Beautiful In White Part 1

Cast : Main Cast : Dennis Park a.k.a Leeteuk                               Abigail Lavoie (OC)
           Other Cast : Aiden Lee a.k.a Donghae

Saya gak tahu apakah judulnya cocok atau tidak, karena saya gak pinter bkin judul. Mungkin ini gaje banget dan gak nyambung.

***
"Ini bahannya, kau tinggal ketik saja," kataku sambil memberi flashdisk-ku pada Aiden. Ia asyik mengutak-atik laptopnya.

"Thank you," katanya sambil tersenyum. "Di mana datanya? Kita kerjakan saja tugas itu sekarang. 5 hari lagi akan di kumpulkan, sedang masih banyak yang harus kita lakukan. Jadi, kita harus cepat. Kau tahu kan dosen kita itu galaknya luar biasa?" katanya lagi panjang lebar.

Aku tersenyum kecil mendengar perkataannya sambil duduk di sampingnya, "Ya, aku tahu."

"Di mana datanya Dennis-ah?" ia mengulang pertanyaannya. Oh ya, aku baru ingat aku belum menjawabnya.

Aku pun menunjukkan tempat dimana data itu kusimpan. Ia melihat data yang berhasil kukumpulkan.

"Wahh.. Sangat lengkap! Thank you, Dennis!" ujarnya puas.

Aku meringis, "Tapi ingat, kau harus.."

"Mentraktirmu kan?" ujarnya cepat memotong perkataanku. "Tenang saja, nati kau akan ku traktir," katanya lagi.

Aku pun tertawa puas. "Betul sekali, Aiden-ah," kataku puas.

Kami pun mulai mengerjakan tugas dari Mr. Olivier. Dosen yang terkenal killer, tegas, dan perfeksionis. Tiba-tiba, seorang perempuan menghampiri kami. "Allo, Aiden," sapanya pada Aiden. "Kau sibuk ya?"

"Allo, ternyata kau Abigail. Ya, kenapa?"

Perempuan yang ternyata bernama Abigail itu tersenyum seraya mengambil tempat di sebelah Aiden. "Ah, tugas dari Mr. Olivier kan?" katanya. "Aku sebenarnya ingin kau mengantarku ke toko buku, tapi kau kan sedang sibuk. Jadi, aku pergi sendiri saja," katanya.

"Buku apa?" tanya Aiden.

"Buku sejarah. Kau kan punya banyak referensi. Jadi, kupikir kau bisa memberiku saran mana buku yang cocok untukku," ujarnya. "Tapi tak apa-apa. Kau kerjakan saja tugasmu itu."

Tiba-tiba, kurasakan jantungku berdegup kencang. Ya Tuhan, ia cantik sekali. Dengan balutan kemeja putih dan celana hitam, membuatnya tampak manis.Jangan katakan kalau aku jatuh cinta padanya.

"Um.. Siapa laki-laki disebelahmu itu?" tanya Abigail. Oh, suaranya jernih. Enak didengar.

"Ah, dia teman satu kelompokku. Namanya Dennis. Dennis, ini Abigail," katanya.

"Allo," katanya mengulurkan tangan padaku. Aku hanya diam. Rasanya aku seperti orang bisu. Astaga, ia cantik sekali. Sorot matanya lembut, ramah, dan hangat. Namanya Abigail? Menurutku itu nama yang sangat cocok untuknya.

"Hey, Dennis-ah! Kenapa kau diam saja?" tanya Aiden heran sambil menepuk pundakku, sukses membuatku tersadar dari lamunanku.

Aku pun menoleh ke arah Aiden yang masih menatapku heran. "Ada apa? Apa ada yang salah dengan tugasnya?" tanyaku.

"Kau ini kenapa Dennis-ah?" tanyanya balik. "Ada yang ingin berkenalan denganmu! Kau ini kenapa aneh sekali hari ini?" katanya.

Ternyata perempuan itu ingin berkenalan denganku. Ku lihat ia masih mengulurkan tangannya padaku sambil terus tertawa. Ah, ia pasti mentertawakan aku. Konyol sekali!

"Ah.. Oh.. Um.. Allo, aku Dennis," kataku gugup. Udara musim gugur Paris menerpa tubuhku. Aku merapatkan syalku agar tak kedinginan. Ah, tapi sepertinya aku tak merasakan dingin. Tapi gugup. Itu yang kurasakan sekarang. Ku sambut uluran tangannya. Hm, hangatnya.

Perempuan itu tersenyum ramah padaku. Oh, tolonglah, jangan tersenyum! Aku mohon! "Aku Abigail," ujarnya. "Senang bertemu denganmu, Dennis-ah,"

Aku hanya mengangguk gugup. "Ah, Aiden, sepertinya aku harus pergi sekarang," katanya sambil melihat jam yang melilit pergelangan tangannya. "Semoga sukses, Aiden. Dan sampai jumpa lagi Aiden, Dennis. Bye!" pamitnya pada kami. Ia berlari-lari kecil sementara ia semakin menjauh. Aku terpana melihatnya.

"Hey, bagaiman kita menggunakan gambar ini saja, Dennis? Sepertinya ini cocok," ujar Aiden.

"Allo, Dennis, Dennis. Dennis!" ia memanggil namaku sambil menepuk pundakku lagi pelan.

"Ah ya, ada apa?" tanyaku.

"Justru aku yang ingin tanya padamu. Kau kenapa? Melamun saja. Kau aneh sekali hari ini."

Oh ya? Tapi sepertinya tidak begitu. Ah, Aiden hanya melebih-lebihkan saja. Itu menurutku.

"Ah tidak, aku tak apa-apa. Sungguh," kataku meyakinkan.

Kami pun melanjutkan pekerjaan kami yang sempat tertunda. Tapi sepertinya konsentrasiku terpecah menjadi 2 sekarang. Apa mungkin karena perempuan cantik itu? Kini aku memandang layar laptop Aiden dengan pandangan kosong. Abigail, Abigail, dan Abigail. Nama itu terus terbayang-bayang di pikiranku.Ah, kenapa aku memikirkannya? Apa aku suka padanya? Apa ini yang namanya cinta pada pandangan pertama?

Ah, kami baru saja bertemu untuk pertama kalinya! Mana mungkin aku bisa jatuh cinta padanya secepat itu? Yang benar saja! Tak masuk akal sekali kedengarannya!

"Um.. Aiden," panggilku perlahan.

"Hm?"

"Perempuan tadi.. Abigail maksudku.." aku gugup.

"Yes, ada apa dengannya?" ia mengerutkan kening tak mengerti.

"Dia siapa? Kelihatannya ia sangat dekat denganmu. Apa dia.. pacarmu?" tanyaku. Astaga, ada apa dengan bibirku? Kenapa aku mengeluarkan pertanyaan seperti itu? Aku benar-benar tak mengerti!

"Apa?" kelihatannya ia kaget. "Hey, bagaimana bisa ia menjadi pacarku? Aku akui, ia memang menarik. Tapi aku tak tertarik padanya. Ia tetanggaku sejak kecil," ujarnya panjang lebar.

"Benarkah?" tanggapku. "Apa dia sudah punya pacar?" lagi-lagi perkataanku tak terkontrol.

Aiden yang sedari tadi tak menoleh dari layar laptopnya kini menoleh kearahku. "Hm.. Setahuku ia tak pernah punya pacar," katanya sambil berpikir-pikir. "Biasanya ia akan memperkenalkan teman barunya padaku. Aku sudah dianggap sahabatnya sendiri. Tapi, dari dulu ia selalu memperkenalkan teman perempuannya padaku. Laki-laki tak pernah. Satu kali pun tak pernah. Ya, aku ingat itu,"
katanya.

"Oh ya?" tanyaku cepat. "Padahal ia cantik sekali. Sayang sekali," kataku. Tapi lain di mulut lain di hati. Aku memang kelihatannya seperti menyesal karena perempuan menarik seperti dia belum pernah berpacaran, tapi sebenarnya dalam hati aku bersorak gembira! Hufth, terima kasih Tuhan! Aku bersyukur sekali!

Tunggu, kenapa aku malah bersyukur? Hey, yang benar saja! AKU TAK MUNGKIN TERTARIK PADANYA! Aku benar-benar tak percaya pada pikiranku sendiri.

"Ya, memang sayang sekali. Aku saja heran, kenapa wanita seperti dia tak pernah punya pacar. Padahal dia itu.. Sudah cantik, pintar, profesional lagi! Pokoknya, dia itu wanita yang sebenarnya bisa meluluhkan hati banyak pria," kata Aiden. "Ah, sudahlah, jangan bicarakan dia lagi. Kita selesaikan ini dulu."

***
Pagi ini aku berjalan-jalan di sekitar kampusku. Berjalan-jalan tak menentu. Ah tidak. Sepertinya aku salah. Pikiranku terfokus pada satu hal. Dan lagi-lagi Abigail.

Aku merapatkan syalku. "Hih.. Dinginnya," aku menggigil ketika udara musim gugur menerpa wajahku.

Tiba-tiba kulihat seorang wanita duduk sendirian. Ku lihat dengan cermat. Abigail. Tak salah lagi, dia Abigail. Aku sangat ingat wajahnya. Bagaimana mau tak ingat? Setiap hari sosoknya terus menghantuiku.

Aku tersenyum senang. Rasanya aku sangat ingin melompat-lompat. Tapi mana mungkin aku melompat-lompat di sini? Bisa-bisa aku dikira orang gila.Aku sangat ingin menghampirinya. Tapi.. Aku malu! Apa yang harus kukatakan untuk membuka percakapan? Tak mungkin bagiku jika aku hanya menyapanya lalu kami duduk diam saja satu sama lain?

Ternyata rasa malu mengalahkan keinginanku untuk menghampirinya. Aku duduk di salah satu bangku yang kosong sambil terus memperhatikannya dari jauh.

Fantastic. Baru kali ini kulihat perempuan sepertinya. Walau hanya dari jauh, tapi aku sudah puas. Sepertinya aku benar-benar menyukainya. Ralat. Mencintainya.

"Allo!" suara jernih itu terdengar lagi di pikiranku. Ah, sepertinya aku salah lagi. Kini perempuan bernama Abigail itu sudah ada tepat di hadapanku sambil tersenyum ramah. Senyum itu. Senyum yang ramah dan tulus. Aku suka itu.

"Oh.. Kau?" kataku berpura-pura lupa. Padahal sebenarnya aku ingat. Sangat ingat.

"Aku Abigail. Masih ingat denganku?" tanyanya. Aku berpura-pura berpikir. "Ah ya, aku ingat. Duduklah, Abigail," kataku sambil bergeser.

Ia pun duduk disebelahku. Kini kami sangat dekat. Lebih dekat dari saat pertama kali aku melihatnya, karena ada Aiden sebagai "penghalang" untuk melihatnya lebih dekat. Namun sekarang?  Aku sangat senang. Sepertinya Tuhan mengabulkan keinginanku.

Ia nampak cantik dengan balutan kemeja warna coklat tanah, syal hitam, dan celana hitamnya. Lengkap dengan kulit putih bersih serta pipinya yang chubby.

"Kau Dennis, kan?" tanyanya sambil merapikan rambutnya yang kecoklatan karena dtiup angin yang sepoi-sepoi.

"Yup. Benar," ujarku."Kau kenapa disini?" tanyanya. Ia menatapku dengan mata coklatnya yang cantik itu sambil memakai kacamatanya.

"Dosenku mendadak ada urusan. Jadi, aku tak ada kuliah hari ini. Kau sendiri?" aku bertanya balik.

"Sama juga sepertimu," jawabnya ceria.

Aku melihat lagi kacamata yang dipakainya. "Apa matamu minus?" tanyaku.

"Ya," ujarnya sambil meringis. Menurutku, ia tetap cantik walau berkacamata. Ku lihat wajahnya. Ia terlihat pintar. Nilai plus untuknya dariku.

Kami pun mulai asyik mengobrol. Mengobrol tentang apa saja. Ia sangat asyik di ajak obrol, membutku menambahkan satu nilai plus lagi untuknya.

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Jam makan siang pun dimulai.

"Kau tidak makan?" tanyaku. "Ayo kita makan siang," kata-kat itu meluncur mulus dari bibirku. "Kau mau?"

"Kenapa tidak?"


***
Kini kami ada di salah satu Restoran yang terkenal di Paris. Banyak juga pasangan yang menikmati makan siang disini. Tidak hanya para pasangan saja, para keluarga pun ada ketika kami memasuki Restoran ini.

"Kau mau pesan apa?" tanyaku ketika kami duduk.

Ia melihat buku menu yang ada di meja dan berkata, "Tapi.. Apa tak apa-apa?" tanyanya ragu-ragu.

"Tidak apa-apa. Tenang saja," ujarku sambil tersenyum. Aku tahu maksud pertanyaannya.

Ia menatapku. Tolong aku! Siapa saja tolong aku!

"Bolehkah aku memesan Escargot?" tanyanya. Aih, benar-benar pertanyaan konyol! Rasanya aku ingin sekali tertawa melihat wajahnya yang polos saat bertanya tadi. Namun, tawa itu terpaksa harus kutahan.

"Baiklah, tentu saja boleh Abigail," kataku sambil berusaha menahan tawa. "Kau ingin minum sesuatu juga, mungkin?"

Abigail sibuk berpikir-pikir. "Aku ingin Espresso saja,"

Aku memanggil waiterss dan mengatakan pesanan kami. Waitress pun mencatat pesanan dengan cepat dan pergi.

Kami pun mulai mengobrol lagi. Dari satu topik ke topik lainnya. Abigail adalah mahasiswa jurusan design di International Paris University, Universitas yang sama denganku. Dan lagi-lagi, ia juga kuliah di semester 5, sama sepertiku.

"Kau kelihatannya sangat dekat dengan Aiden," kataku.

"Oh ya? Tapi aku tak menyadarinya," ucapnya sambil tertawa pelan.

Aku ikut tertawa dan berkata, "Ya, seperti orang berpacaran," aku memancing Abigail untuk memastikan perkataan Aiden benar atau tidak. Siapa tahu ia membohongiku.

Mendengar perkataanku tadi, Abigail malah tertawa. Dan secara otomatis aku menambahkan satu nilai plus lagi untuknya. Jujur, tawanya yang renyah itu, aku sangat suka mendengarnya."Hahaha.. Tidak, kami hanya sahabat. Dia tetanggaku sejak kecil, tapi kami memang sangat dekat," terangnya.

Aku tersenyum menanggapi perkataannya. "Dia mengatakan, setahu dia kau tak pernah berpacaran. Apa.. Itu benar?" tanyaku hati-hati. "Tapi, kurasa ini menyangkut privasimu. Jadi, kalau kau tak mau menjawabnya tak masalah. Maafkan aku karena telah lancang," lanjutku cepat, karena aku tahu aku sudah menyinggung hal yang privasi. Apalagi, kami baru saling kenal dan 2 kali bertemu.

"Haha.. Tak apa-apa," sahutnya. Ia berhenti sebentar. Ku sangka ia tak ingin menjawab pertanyaan bodohku tadi. "Aku memang belum pernah berpacaran," tak kusangka ternyata ia menjawab pertanyaanku itu!

"Oh ya? Maafkan aku telah menanyakannya," kataku menyesal. Tapi, aku tak percaya. Kau cukup menarik, itu menurutku. Tak mungkin tak ada laki-laki yang berhasil kau luluhkan," kataku lagi.
Makanan kami pun datang sehingga obrolan kami berhenti untuk sejenak. Ia mulai menyantap Escargot miliknya dan aku dengan Foie Gras-ku.

"Benarkah? Tapi aku tak merasa menarik," ucapnya sambil meminum Espresso-nya. "Untuk sekarang, belum ada laki-laki yang menarik bagiku. Lagipula, aku juga belum berniat untuk berpacaran,"

Aku memotong Foie Gras-ku dan menyantapnya sambil berkata, "Sayang sekali."

Abigail, aku yakin, aku akan bisa menarik hatimu suatu saat nanti, bisikku dalam hati.

To be Continued


Comments

Popular posts from this blog

It’s You