Used To
Title : Used To
Genre : Friendship
Notes : Hai! Ketemu lagi sama saya. Ini bukan FanFiction, tapi cerpen gaje hasil karya saya sendiri. Semoga suka yaa. Cerpen ini terinspirasi dari perasaan saya dan inspirator terhebat yang pernah ada yang pernah saya miliki (semua ide yang saya dapatkan selama ini itu karenamu!). Ide cerita ini murni dari pikiran saya. TIDAK PLAGIAT! So, don't copy-paste this story, okay? Jika ada kesamaan latar, nama, alur, dsb itu hanyalah kebetulan semata. Oh, maaf kalau judulnya tidak sesuai dengan cerita, karena saya nggak pintar buat judul. Maaf juga kalau cerpen ini terlalu pendek buat kalian, saya akan membuatnya sepanjang yang saya bisa. Dibutuhkan saran dari kalian para readers semuanya agar saya bisa menulis lebih baik lagi, karena saya masih pemula dalam dunia tulis-menulis. Thank you and Happy reading!
Song : Daughtry - Used To. Semoga bisa bantu mendapatkan feel-nya.
Genre : Friendship
Notes : Hai! Ketemu lagi sama saya. Ini bukan FanFiction, tapi cerpen gaje hasil karya saya sendiri. Semoga suka yaa. Cerpen ini terinspirasi dari perasaan saya dan inspirator terhebat yang pernah ada yang pernah saya miliki (semua ide yang saya dapatkan selama ini itu karenamu!). Ide cerita ini murni dari pikiran saya. TIDAK PLAGIAT! So, don't copy-paste this story, okay? Jika ada kesamaan latar, nama, alur, dsb itu hanyalah kebetulan semata. Oh, maaf kalau judulnya tidak sesuai dengan cerita, karena saya nggak pintar buat judul. Maaf juga kalau cerpen ini terlalu pendek buat kalian, saya akan membuatnya sepanjang yang saya bisa. Dibutuhkan saran dari kalian para readers semuanya agar saya bisa menulis lebih baik lagi, karena saya masih pemula dalam dunia tulis-menulis. Thank you and Happy reading!
Song : Daughtry - Used To. Semoga bisa bantu mendapatkan feel-nya.
***
Bisakah kita kembali seperti dulu? –Used To.
***
Aku berdiri
di tempat parkir sembari menunggu Andrew
memarkirkan mobilnya. Tak jauh dari tempat parkir, kulihat sebuah taman yang
cukup luas. Taman itu terlihat ramai, bisa dilihat dari musik dan suara orang-orang
yang terdengar samar-samar sampai tempat parkir. “Disini tempatnya?”
“Ya,” sahut Andrew—yang
rupanya sudah berdiri di sampingku—sambil mengangguk. “Ayo. Kamu pasti rindu sama
mereka, kan?”
Aku hanya
mengangguk sebagai jawaban, tapi sepertinya Andrew tidak melihatnya, karena ia
sudah mendahuluiku masuk ke taman besar itu. Mau tak mau, aku pun melangkahkan
kakiku mengikutinya.
Sudah sepuluh
tahun aku meninggalkan Indonesia, dan itu artinya terakhir kali aku berjumpa
dengan mereka adalah sepuluh tahun yang lalu. Kini, aku akan bertemu lagi
dengan mereka. Bukan di gedung SMK tempatku dulu bersekolah seperti sepuluh
tahun yang lalu, tapi di taman luas ini. Di acara reuni ini.
Taman itu sangat
indah, dengan kolam yang terletak di sudut taman. Reuni ini menggunakan konsep garden party—tentu saja—yang berkelas,
sangat berbeda dengan garden party
yang pernah kukunjungi. Siapapun yang merancang konsep ini benar-benar patut
diacungi jempol. Aku mengamati sekelilingku. Suasananya sangat ramai, jauh
lebih ramai dari perkiraanku semula. Banyak orang bercerita, bernostalgia
dengan masa lalu. Ah, nostalgia.
Tapi, dimana Andrew?
Ah, itu dia, sedang mengobrol bersama Felix. Obrolan mereka sepertinya sangat
seru, entah apa yang mereka bicarakan. Mungkin mereka sedang bernostalgia, sama
seperti yang lainnya.
Aku baru saja
hendak menghampiri Andrew, ketika sebuah suara memanggil namaku di tengah
keramaian ini.
“Hey,
Bethany! Hey!”
Aku menoleh
ke belakang, dan kulihat seorang perempuan berlari-lari kecil sambil
melambaikan tangannya ke arahku. Aku membalas lambaian tangannya sambil
mengernyitkan dahiku bingung.
“Hey, apa
kabar?” kini perempuan asing itu sudah ada di depanku. Dengan kulit kecoklatan
dan dress berwarna biru tua, kurasa
ia nampak manis. Matanya bersinar-sinar cerdas. Ia masih menatapku sambil
tersenyum lebar, menungguku menjawab pertanyaannya.
“Um.. Maaf,
kamu siapa?” tanyaku.
“Hey, kamu
lupa sama aku ternyata! Jahat banget sih!” serunya, tapi bisa kulihat senyum
jenaka menghiasi bibirnya. “Aku Lea.”
Lea? Lea siapa?
“Teman
sekelasmu pas SMK,” jelasnya lagi, melihat raut wajahku yang masih kebingungan.
Lea? Teman SMK?
“Oh!” seruku
girang. “Aku baik. Kamu gimana?”
“Aku? Sangat
baik,” jawabnya. “Oh ya, selamat atas terbitnya novel terbarumu. Back to
November, hm?” katanya. “Kudengar penjualannya bagus sekali. Aku baru selesai baca,
dan novelmu memang bagus banget.”
“Terima
kasih,” aku tersenyum kecil. “Nggak juga kok. Biasa aja.”
“Ah, kamu
bohong,” guraunya. Matanya bersinar-sinar jenaka. “Novelmu itu bestseller, tahu.”
“Sudahlah,”
desahku, merasa kalah. “Kamu kerja apa sekarang?”
“Designer,”
katanya, masih dengan senyum.
“Oh ya?”
tanyaku antusias. “Kapan-kapan aku harus coba baju rancanganmu.”
Lea tertawa
renyah dan berkata, “Boleh, boleh.”
Aku ikut
tertawa. “Gratis?” tanyaku dengan mata melebar.
Lea
menggeleng, masih terus tertawa. “Nggak dong. Aku dapat novelmu aja bayar, masa
kamu dapat baju rancanganku gratis? Kan nggak adil namanya.”
“Yahh..” aku
berpura-pura merengek. “Harusnya kamu telepon aku kalau mau dapat novelku
secara gratis, biar aku bisa dapat baju gratis juga,” gurauku.
“Nggak ah,
mahal! Sayang pulsa, tahu.”
“Yee, sayang
pulsa,” gurauku lagi. “Aku makan dulu ya,” kataku. “Nanti kita ngobrol lagi,
oke?”
Lea hanya
mengacungkan jempol sebagai jawaban, sementara aku sudah menjauh ke area
makanan.
Aku menggigit
makananku dan mengunyahnya perlahan. Suasananya sangat ramai, bahkan mungkin
malah semakin ramai. Maklum, tak hanya angkatanku saja yang hadir di acara
reuni ini. Masih ada dua angkatan lagi. Angkatan seniorku dan juniorku saat SMK.
Mereka semua sibuk bernostalgia, menceritakan kejadian apa saja yang pernah
terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu. Oh, sungguh, sebenarnya aku benci
mengakui ini, tapi aku tidak suka menghadiri acara semacam ini. Kurasa tak ada
gunanya bernostalgia dengan masa lalu. Tak ada gunanya mengingat-ingat masa
lalu, bukan? Aku lebih suka merasa penasaran dengan masa depan, dan kemudian
menatap masa depanku yang cerah.
Aku menelan
potongan makananku yang terakhir, mengambil segelas cokelat panas yang tersedia
di salah satu meja, dan menyesapnya perlahan. Aku merasa tidak nyaman, sungguh.
Suasananya terlalu ramai. Mungkin bagi orang yang terbiasa dengan suasana ramai
akan merasa nyaman, tapi aku tidak. Hidup sendiri selama sepuluh tahun di Kanada
membuatku terbiasa dengan suasana sepi dan sendirian. Lalu kenapa aku mau datang
ke acara ini?
Pikirku tak
ada salahnya datang. Aku bisa sekaligus mengunjungi orang tuaku, karena aku tak
pernah pulang ke Indonesia semenjak aku pergi ke Kanada untuk pertama kalinya. Hitung-hitung
sambil menyelam minum air, bukan?
Selain Lea,
masih banyak lagi yang kutemui di acara ini. Mereka semua rata-rata sudah
sukses. Ada yang menjadi pengusaha rumah makan, doktor, programmer,
psikolog, bahkan pemain basket putra dan putri. Tentunya masih banyak lagi yang
lainnya.
“Bethany,
kan?”
Aku menoleh
ke sumber suara itu, dan aku langsung melihat dua perempuan tersenyum ke
arahku. “Ya.”
Tiba-tiba
salah satu perempuan itu menjerit, membuatku mengernyit mendenganya dan
beberapa orang menoleh ke arah kami. “Aku Emma! Masih ingat nggak?”
“Emma!” tanpa
sadar aku menjerit, walaupun tidak sekeras Emma. “Apa kabar?”
“Baik,”
sahutnya. “Kamu sendiri gimana?”
“Baik juga,”
kataku. “Seingatku, dulu kayaknya kamu gemuk, deh. Sekarang kamu kurus ya.
Cantik,” pujiku.
“Hey, hey,
kalian gitu ya. Aku dilupakan,” sela perempuan yang berdiri di samping Emma
sebelum Emma sempat bicara lagi sambil berpura-pura cemberut.
“Oh iya!
Maaf, maaf,” sahut Emma, tapi sayang sepertinya ekspresi wajahnya samasekali
tidak mendukung kata-katanya. Ia samasekali tidak terlihat merasa bersalah.
Emma duduk di salah satu kursi yang ada di depanku. “Bethany, masih ingat dia
nggak? Itu lho, yang dulu alay banget,” Emma tersenyum sumringah sambil melirik
perempuan yang duduk di sampingnya . “Flo.”
“Oh, ini
Flo?” seruku girang. “Gimana kabarnya nih Flo? Lama nggak ketemu, ya? Kamu
kayak menghilang ditelan bumi.”
“Hey, hey,
yang menghilang ditelan bumi kayaknya bukan aku, deh. Tapi kamu,” sahut Flo.
“Dan Emma, aku dulu nggak alay.”
“Ih, nggak
mau ngaku,” balas Emma cepat. “Kamu tuh dulu alay banget. Tapi baik.”
“Ya, ya, ya,
makasih aja deh,” kata Flo sambil mengedikkan bahu. “Eh, Bethany, masih ingat
nggak, dulu dia,” Flo mulai bicara lagi sambil melirik Emma sekilas, “pernah
jatuh dari tangga pas kelas 11?”
“Eh!” mata
Emma melebar kaget ketika mendengar kata-kata Flo. “Apa-apaan ini?”
“Perbuatlah
apa yang ingin orang lain perbuat padamu,” sahut Flo acuh tak acuh, tapi bisa
kulihat dengan jelas seulas senyum penuh rasa puas tersungging di bibirnya.
“Tadi kamu bilang aku alay, kan? Sekarang giliranku.”
“Eh, jangan
gitu, dong! Itu kan kejadian bersejarah dalam hidupku,” sahut Emma.
Aku hanya
bisa tertawa melihat mereka. “Aku masih ingat kok, Flo,” aku ikut menggoda
Emma. Ingatanku melayang ke kejadian sebelas tahun lalu.
***
Akhirnya praktiknya selesai, pikir Emma senang. Ia
segera menggendong tasnya yang berat dan melangkahkan kakinya menuju kelas di
lantai dua.
Sesampainya di kelas, Emma segera meletakkan tasnya di
tempat duduk, keluar dari kelas, dan menyusul teman-temannya yang sudah berada di
kantin yang terletak di lantai bawah. Ia terus berjalan sambil bersenandung.
Sepertinya dia sedang senang hari ini.
Sayangnya, Emma terlalu asyik bersenandung
sampai-sampai tak memperhatikan jalan. Dia lupa bahwa ia sedang menuruni
tangga. Dan..
“Wuaa!!”
Emma terpeleset sehingga jatuh berguling-guling di
tangga. Dia begitu ketakutan, tapi semuanya sudah terlambat. Ia hanya bisa
menutup matanya. Emma terus berguling, hingga akhirnya sampai di lantai paling
bawah.
“Ya Tuhan,” bisiknya dalam hati. “Aku udah mati? Atau
masih hidup?”
Emma memberanikan diri untuk membuka matanya perlahan,
dan ia bisa melihat seberkas cahaya dengan jelas.
Emma sangat senang. Oh, tentu saja. Ia cepat-cepat
sujud syukur. “Terima kasih, Tuhan! Terima kasih.”
Setelah itu, Emma segera bangkit dan menyusul
teman-temannya. Ia sudah tak sabar ingin menceritakan kejadian ini.
***
Aku dan Flo
tertawa terbahak-bahak mengingat kejadian itu. Awalnya Emma terlihat kesal,
tapi aku tahu itu hanya berpura-pura karena akhirnya ia ikut tertawa bersama
kami.
“Eh, udah
dong, jangan ketawa terus,” katanya di sela-sela tawanya. “Itu kejadian paling
bersejarah di hidupku, tahu?”
“Ya, kita
tahu. Kamu tadi udah bilang,” kataku sambil berusaha menghentikan tawaku dengan
susah payah. “Tapi memang lucu sekali. Aduh, aduh,” erangku pelan. Perutku
sakit karena terlalu banyak tertawa.
“Oke, oke,
udah dong,” rengek Emma. “Kejam banget ya kalian, ngetawain aku.”
“Ya, ya, kita
berhenti,” kataku, tapi nyatanya aku masih terus tertawa.
Emma melotot
ke arahku. “Bethany! Udah dong. Bisa lima belas menit kamu ketawa kalau kayak
gini.”
“Ternyata
Bethany masih sama kayak dulu. Masih suka ketawa,” sambung Flo.
“Tapi aku
jadi kelihatan muda,” kilahku tak mau kalah. “Setidaknya tiga tahun lebih muda
dari umurku yang sebenarnya.”
“Ya, aku tahu
kamu awet muda,” Emma menyilangkan tangannya di atas dada sambil tersenyum
lagi.
Flo
mengalihkan pembicaraan. “Ke sini sama siapa?” tanyanya padaku.
“Hm? Sama
teman,” sahutku acuh tak acuh sambil menyesap cokelat panasku perlahan, yang
kini tinggal seperempat penuh.
“Pasti sama
pacar, ya?” sela Emma cepat. Ada kilat jahil di matanya.
Mataku
melebar mendengarnya. “Hah? Nggak, nggak ada pacar.”
“Ah, bohong,”
Flo ikut menggodaku.
“Eh, beneran
nggak ada. Aku datang sama teman,” aku berusaha meyakinkan kedua teman lamaku
ini, tapi sepertinya aku gagal. Mereka tersenyum sambil menatapku dengan
tatapan ah-masa-sih? “Aku nggak mau punya pacar. Setidaknya sekarang,” tambahku
lagi cepat-cepat.
“Kenapa?” Flo
mengernyit. “Kamu kan udah sukses. Novelis terkenal. Rekeningmu pasti gendut.”
“Nggak, Flo.
Sudah ah,” elakku. “Aku pergi ya. Ada yang manggil,” kataku lagi ketika kulihat
Andrew melambaikan tangan ke arahku.
Aku segera
bangkit dari tempat dudukku, menyesap sisa cokelat panasku hingga habis, dan
pergi menjauh dari mereka. Namun, masih bisa kurasakan mereka tersenyum penuh
arti di belakangku. Oh, tidak.
***
“Ada yang nyari
kamu,” kata Andrew ketika aku menghampirinya.
“Siapa?”
Bukannya
menjawab pertanyaanku, Andrew malah berkata, “Ini Bethany,” katanya pada
perempuan yang duduk di depannya. Kemudian Andrew menatapku. “Bethany, dia mau
ngomong sama kamu. Katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan,” katanya
seraya bangkit dari tempat duduknya dan pergi menjauh, ingin memberikan
privasi.
Aku duduk di
kursi yang tadi diduduki Andrew dan menatap perempuan itu lekat-lekat. Dengan
kulit putih pucat dan dress hitam
yang melekat di tubuhnya, dia terlihat.. yah, cukup menarik. Perempuan yang tak
kukenal itu balas menatapku lekat-lekat.
Aku
memutuskan untuk memulai pembicaraan. “Kamu ada perlu apa sama saya?” tanyaku
tanpa basa-basi.
Mungkin dia fans yang ingin minta tanda tangan, entah kenapa gagasan itu terlintas
di benakku. Tapi, secepat gagasan itu terlintas, secepat itu pula aku
mengusirnya. Tapi kata Andrew ada hal
penting yang ingin dibicarakan, jadi pasti bukan itu.
“Kamu
Bethany?” bukannya menjawab pertanyaanku, perempuan itu malah balik bertanya.
“Aku Naomi.”
Seketika
mataku membola karena kaget ketika mendengar nama itu. Tidak, sepertinya aku
terlalu kaget karena piring berisi cheese
cake yang kupegang nyaris terlepas dari genggamanku.
“Kamu.. Naomi?
Naomi Magdalena?” tanyaku lirih, seolah tak percaya dengan pendengaranku
sendiri.
Dan,
perempuan itu hanya mengangguk sebagai jawaban.
Oh, sial!
Oh, oke, sebenarnya
sejak awal aku sudah memperkirakan hal ini akan terjadi. Tapi aku tidak mengira
hal ini akan benar-benar terjadi.
Mau apa
kamu?” tanyaku acuh tak acuh.
“Bagaimana
kabarmu?”
“Jawab
pertanyaanku,” kataku sambil menatapnya tajam.
Naomi
menghela napas panjang dan menghembuskannya pelan. “Aku rindu sama kamu.”
“Apa? Rindu?”
aku tertawa mengejek. “Kamu masih bisa rindu sama aku setelah yang udah kamu
lakukan sepuluh tahun yang lalu?” tanyaku, masih dengan tawa mengejek. “Haha..
Lucu sekali.”
Naomi terdiam
mendengar kata-kataku. Ia menatapku dalam-dalam, lalu berkata, “Aku serius.”
“Udahlah,
nggak usah bertele-tele. Sebenarnya maumu apa?”
Lagi-lagi
Naomi menghela napas sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku minta maaaf,
Bethany.”
“Cuma itu?”
sahutku cepat sambil mengedikkan bahu acuh tak acuh.
‘Yah..” Naomi
terdiam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, “aku mencarimu. Tapi kamu kayak
menghilang ditelan bumi. Baru-baru ini aku dengar kamu sudah jadi novelis
terkenal, dan beberapa hari kemudian ada pengumuman tentang acara ini. Aku
memutuskan datang dengan harapan bisa ketemu kamu. Dan harapanku terwujud.”
Harusnya aku nggak datang, gerutuku dalam hati. Ingatanku
melayang ke kejadian sepuluh tahun lalu.
***
Aku mengambil ponselku dan menekan sebuah nomor.
“Halo? Naomi? Keluar, yuk! Apa? Kamu nggak bisa? Oh, gitu. Oke deh, nggak papa
kalau gitu. Daa..”
“Yah, batal deh acara hari ini,” keluhku setelah
menutup telepon. Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidurku yang empuk. Aku
berpikir-pikir sambil terus memandang langit-langit kamar dengan pandangan
kosong.
Akhir-akhir ini, aku merasa Naomi—sahabatku sejak
kecil—menjauh dariku. Tidak, ini tidak hanya perasaanku saja. Naomi memang
menjauh dariku akhir-akhir ini. Kami semakin jarang berkomunikasi dan jarang
bertemu. Dan itu semua karena kini dia sudah punya pacar.
Awalnya, aku tak masalah ketika dia tidak bisa
menemaniku sesering sebelumnya. Aku maklum, karena kini ia harus membagi waktu
dengan pacarnya. Pacar pertamanya, itu katanya. Tidak hanya itu, pacarnya juga
bagikan Cassanova. Bagai burung indah yang tak boleh ditangkap. Sangat
sempurna. Oh, tidak, bahkan terlalu sempurna untuk seorang laki-laki. Yah, aku
tahu, tak ada yang sempurna di dunia ini. Tapi sudahlah. Yang terpenting, aku
bahagia melihatnya bahagia.
Tapi, semua itu semakin parah seiring berjalannya
waktu. Naomi semakin menjauh. Dia seperti tak punya waktu sedikitpun untukku,
bahkan hanya untuk curhat sekalipun. Seluruh waktunya seperti didedikasikan hanya
untuk pacarnya. Kejadian tadi adalah salah satu bukti nyata kalau dia
benar-benar tak punya waktu untukku. Semuanya benar-benar berubah. Dulu, Naomi
selalu bicara padaku, curhat padaku seolah-olah hanya aku yang bisa dipercaya.
Dulu, ia selalu bersandar padaku ketika mengalami masalah. Dulu kami sering
menghabiskan waktu bersama, dengan
berjalan-jalan, atau apa saja.
Tapi itu dulu. Bukan sekarang. Sebelum dia punya
pacar.
Aku berusaha memperbaiki persahabatan kami yang
renggang dengan berbagai cara, tapi tak pernah berhasil. Dia tak pernah peduli.
Dia hanya peduli pada pacarnya, dan seolah-olah aku tak pernah ada.
Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk menyerah. Percuma
jika yang berjuang hanya satu pihak saja, bukan? Beberapa hari setelah hari
kelulusan, aku memutuskan pergi ke Kanada, mengambil beasiswa kuliah yang
kudapatkan tanpa memberitahu siapapun kecuali orang tuaku, dan memulai lembaran
baru dalam hidupku. Dan, aku tak lagi percaya pada indahnya persahabatan.
***
“Oh ya, satu
lagi, aku udah baca novel terbarumu. Dan harus kuakui, novelmu memang bagus
banget,” kata-kata Naomi membuyarkan lamunanku.
“Eh.. Oh..
Um.. Terima kasih,” sahutku sambil menyuapkan sepotong cheese cake ke dalam mulut.
Kami pun
sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Dalam waktu singkat keheningan hinggap
di antara kami. Keheningan yang—sayangnya—tidak nyaman. Aku tahu aku harus
mengatakan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.
“Bethany,”
Naomi memecah keheningan. Ia menatapku lekat-lekat. Aku balas menatapnya.
“Aku minta
maaf,” katanya.
“Kau sudah—“
“Aku tahu,
Bethany. Aku tahu aku salah,” selanya cepat sebelum aku sempat menyelesaikan
kalimatku. “Aku hanya minta satu hal,”
katanya lagi. Lagi-lagi ia menghela napas—entah sudah berapa kali ia
melakukannya sejak tadi—sebelum akhirnya melanjutkan, “bisakah kita kembali
seperti dulu? Seperti sebelum aku punya pacar. Bisakah kita kembali lagi?
Bisakah?”
Aku
menatapnya dalam-dalam. Bisa kulihat dengan jelas ada sebersit harapan di mata
cokelatnya.
Oh, apa yang
harus kulakukan?
“Naomi,” panggilku.
Naomi
menatapku dengan penuh harap, tapi aku tak mempedulikan itu. “Pertama, perbuatanmu
sudah kumaafkan, jadi tolong jangan minta maaf terus. Kedua, kamu memang udah
kumaafkan, tapi aku nggak yakin kita bisa memulainya dari awal lagi seperti dulu.
Dan yang ketiga, aku sudah punya kehidupan yang jauh lebih baik tanpamu. Jadi,
jangan pernah ganggu aku lagi. Lupakan aku, anggap aja aku nggak pernah jadi
sahabatmu,” kataku panjang lebar.
“Apa kamu
nggak mau ngasih aku kesempatan kedua?’ tanyanya lirih.
“Nggak,
Naomi. Maaf,” sahutku tegas. “Kalau cuma itu yang ingin kamu bicarakan,
pembicaraan kita sudah selesai. Aku masih punya banyak urusan yang lebih
penting di Kanada,” kataku lagi sambil bangkit dari kursiku dan berjalan pergi
menjauh.
Bisa kubayangkan,
Naomi kecewa. Tapi aku tak peduli. Aku terus berjalan menjauh, mengambil
poselku, dan menekan sebuah nomor.
“Halo?
Andrew? Kamu sudah selesai? Ya, aku
sudah selesai. Ayo kita pulang.”
Dan aku
meninggalkan acara reuni itu tanpa diketahui siapapun.
The END
Gimana? Jelek? Feel-nya nggak dapat? Yang jelas saya mengharapkan kritik dan saran dari readers semuanya. Diharapkan kalian meninggalkan jejak di kolom komentar, okay? Terimakasih sudah baca. Sekali lagi, terimakasih!
Comments
Post a Comment