanya aku
keliru. Setelah pukulan itu pukulan-pukulan lainnya menyusul. Pukulan-pukulan
itu menghujaniku di bibir, pelipis, dan pipi. Sungguh, ini benar-benar hujan
yang mengerikan. Anehnya, aku samasekali tak ingin membalas pukulan-pukulan
yang diberikannya padaku.
“Ada apa?
Jelaskan padaku!” kataku dengan nada suara tenang namun tegas setelah seluruh
pukulan itu habis. Aku benar-benar tidak suka ini. Ini bukan Aiden. Ini orang
lain. Ini bukan Aiden yang kukenal!
“Kau
menciumnya,” ujarnya dingin. Tatapannya itu benar-benar menusuk. Dia
benar-benar berubah 180 derajat!
“Menciumnya?
Mencium siapa?” tanyaku lagi masih tak mengerti.
“Abigail,”
ucapnya lagi dingin. “Kau menciumnya! Laki-laki macam apa kau ini?!” bentaknya
lagi padaku.
Ingatanku
kembali berputar ke 5 setengah jam yang lalu. Jam 06.30 p.m. Saat itu aku
bertemu dengan Abigail di taman Jardin du Luxembourg. Aku menyatakan perasaanku
disana padanya—berpelukan dengannya. Aku sama sekali tak ada menciumnya! Okay,
aku memang menciumnya, namun hanya di kening—tidak di bibir!
“Apa
maksudmu sebenarnya? Jelaskan padaku! Kau datang ke rumahku di tengah malam
seperti ini dan memukulku tanpa alasan yang jelas! Apa maumu sebenarnya?”
ujarku padanya dengan tenang namun tegas seperti sebelumnya. Ya—bagiku itu
tidak jelas, karena aku benar-benar tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Kau bertemu
dengannya kan? Di Jardin du Luxembourg? Kau menyatakan perasaanmu padanya,
memeluknya, dan kemudian menciumnya! Ya kan? Katakan padaku jika aku salah,”
ujarnya. Kini ia mulai sedikit lebih tenang—tidak brutal seperti tadi. Hanya
saja nada suaranya belum kembali seperti semula.
Aku
terdiam—mencoba mencerna semua yang ia katakan. Mencerna pukulan-pukulan yang
tadi diberikannya untukku.
Ah, kini aku
mulai mengerti. Apa.. Dia menyukai Abigail? Dia cemburu? Tapi.. Bagaimana ia
bisa tahu soal itu? Apa Abigail memberitahunya? Atau dia membuntuti salah satu
dari kami sehingga ia bisa melihat perlakuanku itu?
“Kau
menyukainya?” tanyaku terang-terangan. “Jawab aku, Aiden. Apa kau menyukainya?’
ulangku lagi karena ia hanya diam—tak memberiku satu jawaban pun.
“Kenapa kau
begitu tenang?” ia malah bertanya balik padaku. “Kenapa? Kenapa kau tak
membalasku? Kenapa?”
Aku terdiam
untuk kedua kalinya. Jujur, aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Kenapa? Aku
sendiri tak tahu kenapa aku melakukan ini semua. Tidak membalas pukulannya,
bicara dengan tenang padanya, tidak membalas semua yang ia lakukan padaku malam
ini.
“Kenapa kau
begitu tenang?” ia mengulang pertanyaannya. “Apa kau ini.. kurang gentleman
atau bagaimana? Tapi aku tahu, kau memang tidak seperti itu. Maksudku, kau
seperti malaikat. Hatimu itu.. Ya, seperti malaikat,” katanya lagi.
“Jawab
pertanyaanku tadi, Aiden,” pintaku untuk yang ketiga kalinya.
“Ya, aku
menyukainya,” jawabnya frontal dengan senyuman yang yang sangat sulit
kuartikan.
“Jadi? Kau
cemburu?”
“Aku akui,
aku cemburu. Jika aku tidak mengakuinya maka aku adalah orang munafik, jadi
kupikir aku akui saja padamu,” ujarnya lagi dengan sebuah seringai. Ia menatap
seluruh lebam di wajahku dengan penuh minat.
“Bagaimana
kau bisa tahu? Aku memang menciumnya, namun hanya di kening, tidak di bibir.
Kurasa itu tidak berlebihan. Apa itu salah untukmu?” aku mengeluarkan beberapa
pertanyaan sekaligus—mengeluarkan seluruh pertanyaan yang terus-menerus
menganggu pikiranku sejak tadi.
“Oh ya? Tapi
bagiku itu salah,” jawabnya. Tatapannya itu.. Sulit diartikan. Benar-benar
mengerikan.
“Kenapa?”
kini aku benar-benar tak mengerti. Sungguh.
“Menurutku
kau tak pantas melakukannya,” ujarnya singkat.
“Katakan
padaku,” aku membuka suara kembali. “Itu karena kau cemburu, bukan? Sehingga
kau marah padaku karena aku menciumnya?”
Aiden mendengus.
Ia tersenyum mengejek ke arahku. “Kau benar-benar pintar, Dennis.”
Ternyata
benar. “Kau masih belum menjawab seluruh pertanyaanku, Aiden.”
“Ah ya, aku
tahu hal itu. Tentu saja aku tahu. Bukan Abigail yang memberitahuku. Aku
membuntutimu diam-diam. Tentu saja kau tidak tahu. Ternyata tujuanmu ke taman
Jardin du Luxembourg. Kau menemui Abigail. Dan aku mendengar seluruh percakapan
kalian, melihat apa saja yang kalian lakukan. Ya, aku menyaksikan semuanya
dengan mata kepalaku sendiri.”
Aku
menatapnya lekat-lekat—tak percaya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku tak
menyadari ada yang membuntutiku?
“Aku hanya
minta satu hal saja padamu,” ia memecah keheningan malam yang terjadi diantara
kami.
“Jaga dia baik-baik. Kurasa sudah waktunya aku berhenti menjaganya. Kini giliranmu. Jangan lukai dia. Jangan buat dia menangis. Jika kau melanggarnya, aku tak akan segan-segan menghukummu.”
“Jaga dia baik-baik. Kurasa sudah waktunya aku berhenti menjaganya. Kini giliranmu. Jangan lukai dia. Jangan buat dia menangis. Jika kau melanggarnya, aku tak akan segan-segan menghukummu.”
“Kau
memberikan Abigail untukku?” tanyaku tak percaya. “Bukankah kau menyukainya?
Apa kau tak sakit hati?”
“Seutuhnya,”
ujarnya dengan nada yakin. “Bukankah cinta tidak harus memiliki? Okay, rasanya
mungkin memang sakit, tapi kau akan menemukan cinta dari sebuah kehilangan
kan?”
***
Beberapa bulan kemudian…
Abigail,
Dennis, dan Aiden kini sudah lulus dari kuliah mereka—lengkap dengan predikat
cum laude mereka. Hebat, bukan? Kini, mereka sibuk dengan pekerjaan mereka
masing-masing. Namun, mereka tak melupakan persahabatan mereka. Mereka tetap
berkomunikasi—baik via telepon, pesan singkat, jejaring social, bahkan bertemu
langsung satu sama lain.
Kini Abigail
bekerja sebagai designer di Paris, Prancis—memiliki butik yang besar dan
memiliki banyak cabang yang tersebar di seluruh dunia—khususnya Asia dan Eropa.
Bisa dibilang kini ia sangat terkenal di kalangan designer.
Tak jauh
berbeda dengan kekasihnya, Abigail, kini Dennis sudah menjadi pengusaha yang
sukses. Kini ia memegang jabatan sebagai CEO di Giraudeau Corp.—sebuah
perusahaan yang memiliki banyak cabang di Eropa, dan kini tengah berusaha
mencapai pasaran Asia dan Amerika. Tentunya kini ia telah sukses dan memiliki
banyak penghasilan. Namun, ia tak pernah sombong dengan kekayaannya itu. Itulah
Dennis.
Sama seperti
Dennis, Aiden kini juga tengah menjadi
seorang CEO yang sukses. Kini, ia tengah memimpin perusahaan Lemercier
Corp.—sebuah perusahaan yang diwariskan dari ayahnya—pemilik perusahaan
tersebut untuk ia kelola. Cabangnya kini sudah menyebar di seluruh dunia.
Ya—bisa
disimpulkan kini mereka semua terbilang sukses. Sangat sukses, malah.
Saat ini
Abigail terlihat sangat sibuk. Itu bisa terlihat dari berkas-berkas file dan
banyak sketsa yang berantakan di mejanya. Nampaknya ia pusing karena
pekerjaannya yang setumpuk itu. Ia nampak sangat sibuk, hingga ia tak
menghiraukan ponselnya yang sedari tadi berdering pertanda ada sebuah panggilan
masuk untuknya.
Untuk ke 15
kalinya ponsel Abigail kembali berdering. Untuk pertama kalinya Abigail melirik
ponselnya sekilas dan mendecak kesal. Tentu baginya hal itu sangat
mengganggunya yang sangat sibuk itu. “Siapapun kau, aku tak akan segan-segan
untuk melemparmu ke Sungai Seine,”desisnya kesal. Ia yakin, jika ia melemparkan
orang itu—siapapun yang meneleponnya hingga 15 kali itu ke Sungai Seine, ia
yakin orang tersebut pasti akan segera mati beku didalam air Sungai Seine yang
tentunya sangat dingin di musim dingin seperti sekarang.
Dengan
sangat terpaksa ia mengambil ponselnya dan melihat siapa pemanggil tersebut.
Tertera di layar :
15 Missed Calls : Dennis
“Astaga,”
gumamnya. Seketika ia teringat kembali dengan ucapannya—ia tak akan segan-segan
melemparkan orang itu—orang yang telah memberi panggilan untuknya sebanyak 15
kali itu ke dalam Sungai Seine yang akan membuat orang tersebut bisa mati beku
tanpa memerlukan waktu lama. Ya—orang itu ternyata Dennis. Tunangannya sendiri.
Ya—benar.
Mereka kini telah bertunangan sebulan yang lalu.
Untuk ke 16
kalinya ponselnya kembali berdering. Dan ia bisa melihat dengan jelas tertera
dilayar :
Dennis Calling.
Dennis Calling.
Akhirnya ia
menjawab panggilan tersebut setelah hanya sempat memandangi layar ponselnya
selama beberapa detik. “Hallo? Ada apa? Ah, tidak. Aku tidak apa-apa.. Maaf, aku sepertinya terlalu sibuk hingga
mngabaikan teleponmu. Ya, benar, aku tak apa-apa. Percayalah padaku. Apa? Punya
waktu? Malam ini?” perempuan itu nampak berpikir-pikir sambil sesekali menatap
berkas-berkas pekerjaannya yang menumpuk. “Ah ya, aku ada sedikit waktu. Jam
berapa? Jam 7 p.m? Ah, baiklah,” katanya sambil mengakhiri pembicaraan dan
kemudian kembali fokus ke pekerjaannya.
***
Kini aku berada di puncak Arc de Triomphe. Disini kita bisa melihat pemandangan kota Paris dari ketinggian. Dan tempat ini akan menjadi saksi bisu bagi kami.
Ya—aku akan
melamarnya, Abigail maksudku, disini—di Arc de Triomphe. Banyak orang lebih
suka melihat Paris dari ketinggian dan tentunya melamar kekasihnya di Menara
Eiffel, tapi menurutku Arc de Triomphe adalah yang terbaik. Tempat ini
benar-benar fantastic.
“Dennis.”
Aku menoleh
ketika mendengar seseorang menyebut namaku. Siapa lagi kalau bukan Abigail. Aku
memberikan senyum terbaikku untuknya.
“Kau tampan
sekali hari ini,” katanya. Oh ya? Mungkin saja. Dengan kaos putih, celana jins, sepatu putih, jaket krem, dan topi
yang sewarna dengan jaket yang kukenakan ini aku terlihat tampan. Tapi? Hari
ini? Apa dia mau mengatakan kalau selama ini aku terlihat jelek, begitu?
“Hey,
bukankah pada dasarnya aku ini memang tampan?” ujarku sambil tersenyum untuk
menggodanya.
“Siapa
bilang? Kadar percaya dirimu tinggi sekali rupanya, Dennis Giraudeau,”
sahutnya.
“Ah, tapi
hatimu berkata sebaliknya, bukan?” kataku. Aku makin senang saja melihat
pipinya yang bersemu merah karena kugoda. Benar-benar manis.
Aku kembali
teringat dengan tujuan awalku mengajaknya datang ke sini. Kulihat ia sedang
asyik memandangi kota Paris dari sini. Ya—memang benar-benar indah.
“Ah,” aku
segera tersadar dari lamunanku. “Ini untukmu,” kataku lagi.
“Apa ini?”
tanyanya sambil melihatku dan kotak kecil—benda yang kuberikan padanya secara
bergantian dengan pandangan bingung.
“Buka saja,”
kataku sambil tersenyum misterius.
Dan ketika
ia membukanya, ia melihat sebuah cincin berlian. Cincin itu sangat indah.
Rasanya ia belum pernah melihat cincin seindah itu. Dan tentu saja, ia sangat
menyukai cincin itu.
“Kau suka?”
tanyaku lirih.
“Ya, aku
sangat, sangat, sangat menyukainya,” jawabnya. Matanya bersinar-sinar bahagia.
“Tapi, kenapa? Hari ini bukan hari ulang tahunku, bukan hari Valentine, bukan
anniversary hubungan kita, atau hari-hari special seperti itu. Kenapa?”
“Abigail.”
Dia menatap
mataku lekat-lekat dan berkata, “Ya?”
Aku
mengumpulkan seluruh keberanianku sementara dia masih terus menatapku sambil
mengernyit ingin tahu. “Maukah kau menikah denganku?”
“Apa?”
bisiknya. “Menikah?”
Aku hanya
bisa mengangguk. “Kalau kau ragu-ragu kau boleh..”
“Untuk apa
aku ragu-ragu?” tanyanya memotong ucapanku. “Aku mau.”
Aku
menatapnya lekat-lekat. “Ada apa? Aku tahu kau serius denganku. Aku tahu kau
itu sosok yang bertanggung jawab, disiplin. Yah.. Walaupun kau pelit..” sial,
dia menonjolkan hal itu. Ya, aku memang pelit. Aku tahu itu dan aku bangga.
“…tapi kau
sosok yang penyayang, setia, perhatian. Dan aku suka itu. Kukira perempuan lain
yang akan mendapatkan dirimu, tapi ternyata aku beruntung,” lanjutnya lagi.
“Aku mau,” ulangnya sekali lagi—seakan –akan ia tahu kalau aku tak percaya
dengan pendengaranku sendiri. Dan kini aku hanya bisa diam—menatap matanya yang
coklat itu. Ah, dia selalu berhasil membuatku seperti orang bisu seperti
sekarang.
“Terima
kasih. Je t’aime, ” bisikku.
To be Continued
To be Continued
Comments
Post a Comment