Someday

Cast : Kevin Wu a.k.a Kris EXO
           Kimberly Fransisco (OC)


Notes : Hollaa! Untuk pertama kalinya saya membuat FF Oneshot, dan untuk pertama kalinya saya membuat FF dengan cast EXO. FF ini saya buat untuk teman saya (dan tentunya untuk diri saya sendiri) xoxoxo. Semoga suka yaa. FF ini terinspirasi dari perasaan saya sendiri, dengan perubahan, tentu. Juga dengan lagu Ikimonogakari – Nostalgia yang sesuai dengan apa yang kurasakan sekarang. Selain itu, FF ini juga terinspirasi dari “penginspirasi saya yang hebat”. Semua ide yang saya dapatkan itu karenamu! Cerita ini murni dari pikiran saya, TIDAK PLAGIAT! So, don’t copy-paste this story, okay? Maaf jika ada kesamaan alur, nama, tempat, dsb itu semua hanya kebetulan semata. Maaf juga jika tidak jelas, gak nyambung, dsb. Jika judul tidak sesuai harap dimaklumi, karena saya gak pintar buat judul. Disarankan kritik dan saran dari readers, karena saya masih pemula dalam tulis-menulis. Happy reading and hope u like! Gomawo!

***

“Kau tahu tidak, aku sangat menyukai hujan.”
“Kenapa?”
“Karena hujan dapat memberiku ketenangan, aku suka ketika air hujan menyentuh permukaan tanganku, lagipula aku menyukai bau tanah sehabis hujan.”
“Oh,” hanya itu tanggapan sang lawan bicara.
“Bagaimana denganmu? Apa kau suka hujan?”
“Seberapa besar kau menyukai hujan?”
“Aku sangat, sangat, sangat, sangaaaaat menyukai hujan!” jawab yang ditanya sambil merentangkan tangannya dengan penuh semangat.
“Kau sangat suka hujan? Tak kusangka.”
“Kenapa?”
“Ah tidak, tak apa-apa.”

***

Toronto, Canada, 5 Januari 2015

Aku berdiri didepan jendela sambil memandang ke luar. Hujan. Malam ini hujan. Hujan deras.

Yah, aku memang menyukai hujan. Sangat, malah. Namun itu dulu. 5 tahun yang lalu.

Sebelum dia pergi.

Tes!

Aku mulai menangis. Ini benar-benar bodoh. Mengapa aku selemah ini? Mengapa aku begitu mudah menangis? Mengapa? Aku benar-benar tak mengerti.

Aku berjalan menjauh dari jendela. Keluar dari apartemenku dan berjalan menuju lift dengan pandangan kosong.

Aku tahu orang-orang memandangku dengan aneh. Yah, mungkin kau juga. Bagaimana tidak?  Kini aku berada di pinggir jalan—di tengah hujan. Bisa ditebak, sekujur tubuhku basah kuyup dalam waktu singkat. Namun, aku tak peduli.

Andai saja aku bisa memutar waktu. Aku ingin memperbaikinya. Tapi aku tahu itu konyol. Itu tidak mungkin. Aku tak mungkin dapat memutar waktu. Semuanya sudah terlambat.

Andai saja aku tak memaksanya.

Andai saja.. Andai saja.. Oh, ini membuatku benar-benar gila!

Andai saja aku tak memaksanya. Pasti tak akan seperti ini.

Ini salahku. Ya, ini salahku. Itu benar. Aku merasa seperti seorang pembunuh.

Andai aku tak memaksanya untuk pergi bersama, pasti ia takkan meninggal.

Kini aku sendirian. Ya—sendirian.

Rasanya aku ingin mati. Aku ingin mati, sungguh. Aku ingin menyusulnya. Aku ingin bersamanya. Lagipula sudah tak ada lagi yang peduli padaku.

Aku kembali berjalan memasuki jalan raya dengan pandangan kosong. Kini suara bel kendaraan terdengar ramai—berusaha mencegahku. Namun seperti yang kukatakan tadi, aku tak peduli. Mungkin orang-orang berpikir aku sudah gila. Yah, mungkin kalian mempunyai pemikiran yang sama dengan orang-orang itu. Dan jawabanku adalah : Ya, aku sudah gila.

Tiba-tiba sebuah Truk datang dengan kecepatan tinggi. Bagus! Truk ini benar-benar melancarkan rencanaku!

Bunyi bel kendaraan makin ramai dan makin kencang terdengar. Tapi aku hanya diam saja tanpa memperdulikan itu sedikit pun. Aku berdiri terpaku di tengah-tengah jalan raya sementara Truk itu semakin mendekat.

Sebentar lagi. Yah, selamat tinggal.

 Kejadian selanjutnya begitu cepat. Aku merasakan tubuhku terdorong hingga jatuh terpental. Aku menutup mataku rapat-rapat. Akhirnya.

Tapi, aku merasa ada yang aneh.

Aku membuka mataku sedikit diam-diam. Kini aku sudah ada di trotoar! Itu artinya aku gagal! Siapa yang berani menggagalkannya? Argh! Sial!

Kulihat seorang laki-laki berkulit putih mengenakan kemeja putih dengan jaket krem menatapku dengan matanya yang dalam, tajam, dan dingin. Dan laki-laki tersebut berada diatas tubuhku!

Oh, kuharap kalian tidak salah paham. Kurasa laki-laki ini yang mendorong tubuhku hingga terpental ke trotoar sehingga aku gagal—tak jadi tertabrak Truk.

Yah, aku gagal. Dan ini semua karena laki-laki ini!

Laki-laki yang sekarang basah kuyup itu cepat-cepat berdiri, menatapku dengan tatapannya yang dingin, dan menarik tanganku sehingga kini aku berdiri tegak di atas kakiku. Laki-laki itu terus menarik tanganku—sehingga mau tak mau, dan suka tidak suka, aku harus mengikuti langkahnya yang panjang-panjang dengan susah payah. Nampaknya laki-laki ini marah, mungkin tidak hanya marah, tapi sangat marah. Bisa kulihat jelas dari matanya yang dingin dan menusuk itu. Dan itu membuatku takut.

Kini aku sampai di apartemenku. Ia mendorongku keras-keras agar aku masuk hingga aku terjatuh. Namun, sepertinya ia tak peduli. Aku meringis kesakitan karena lututku membentur lantai.

Tiba-tiba, lagi-lagi ia menyeretku tanpa ampun menuju kamar tidur. Kini aku merasa seperti seorang pembantu yang melakukan kesalahan besar hingga aku harus diseret-seret tanpa ampun oleh majikanku—laki-laki ini. Tidak, itu hanya perandaian saja.

Aku berusaha melepaskan pergelangan tanganku dari cengkeramannya. Entah berteriak-teriak, menggunakan tangan, atau menggigit tangannya. Namun tentu saja gagal. Tenaganya tentu jauh lebih besar dariku yang lemah ini. Cengkeramannya jauh lebih kuat dari sebelumnya—membuatku meringis kesakitan.

Dan selanjutnya terjadi begitu cepat. Tiba-tiba ia mengangkat tubuhku, dan melemparkan tubuhku keras-keras. keatas tempat tidur seolah-olah aku ini bola basket dan tempat tidurku adalah ringnya.
Aku menatapnya, dan laki-laki tersebut membalas tatapanku dengan tatapannya yang dingin dan menusuk miliknya. 

“Diam!” bentaknya garang menyuruhku agar berhenti menangis. Namun, air mataku terus mengalir.

“Kau gila! Untuk apa kau melakukan ini, huh?” teriakku frustasi padanya sambil terus menangis. 

“Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu!” teriaknya tak kalah keras dariku sambil menghisap darah yang mengalir di pergelangan tangannya karena ku gigit tadi. “Kau gila! Konyol! Bodoh!”

“Kau tak tahu apapun! Jadi tutup mulutmu!”

“Aku tahu!”

“TIDAK! KAU TIDAK TAHU DAN TIDAK PERNAH TAHU!” teriakku frustasi. “Dan lagi, aku tidak gila, konyol, dan bodoh seperti katamu!”

“Kau gila! Konyol! Bodoh! Itulah dirimu, Kimberly Fransisco!”

“Tutup mulutmu, Kevin Wu!”

“Kau yang seharusnya tutup mulut!”

“Kau tak mengerti, Kevin! Kau sama sekali tidak mengerti!”

“Itu menurutmu! Aku mengerti!” teriaknya—lalu duduk di pinggir tempat tidurku—di dekatku. “Aku tahu, Kimberly. Aku jauh lebih tahu dari yang kau kira!” teriaknya lagi—membuatku terlompat kaget. “Kau sangat menyukai hujan, bukan?” tanyanya masih dengan tatapannya yang dingin.

“Kau salah. Kau salah besar. Aku benci hujan! Aku sangat membencinya!” kataku dengan mata berkaca-kaca.

“Aku belum selesai bicara!” teriaknya lagi untuk kesekian kalinya. “Hentikan tangisanmu yang menjijikkan itu!”

Tapi, aku tak bisa menuruti kata-katanya. Tepatnya air mataku. Air mataku terus mengalir. Oh, mungkin mataku akan bengkak besok.

PLAKK!

“Aku bilang hentikan tangisanmu! Aku tak ingin mendengarnya lagi!” teriaknya.

Akhirnya dengan sangat terpaksa aku menggigit bibir agar tangisanku berhenti. Yah, isakanku memang dapat berhenti—namun air mataku masih terus mengalir.

“Ya, aku tahu dan aku yakin kau sangat menyukai hujan,” katanya lagi dengan tenag, namun tetap dingin. Ia menatap mataku. Oh tidak, mudah-mudahan ia tidak membaca pikiranku. Tapi, kurasa ia tak dapat melakukannya.

Ia menghela napas sejenak, dan berkata, “Sebelum kejadian 5 tahun yang lalu, bukan?”

Aku menatapnya.

“Saat itu, kau ingin berjalan-jalan bersama kekasihmu, bukan? Sayangnya, kekasihmu menolak. Entah kenapa. Namun ternyata kau begitu keras kepala. Kau memaksanya agar ia mau pergi. Akhirnya, ia menuruti keinginanmu itu. Kalian berjalan-jalan berdua. Namun, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Dan, kejadian selanjutnya begitu cepat, bukan? Tiba-tiba sebuah Truk datang dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi. Rem Truk itu ternyata blong. Truk tersebut menabrak mobil kalian hingga terguling. Kau memang selamat, namun tidak dengan  kekasihmu, Steven, dia meninggal di tempat,” jelasnya panjang lebar. “Aku benar, bukan? Katakan padaku jika aku salah.”

Aku melotot padanya, dan tanpa sadar aku berbisik, “Kau.. Darimana kau tahu semua itu?”

“Tidak penting aku tahu darimana,” katanya dingin.

Aku memberanikan diri untuk menatap matanya. “Kimberly, Steven sudah meninggal. Lupakan dia,” katanya sambil menatap langit-langit kamar.

“Katakan padaku bagaimana caranya agar aku dapat melakukannya,” sahutku cepat. Aku mulai terisak, namun kutahan. “Aku tidak bisa, Kevin. Sulit bagiku untuk melakukan itu. Kau tak tahu bagaimana perasaanku.”

Ia menoleh dan menatapku. Kukira dia akan mengatakan sesuatu, namun ternyata tidak. Dia hanya diam.

“Ini semua salahku, Kevin. Ini salahku. Andai saja aku bisa memutar waktu, aku takkan memaksanya. Aku membunuhnya, Kevin,” lanjutku.

“Kau konyol. Kau tak mungkin bisa memutar waktu. Dan kau tak mungkin bisa melawan takdir,” akhirnya laki-laki itu bersuara.

“Ya, aku tahu itu. Tapi aku selalu merasa seperti itu!”

“Itu karena kau tak bisa menerima kenyataan! Kau harus bisa menerima kenyataan!”

“Sulit, Kevin!”

“Kau harus mencobanya!” balasnya cepat. “Kita tak bisa memutar waktu, Kimberly. Dan kita juga tidak bisa melawan takdir. Life must go on, Kimberly,” ujarnya lagi.

Aku terdiam mendengar kata-katanya.

“Lupakan dia. Biarkan dia menjadi kenangan dalam hatimu. Hidupmu masih panjang, Kimberly. Masih ada banyak orang yang peduli terhadapmu. Lagipula, kau akan menemukan cinta dari sebuah kehilangan, bukan?” katanya lagi. “Hentikan tingkah konyolmu ini, Kimberly. Bunuh diri dengan menabrakkan dirimu sendiri ke Truk? Itu konyol, Kimberly. Apa yang kau lakukan itu sama saja dengan kau menyakiti Steven. Apa kau ingin Steven sedih di atas sana?”

Tentu saja tidak, bodoh! Kataku dalam hati.

Yah, aku mengerti maksud kata-katamu, Kevin Wu. Tapi sayangnya, cinta itu sepertinya sudah taka da lagi untukku. Sudah hilang.

“Cinta itu masih ada untukmu, Kimberly. Percayalah padaku.”

“Sayangnya aku tak ingin percaya lagi dengan kata itu, Kevin. Aku terlalu mencintainya. Dan kau tak tahu bagaimana rasanya itu.”

“Kau sembarangan. Aku tahu apa yang kau rasakan. Sangat tahu, bahkan,” sahutnya sambil menyunggingkan senyum dinginnya.

“Kau tak memiliki satu kekasih pun,” kataku sambil tertawa meremehkan.

“Untuk merasakan cinta tak harus memiliki kekasih, bukan? Cukup dengan menyukai seseorang, atau bahkan mencintai seseorang kurasa sudah cukup bagiku,” jawabnya santai tanpa menghilangkan kesan dingin sedikit pun dari dirinya.

Aku menghapus sisa-sisa air mataku. Aku bingung harus menjawab apa. Kini aku hanya bisa menunduk—tak berani lagi menatap matanya yang tajam dan dingin itu.

Tiba-tiba ia menyentuhku. Mau tak mau dan suka tidak suka aku harus menatap matanya itu. Ia balas menatapku. Oh tidak, apa yang akan laki-laki ini lakukan sekarang setelah sekian perlakuannya tadi padaku?

“Ayo kita jalan dan minum kopi besok malam,” katanya tiba-tiba. Aku tak bisa menjawab, sungguh. Aku hanya bisa bertanya-tanya dalam hati.

“Aku mencintaimu,” katanya lagi tiba-tiba karena aku tak memberi jawaban apapun setelah suasana sempat hening selama 15 menit. Kata-katanya membuatku kaget. “Aku sangat mencintaimu, Kimberly Fransisco.”

The END


Gimana? Jelek? Gak jelas? Gak ngerti? Feel-nya gak dapat? Iya, benar. Tapi saya tetap meminta kritik dan saran dari kalian semuanya. Thank you sudah mau baca FF Oneshot gaje ini. Thank you!

Comments

Popular posts from this blog

It’s You