Used To

Title : Used To

Genre : Friendship

Notes : Hai! Ketemu lagi sama saya. Ini bukan FanFiction, tapi cerpen gaje hasil karya saya sendiri. Semoga suka yaa. Cerpen ini terinspirasi dari perasaan saya dan inspirator terhebat yang pernah ada yang pernah saya miliki (semua ide yang saya dapatkan selama ini itu karenamu!). Ide cerita ini murni dari pikiran saya. TIDAK PLAGIAT! So, don't copy-paste this story, okay? Jika ada kesamaan latar, nama, alur, dsb itu hanyalah kebetulan semata. Oh, maaf kalau judulnya tidak sesuai dengan cerita, karena saya nggak pintar buat judul. Maaf juga kalau cerpen ini terlalu pendek buat kalian, saya akan membuatnya sepanjang yang saya bisa. Dibutuhkan saran dari kalian para readers semuanya agar saya bisa menulis lebih baik lagi, karena saya masih pemula dalam dunia tulis-menulis. Thank you and Happy reading!

Song : Daughtry - Used To. Semoga bisa bantu mendapatkan feel-nya.

 ***


Bisakah kita kembali seperti dulu? –Used To.

***
Aku berdiri di  tempat parkir sembari menunggu Andrew memarkirkan mobilnya. Tak jauh dari tempat parkir, kulihat sebuah taman yang cukup luas. Taman itu terlihat ramai, bisa dilihat dari musik dan suara orang-orang yang terdengar samar-samar sampai tempat parkir. “Disini tempatnya?”
“Ya,” sahut Andrew—yang rupanya sudah berdiri di sampingku—sambil mengangguk. “Ayo. Kamu pasti rindu sama mereka, kan?”
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, tapi sepertinya Andrew tidak melihatnya, karena ia sudah mendahuluiku masuk ke taman besar itu. Mau tak mau, aku pun melangkahkan kakiku mengikutinya.
Sudah sepuluh tahun aku meninggalkan Indonesia, dan itu artinya terakhir kali aku berjumpa dengan mereka adalah sepuluh tahun yang lalu. Kini, aku akan bertemu lagi dengan mereka. Bukan di gedung SMK tempatku dulu bersekolah seperti sepuluh tahun yang lalu, tapi di taman luas ini. Di acara reuni ini.
Taman itu sangat indah, dengan kolam yang terletak di sudut taman. Reuni ini menggunakan konsep garden party—tentu saja—yang berkelas, sangat berbeda dengan garden party yang pernah kukunjungi. Siapapun yang merancang konsep ini benar-benar patut diacungi jempol. Aku mengamati sekelilingku. Suasananya sangat ramai, jauh lebih ramai dari perkiraanku semula. Banyak orang bercerita, bernostalgia dengan masa lalu. Ah, nostalgia.
Tapi, dimana Andrew? Ah, itu dia, sedang mengobrol bersama Felix. Obrolan mereka sepertinya sangat seru, entah apa yang mereka bicarakan. Mungkin mereka sedang bernostalgia, sama seperti yang lainnya.
Aku baru saja hendak menghampiri Andrew, ketika sebuah suara memanggil namaku di tengah keramaian ini.
“Hey, Bethany! Hey!”
Aku menoleh ke belakang, dan kulihat seorang perempuan berlari-lari kecil sambil melambaikan tangannya ke arahku. Aku membalas lambaian tangannya sambil mengernyitkan dahiku bingung.
“Hey, apa kabar?” kini perempuan asing itu sudah ada di depanku. Dengan kulit kecoklatan dan dress berwarna biru tua, kurasa ia nampak manis. Matanya bersinar-sinar cerdas. Ia masih menatapku sambil tersenyum lebar, menungguku menjawab pertanyaannya.
“Um.. Maaf, kamu siapa?” tanyaku.
“Hey, kamu lupa sama aku ternyata! Jahat banget sih!” serunya, tapi bisa kulihat senyum jenaka menghiasi bibirnya. “Aku Lea.”
Lea? Lea siapa?
“Teman sekelasmu pas SMK,” jelasnya lagi, melihat raut wajahku yang masih kebingungan.
Lea? Teman SMK?
“Oh!” seruku girang. “Aku baik. Kamu gimana?”
“Aku? Sangat baik,” jawabnya. “Oh ya, selamat atas terbitnya novel terbarumu. Back to November, hm?” katanya. “Kudengar penjualannya bagus sekali. Aku baru selesai baca, dan novelmu memang bagus banget.”
“Terima kasih,” aku tersenyum kecil. “Nggak juga kok. Biasa aja.”
“Ah, kamu bohong,” guraunya. Matanya bersinar-sinar jenaka. “Novelmu itu bestseller, tahu.”
“Sudahlah,” desahku, merasa kalah. “Kamu kerja apa sekarang?”
“Designer,” katanya, masih dengan senyum.
“Oh ya?” tanyaku antusias. “Kapan-kapan aku harus coba baju rancanganmu.”
Lea tertawa renyah dan berkata, “Boleh, boleh.”
Aku ikut tertawa. “Gratis?” tanyaku dengan mata melebar.
Lea menggeleng, masih terus tertawa. “Nggak dong. Aku dapat novelmu aja bayar, masa kamu dapat baju rancanganku gratis? Kan nggak adil namanya.”
“Yahh..” aku berpura-pura merengek. “Harusnya kamu telepon aku kalau mau dapat novelku secara gratis, biar aku bisa dapat baju gratis juga,” gurauku.
“Nggak ah, mahal! Sayang pulsa, tahu.”
“Yee, sayang pulsa,” gurauku lagi. “Aku makan dulu ya,” kataku. “Nanti kita ngobrol lagi, oke?”
Lea hanya mengacungkan jempol sebagai jawaban, sementara aku sudah menjauh ke area makanan.
Aku menggigit makananku dan mengunyahnya perlahan. Suasananya sangat ramai, bahkan mungkin malah semakin ramai. Maklum, tak hanya angkatanku saja yang hadir di acara reuni ini. Masih ada dua angkatan lagi. Angkatan seniorku dan juniorku saat SMK. Mereka semua sibuk bernostalgia, menceritakan kejadian apa saja yang pernah terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu. Oh, sungguh, sebenarnya aku benci mengakui ini, tapi aku tidak suka menghadiri acara semacam ini. Kurasa tak ada gunanya bernostalgia dengan masa lalu. Tak ada gunanya mengingat-ingat masa lalu, bukan? Aku lebih suka merasa penasaran dengan masa depan, dan kemudian menatap masa depanku yang cerah.
Aku menelan potongan makananku yang terakhir, mengambil segelas cokelat panas yang tersedia di salah satu meja, dan menyesapnya perlahan. Aku merasa tidak nyaman, sungguh. Suasananya terlalu ramai. Mungkin bagi orang yang terbiasa dengan suasana ramai akan merasa nyaman, tapi aku tidak. Hidup sendiri selama sepuluh tahun di Kanada membuatku terbiasa dengan suasana sepi dan sendirian. Lalu kenapa aku mau datang ke acara ini?
Pikirku tak ada salahnya datang. Aku bisa sekaligus mengunjungi orang tuaku, karena aku tak pernah pulang ke Indonesia semenjak aku pergi ke Kanada untuk pertama kalinya. Hitung-hitung sambil menyelam minum air, bukan?
Selain Lea, masih banyak lagi yang kutemui di acara ini. Mereka semua rata-rata sudah sukses. Ada yang menjadi pengusaha rumah makan, doktor, programmer, psikolog, bahkan pemain basket putra dan putri. Tentunya masih banyak lagi yang lainnya.
“Bethany, kan?”
Aku menoleh ke sumber suara itu, dan aku langsung melihat dua perempuan tersenyum ke arahku. “Ya.”
Tiba-tiba salah satu perempuan itu menjerit, membuatku mengernyit mendenganya dan beberapa orang menoleh ke arah kami. “Aku Emma! Masih ingat nggak?”
“Emma!” tanpa sadar aku menjerit, walaupun tidak sekeras Emma. “Apa kabar?”
“Baik,” sahutnya. “Kamu sendiri gimana?”
“Baik juga,” kataku. “Seingatku, dulu kayaknya kamu gemuk, deh. Sekarang kamu kurus ya. Cantik,” pujiku.
“Hey, hey, kalian gitu ya. Aku dilupakan,” sela perempuan yang berdiri di samping Emma sebelum Emma sempat bicara lagi sambil berpura-pura cemberut.
“Oh iya! Maaf, maaf,” sahut Emma, tapi sayang sepertinya ekspresi wajahnya samasekali tidak mendukung kata-katanya. Ia samasekali tidak terlihat merasa bersalah. Emma duduk di salah satu kursi yang ada di depanku. “Bethany, masih ingat dia nggak? Itu lho, yang dulu alay banget,” Emma tersenyum sumringah sambil melirik perempuan yang duduk di sampingnya . “Flo.”
“Oh, ini Flo?” seruku girang. “Gimana kabarnya nih Flo? Lama nggak ketemu, ya? Kamu kayak menghilang ditelan bumi.”
“Hey, hey, yang menghilang ditelan bumi kayaknya bukan aku, deh. Tapi kamu,” sahut Flo. “Dan Emma, aku dulu nggak alay.”
“Ih, nggak mau ngaku,” balas Emma cepat. “Kamu tuh dulu alay banget. Tapi baik.”
“Ya, ya, ya, makasih aja deh,” kata Flo sambil mengedikkan bahu. “Eh, Bethany, masih ingat nggak, dulu dia,” Flo mulai bicara lagi sambil melirik Emma sekilas, “pernah jatuh dari tangga pas kelas 11?”
“Eh!” mata Emma melebar kaget ketika mendengar kata-kata Flo. “Apa-apaan ini?”
“Perbuatlah apa yang ingin orang lain perbuat padamu,” sahut Flo acuh tak acuh, tapi bisa kulihat dengan jelas seulas senyum penuh rasa puas tersungging di bibirnya. “Tadi kamu bilang aku alay, kan? Sekarang giliranku.”
“Eh, jangan gitu, dong! Itu kan kejadian bersejarah dalam hidupku,” sahut Emma.
Aku hanya bisa tertawa melihat mereka. “Aku masih ingat kok, Flo,” aku ikut menggoda Emma. Ingatanku melayang ke kejadian sebelas tahun lalu.

***
Akhirnya praktiknya selesai, pikir Emma senang. Ia segera menggendong tasnya yang berat dan melangkahkan kakinya menuju kelas di lantai dua.
Sesampainya di kelas, Emma segera meletakkan tasnya di tempat duduk, keluar dari kelas, dan menyusul teman-temannya yang sudah berada di kantin yang terletak di lantai bawah. Ia terus berjalan sambil bersenandung. Sepertinya dia sedang senang hari ini.
Sayangnya, Emma terlalu asyik bersenandung sampai-sampai tak memperhatikan jalan. Dia lupa bahwa ia sedang menuruni tangga. Dan..
“Wuaa!!”
Emma terpeleset sehingga jatuh berguling-guling di tangga. Dia begitu ketakutan, tapi semuanya sudah terlambat. Ia hanya bisa menutup matanya. Emma terus berguling, hingga akhirnya sampai di lantai paling bawah.
“Ya Tuhan,” bisiknya dalam hati. “Aku udah mati? Atau masih hidup?”
Emma memberanikan diri untuk membuka matanya perlahan, dan ia bisa melihat seberkas cahaya dengan jelas.
Emma sangat senang. Oh, tentu saja. Ia cepat-cepat sujud syukur. “Terima kasih, Tuhan! Terima kasih.”
Setelah itu, Emma segera bangkit dan menyusul teman-temannya. Ia sudah tak sabar ingin menceritakan kejadian ini.

***
Aku dan Flo tertawa terbahak-bahak mengingat kejadian itu. Awalnya Emma terlihat kesal, tapi aku tahu itu hanya berpura-pura karena akhirnya ia ikut tertawa bersama kami.
“Eh, udah dong, jangan ketawa terus,” katanya di sela-sela tawanya. “Itu kejadian paling bersejarah di hidupku, tahu?”
“Ya, kita tahu. Kamu tadi udah bilang,” kataku sambil berusaha menghentikan tawaku dengan susah payah. “Tapi memang lucu sekali. Aduh, aduh,” erangku pelan. Perutku sakit karena terlalu banyak tertawa.
“Oke, oke, udah dong,” rengek Emma. “Kejam banget ya kalian, ngetawain aku.”
“Ya, ya, kita berhenti,” kataku, tapi nyatanya aku masih terus tertawa.
Emma melotot ke arahku. “Bethany! Udah dong. Bisa lima belas menit kamu ketawa kalau kayak gini.”
“Ternyata Bethany masih sama kayak dulu. Masih suka ketawa,” sambung Flo.
“Tapi aku jadi kelihatan muda,” kilahku tak mau kalah. “Setidaknya tiga tahun lebih muda dari umurku yang sebenarnya.”
“Ya, aku tahu kamu awet muda,” Emma menyilangkan tangannya di atas dada sambil tersenyum lagi.
Flo mengalihkan pembicaraan. “Ke sini sama siapa?” tanyanya padaku.
“Hm? Sama teman,” sahutku acuh tak acuh sambil menyesap cokelat panasku perlahan, yang kini tinggal seperempat penuh.
“Pasti sama pacar, ya?” sela Emma cepat. Ada kilat jahil di matanya.
Mataku melebar mendengarnya. “Hah? Nggak, nggak ada pacar.”
“Ah, bohong,” Flo ikut menggodaku.
“Eh, beneran nggak ada. Aku datang sama teman,” aku berusaha meyakinkan kedua teman lamaku ini, tapi sepertinya aku gagal. Mereka tersenyum sambil menatapku dengan tatapan ah-masa-sih? “Aku nggak mau punya pacar. Setidaknya sekarang,” tambahku lagi cepat-cepat.
“Kenapa?” Flo mengernyit. “Kamu kan udah sukses. Novelis terkenal. Rekeningmu pasti gendut.”
“Nggak, Flo. Sudah ah,” elakku. “Aku pergi ya. Ada yang manggil,” kataku lagi ketika kulihat Andrew melambaikan tangan ke arahku.
Aku segera bangkit dari tempat dudukku, menyesap sisa cokelat panasku hingga habis, dan pergi menjauh dari mereka. Namun, masih bisa kurasakan mereka tersenyum penuh arti di belakangku. Oh, tidak.

***
“Ada yang nyari kamu,” kata Andrew ketika aku menghampirinya.
“Siapa?”
Bukannya menjawab pertanyaanku, Andrew malah berkata, “Ini Bethany,” katanya pada perempuan yang duduk di depannya. Kemudian Andrew menatapku. “Bethany, dia mau ngomong sama kamu. Katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan,” katanya seraya bangkit dari tempat duduknya dan pergi menjauh, ingin memberikan privasi.
Aku duduk di kursi yang tadi diduduki Andrew dan menatap perempuan itu lekat-lekat. Dengan kulit putih pucat dan dress hitam yang melekat di tubuhnya, dia terlihat.. yah, cukup menarik. Perempuan yang tak kukenal itu balas menatapku lekat-lekat.
Aku memutuskan untuk memulai pembicaraan. “Kamu ada perlu apa sama saya?” tanyaku tanpa basa-basi.
Mungkin dia fans yang ingin minta tanda tangan, entah kenapa gagasan itu terlintas di benakku. Tapi, secepat gagasan itu terlintas, secepat itu pula aku mengusirnya. Tapi kata Andrew ada hal penting yang ingin dibicarakan, jadi pasti bukan itu.
“Kamu Bethany?” bukannya menjawab pertanyaanku, perempuan itu malah balik bertanya. “Aku Naomi.”
Seketika mataku membola karena kaget ketika mendengar nama itu. Tidak, sepertinya aku terlalu kaget karena piring berisi cheese cake yang kupegang nyaris terlepas dari genggamanku.
“Kamu.. Naomi? Naomi Magdalena?” tanyaku lirih, seolah tak percaya dengan pendengaranku sendiri.
Dan, perempuan itu hanya mengangguk sebagai jawaban.
Oh, sial!
Oh, oke, sebenarnya sejak awal aku sudah memperkirakan hal ini akan terjadi. Tapi aku tidak mengira hal ini akan benar-benar terjadi.
Mau apa kamu?” tanyaku acuh tak acuh.
“Bagaimana kabarmu?”
“Jawab pertanyaanku,” kataku sambil menatapnya tajam.
Naomi menghela napas panjang dan menghembuskannya pelan. “Aku rindu sama kamu.”
“Apa? Rindu?” aku tertawa mengejek. “Kamu masih bisa rindu sama aku setelah yang udah kamu lakukan sepuluh tahun yang lalu?” tanyaku, masih dengan tawa mengejek. “Haha.. Lucu sekali.”
Naomi terdiam mendengar kata-kataku. Ia menatapku dalam-dalam, lalu berkata, “Aku serius.”
“Udahlah, nggak usah bertele-tele. Sebenarnya maumu apa?”
Lagi-lagi Naomi menghela napas sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku minta maaaf, Bethany.”
“Cuma itu?” sahutku cepat sambil mengedikkan bahu acuh tak acuh.
‘Yah..” Naomi terdiam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, “aku mencarimu. Tapi kamu kayak menghilang ditelan bumi. Baru-baru ini aku dengar kamu sudah jadi novelis terkenal, dan beberapa hari kemudian ada pengumuman tentang acara ini. Aku memutuskan datang dengan harapan bisa ketemu kamu. Dan harapanku terwujud.”
Harusnya aku nggak datang, gerutuku dalam hati. Ingatanku melayang ke kejadian sepuluh tahun lalu.

***
Aku mengambil ponselku dan menekan sebuah nomor. “Halo? Naomi? Keluar, yuk! Apa? Kamu nggak bisa? Oh, gitu. Oke deh, nggak papa kalau gitu. Daa..”
“Yah, batal deh acara hari ini,” keluhku setelah menutup telepon. Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidurku yang empuk. Aku berpikir-pikir sambil terus memandang langit-langit kamar dengan pandangan kosong.
Akhir-akhir ini, aku merasa Naomi—sahabatku sejak kecil—menjauh dariku. Tidak, ini tidak hanya perasaanku saja. Naomi memang menjauh dariku akhir-akhir ini. Kami semakin jarang berkomunikasi dan jarang bertemu. Dan itu semua karena kini dia sudah punya pacar.
Awalnya, aku tak masalah ketika dia tidak bisa menemaniku sesering sebelumnya. Aku maklum, karena kini ia harus membagi waktu dengan pacarnya. Pacar pertamanya, itu katanya. Tidak hanya itu, pacarnya juga bagikan Cassanova. Bagai burung indah yang tak boleh ditangkap. Sangat sempurna. Oh, tidak, bahkan terlalu sempurna untuk seorang laki-laki. Yah, aku tahu, tak ada yang sempurna di dunia ini. Tapi sudahlah. Yang terpenting, aku bahagia melihatnya bahagia.
Tapi, semua itu semakin parah seiring berjalannya waktu. Naomi semakin menjauh. Dia seperti tak punya waktu sedikitpun untukku, bahkan hanya untuk curhat sekalipun. Seluruh waktunya seperti didedikasikan hanya untuk pacarnya. Kejadian tadi adalah salah satu bukti nyata kalau dia benar-benar tak punya waktu untukku. Semuanya benar-benar berubah. Dulu, Naomi selalu bicara padaku, curhat padaku seolah-olah hanya aku yang bisa dipercaya. Dulu, ia selalu bersandar padaku ketika mengalami masalah. Dulu kami sering menghabiskan waktu bersama, dengan  berjalan-jalan, atau apa saja.
Tapi itu dulu. Bukan sekarang. Sebelum dia punya pacar.
Aku berusaha memperbaiki persahabatan kami yang renggang dengan berbagai cara, tapi tak pernah berhasil. Dia tak pernah peduli. Dia hanya peduli pada pacarnya, dan seolah-olah aku tak pernah ada.
Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk menyerah. Percuma jika yang berjuang hanya satu pihak saja, bukan? Beberapa hari setelah hari kelulusan, aku memutuskan pergi ke Kanada, mengambil beasiswa kuliah yang kudapatkan tanpa memberitahu siapapun kecuali orang tuaku, dan memulai lembaran baru dalam hidupku. Dan, aku tak lagi percaya pada indahnya persahabatan.

***
“Oh ya, satu lagi, aku udah baca novel terbarumu. Dan harus kuakui, novelmu memang bagus banget,” kata-kata Naomi membuyarkan lamunanku.
“Eh.. Oh.. Um.. Terima kasih,” sahutku sambil menyuapkan sepotong cheese cake ke dalam mulut.
Kami pun sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Dalam waktu singkat keheningan hinggap di antara kami. Keheningan yang—sayangnya—tidak nyaman. Aku tahu aku harus mengatakan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.
“Bethany,” Naomi memecah keheningan. Ia menatapku lekat-lekat. Aku balas menatapnya.
“Aku minta maaf,” katanya.
“Kau sudah—“
“Aku tahu, Bethany. Aku tahu aku salah,” selanya cepat sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku.  “Aku hanya minta satu hal,” katanya lagi. Lagi-lagi ia menghela napas—entah sudah berapa kali ia melakukannya sejak tadi—sebelum akhirnya melanjutkan, “bisakah kita kembali seperti dulu? Seperti sebelum aku punya pacar. Bisakah kita kembali lagi? Bisakah?”
Aku menatapnya dalam-dalam. Bisa kulihat dengan jelas ada sebersit harapan di mata cokelatnya.
Oh, apa yang harus kulakukan?
“Naomi,” panggilku.
Naomi menatapku dengan penuh harap, tapi aku tak mempedulikan itu. “Pertama, perbuatanmu sudah kumaafkan, jadi tolong jangan minta maaf terus. Kedua, kamu memang udah kumaafkan, tapi aku nggak yakin kita bisa memulainya dari awal lagi seperti dulu. Dan yang ketiga, aku sudah punya kehidupan yang jauh lebih baik tanpamu. Jadi, jangan pernah ganggu aku lagi. Lupakan aku, anggap aja aku nggak pernah jadi sahabatmu,” kataku panjang lebar.
“Apa kamu nggak mau ngasih aku kesempatan kedua?’ tanyanya lirih.
“Nggak, Naomi. Maaf,” sahutku tegas. “Kalau cuma itu yang ingin kamu bicarakan, pembicaraan kita sudah selesai. Aku masih punya banyak urusan yang lebih penting di Kanada,” kataku lagi sambil bangkit dari kursiku dan berjalan pergi menjauh.
Bisa kubayangkan, Naomi kecewa. Tapi aku tak peduli. Aku terus berjalan menjauh, mengambil poselku, dan menekan sebuah nomor.
“Halo? Andrew? Kamu sudah selesai?  Ya, aku sudah selesai. Ayo kita pulang.”
Dan aku meninggalkan acara reuni itu tanpa diketahui siapapun.


The END

Gimana? Jelek? Feel-nya nggak dapat? Yang jelas saya mengharapkan kritik dan saran dari readers semuanya. Diharapkan kalian meninggalkan jejak di kolom komentar, okay? Terimakasih sudah baca. Sekali lagi, terimakasih!

Comments

Popular posts from this blog

It’s You