Untitled Part 2
Title : Untitled Part 2
Genre : Romance, Friendship
Notes : Hai! Ketemu lagi sama saya setelah lagi-lagi lama tidak membuat postingan. Well, ini lanjutan dari Cerpen Untitled! This is my masterpiece! Ini bukan FanFiction, tapi cerpen gaje hasil karya saya sendiri. Semoga suka yaa. Cerpen ini terinspirasi dari perasaan saya dan inspirator terhebat yang pernah ada yang pernah saya miliki (semua ide yang saya dapatkan selama ini itu karenamu!). Ide cerita ini murni dari pikiran saya. TIDAK PLAGIAT! So, don't copy-paste this story, okay? Jika ada kesamaan latar, nama, alur, dsb itu hanyalah kebetulan semata. Oh, maaf kalau judulnya tidak sesuai dengan cerita, karena saya nggak pintar buat judul. Maaf juga kalau part ini terlalu pendek buat kalian, saya akan membuatnya sepanjang yang saya bisa. Dibutuhkan saran dari kalian para readers semuanya agar saya bisa menulis lebih baik lagi, karena saya masih pemula dalam dunia tulis-menulis. Thank you and Happy reading!
Genre : Romance, Friendship
Notes : Hai! Ketemu lagi sama saya setelah lagi-lagi lama tidak membuat postingan. Well, ini lanjutan dari Cerpen Untitled! This is my masterpiece! Ini bukan FanFiction, tapi cerpen gaje hasil karya saya sendiri. Semoga suka yaa. Cerpen ini terinspirasi dari perasaan saya dan inspirator terhebat yang pernah ada yang pernah saya miliki (semua ide yang saya dapatkan selama ini itu karenamu!). Ide cerita ini murni dari pikiran saya. TIDAK PLAGIAT! So, don't copy-paste this story, okay? Jika ada kesamaan latar, nama, alur, dsb itu hanyalah kebetulan semata. Oh, maaf kalau judulnya tidak sesuai dengan cerita, karena saya nggak pintar buat judul. Maaf juga kalau part ini terlalu pendek buat kalian, saya akan membuatnya sepanjang yang saya bisa. Dibutuhkan saran dari kalian para readers semuanya agar saya bisa menulis lebih baik lagi, karena saya masih pemula dalam dunia tulis-menulis. Thank you and Happy reading!
***
This story is dedicated to someone who has "stolen" my heart with his charm, and also to my best inspirator ever. Thank you for everything you've done to me, dear.
***
“Tidurmu
tidak nyenyak semalam?” Tanya William sambil terus berkonsentrasi menyetir.
Hari ini kami tak ada jadwal kuliah—ya, kami memang satu jurusan di universitas
yang sama—jadi kami bisa ke mana saja yang kami inginkan.
Aku hanya
mengangguk sebagai jawaban.
“Kenapa?”
Tanya William, masih berkonsentrasi menyetir. Bagaimana dia bisa mengetahui
jawabanku? Bukankah matanya terus menatap ke depan?
“Tara?”
panggilnya, karena aku tak menjawab pertanyaannya. “Kenapa? Apa karena obrolan
kita semalam?” suaranya melembut ketika mengatakan itu. Suaranya rendah dan
begitu menenangkan.
Oh,
benar-benar tepat sasaran. “Ya,” jawabku sekenanya.
“Kata-kataku
benar, bukan?” katanya sambil mengerling ke arahku. Ia mengarahkan mobilnya
masuk ke area parkir Starbucks. “Ayo,” ajaknya.
Kini aku dan
William sudah duduk di depan meja kami. William dengan Iced Caramel
Macchiato-nya dan aku dengan Iced White Chocolate Mocha-ku.
“Kau belum
menjawab pertanyaanku, Tara,” kata William setelah waitress pergi meninggalkan kami. Ia mencondongkan tubuhnya ke
depan dan menatapku lurus-lurus.
“Pertanyaan
apa?” tanyaku. Well, hal yang tak perlu sebenarnya, karena aku tahu apa
maksudnya.
William mengerutkan
kening. “Kata-kataku semalam. Benar, atau tidak?” tanyanya. Ia berhenti
sebentar sebelum akhirnya melanjutkan, “Katakan padaku jika aku salah.”
“Um.. Itu..”
“Kau tidak
percaya padaku?” Tanya William dengan tatapan menyelidik.
“Tidak!”
bantahku cepat. “Bukan begitu.”
“Lalu?”
kejar William. Ia meneguk Iced Caramel Macchiato-nya.
“Aku.. Aku
takut padanya,” ujarku.
“Apa? Kau
takut?” ulangnya, seolah-olah ia tak percaya dengan apa yang baru saja
didengarnya.
Dan aku
hanya bisa mengangguk. Aku meneguk Iced White Chocolate Mocha-ku perlahan.
“Setahuku dia
laki-laki baik, bukan? Jadi kenapa kau harus takut padanya?” tanyanya. Terdapat keheranan dalam suaranya. Siapa yang
tidak?
“Justru
itu,” gumamku. “Aku takut, karena dia baik, pintar, ramah, lucu, dan
perhatian.”
William
menatapku lekat-lekat. Ia pasti heran. Bagaimana tidak? Bukankah aneh jika ada seseorang
yang takut pada orang yang baik, pintar, ramah, lucu, dan perhatian?
“Kenapa?”
akhirnya William buka suara.
“Kau tahu kenapa,
William,” sahutku cepat. Aku meneguk Iced White Chocolate Mocha-ku yang masih
setengah penuh. “Kau tahu,” ulangku sekali lagi, memberi satu penegasan untuknya.
William
menghela napas sejenak. “Tidak semua laki-laki seburuk yang kau pikirkan, kau
tahu?” katanya dengan raut wajah serius.
“Yeah, aku
tahu,” sahutku acuh tak acuh. “Tapi nyatanya semua laki-laki yang masuk dalam kehidupanku seperti itu.” Aku kembali meneguk Iced White
Chocolate Mocha-ku sebelum melanjutkan, “Kecuali ayahku.”
“Kecuali
ayahmu?” tanyanya kaget. “Bahkan aku juga seperti itu?” tanyanya lagi dengan nada tersinggung sambil mengernyit.
“Mungkin ya,
atau mungkin tidak,” sahutku, lagi-lagi acuh tak acuh. Aku kembali meneguk Iced
White Chocolate Mocha-ku yang kini tinggal seperempat penuh. Kutatap William
yang balas menatapku dengan tajam.
“Kau..”
gumam William. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. Ia meneguk Iced Caramel
Macchiato-nya dan menatapku lekat-lekat. “Aku benar-benar tak mengerti jalan
pikiranmu, Tara. Kalau kau berkata semua laki-laki seburuk yang kau pikirkan, kau egois.”
“Kenyataannya
memang begitu, bukan?” kataku sambil mengangkat bahu acuh tak acuh.
William
terdiam mendengar jawabanku. Ia kembali meneguk
Iced Caramel Macchiato-nya yang kini tinggal seperempat penuh dalam
diam. Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Dalam waktu singkat
keheningan hinggap di antara kami. Keheningan yang—sayangnya—tidak nyaman.
“William,”
akhirnya aku buka suara, memecah keheningan yang tidak nyaman itu.
William
menatapku dengan kening berkerut, tapi dia diam saja. Jadi, aku pun melanjutkan,
“kau tahu bukan itu maksudku.”
“Ya, aku
tahu,” jawabnya singkat. Namun bisa kulihat dengan jelas rahangnya mengertak.
“Aku.. Aku
hanya tidak ingin sakit hati lagi untuk yang kedua kalinya.”
William
mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatapku lurus-lurus. “Kalau kau tak
pernah mencoba untuk membuka hatimu lagi kau takkan pernah tahu, bukan?”
“Dan
kemudian menerima kenyataan bahwa ternyata aku kembali jatuh ke lubang yang
sama untuk kedua kalinya, bahkan mungkin dengan cara yang lebih buruk dari sebelumnya?
Tidak, terima kasih.” Aku tertawa hambar, mengejek diriku sendiri.
“Tak ada
salahnya mencoba, Tara.”
Aku
menggeleng. “Percuma, William. Hanya buang-buang air mata. Aku lelah. Aku
lelah menghadapi penolakan.”
William
menyilangkan kedua tangannya di atas dada. “Bagaimana kalau ternyata dia tidak
menyakitimu?” Ia menatapku lurus-lurus dengan raut wajah serius. “Kau tahu masih
ada laki-laki yang baik. Dan, kau tahu, rasanya tidak adil menyalahkan semua
lelaki di dunia ini hanya karena kesalahan satu orang saja.”
Aku hanya diam, mataku menatap pinggiran gelas Iced White
Chocolate Mocha-ku dengan kosong. Sebenarnya aku benci mengakui ini, tapi harus
kuakui kata-kata William memang benar.
William menghela napas sejenak sebelum akhirnya berkata,
“Kalau kau jatuh cinta, itu artinya kau masih punya hati, kau tahu?”
Kau masih punya hati? Kalau kau jatuh cinta?
“Well, aku tahu. Tapi—“
“Kau menyukainya. Ya, atau tidak?” kata William sebelum aku
sempat menyelesaikan kata-kataku.
“Logika jauh lebih penting. Dan satu lagi, aku tidak
menyukainya. Kami hanya teman,” aku melanjutkan kata-kataku yang dipotong
William sekaligus menjawab pertanyaannya dengan acuh tak acuh. Aku mengalihkan
pandanganku ke langit Melbourne, tapi masih bisa kurasakan William menatapku lurus-lurus
dan tanpa berkedip.
William berdeham pelan. “Kau mungkin berpikir kalian hanya
teman, tapi aku tak sependapat denganmu,” katanya. “Ah, tidak. Tidak hanya aku.
Aku dan Stella.”
Aku meliriknya sekilas. “Aku dan Stella? Bagaimana kau tahu
dia juga tak sependapat denganmu?”
“Oh, aku selalu tahu,” jawabnya cepat.
“Apa maksudmu?”
“Tara, kau percaya padaku atau tidak?”
“Kenapa kau masih bertanya?”
“Karena aku mendapat kesan seolah-olah kau tidak percaya
padaku,” sahut William sengit. Ia menatapku tajam. Tatapannya benar-benar
menusuk.
Hanya satu yang bisa kulihat dari tatapannya : dia marah.
“William,” gumamku. Aku menatapnya takut-takut. “Aku percaya
padamu.”
“Lalu kenapa kau masih saja tidak mau menceritakan masalahmu
padaku?”
“Kau memaksaku?”
William menghembuskan napasnya perlahan. “Dengar, Tara,”
suaranya melembut. Kenapa dia masih sabar menghadapiku? “Aku tidak memaksamu
untuk menceritakan masalahmu padaku. Aku tidak
memaksamu,” ujarnya. Ia menatapku dengan sangat serius.
Kau tahu apa yang ada dalam pikiranku? Ia seperti seorang
kakak yang.. entahlah. Baik, mungkin?
“Tapi, sekarang keadaannya berbeda, kau tahu?” lanjutnya
lagi. “Awalnya aku pikir kau bisa mengatasi masalahmu. Masalah hatimu. Tapi
nyatanya keadaanmu semakin buruk,” katanya.
“Jadi, untuk kali ini aku harus
tahu,” katanya lagi tegas.
“Dari kata-katamu, aku pikir kau sudah tahu masalahku. Jadi
kenapa kau masih bertanya?” tanyaku acuh tak acuh. “Lagipula, kenapa kau
mendadak peduli padaku? Biasanya kau acuh tak acuh. Kau hanya memperhatikanku
sejak..” aku berpikir sejenak. “semalam. Ya, semalam.”
“Aku ingin mendengar kau menceritakannya padaku, Tara. Bukan dari orang lain. Tapi kau yang bercerita,” katanya. Nada
suaranya menyatakan kalau ia tak ingin dibantah. “Dan, apa salah kalau aku
bertanya? Kau keberatan?”
“Um..” aku menatap pinggiran gelas Iced White Chocolate
Mocha-ku yang sudah kosong sambil berpikir-pikir. Tidak,
samasekali tidak.
“Seperti yang kukatakan tadi, aku tidak memaksamu,” suara William yang rendah dan menenangkan itu
kembali membuyarkan lamunanku. “Tapi kau harus tahu, kalau kau butuh seseorang
untuk diajak bicara, kami bisa mendengarkan, atau bahkan memberi solusi. Kau
tahu, memendam hanya akan membuatmu tersiksa. Dengan menceritakannya pada orang
lain, setidaknya perasaanmu akan membaik,” katanya panjang lebar. “Kau mengerti
maksudku?”
Aku hanya diam mendengar kata-katanya. William mengalihkan
pandangannya ke pemandangan kota Melbourne. Kami kembali tenggelam dalam
pikiran kami masing-masing.
Aku mencoba menatap William, mencoba mencari tahu apa yang
ada dalam pikirannya, tapi aku gagal. Well, harus kuakui, aku belum pernah
berhasil mencari tahu apa yang ada dalam pikirannya, bahkan hanya sekali. Jalan
pikirannya terlalu rumit dan luas untuk dapat kumengerti. Laki-laki tampan,
tinggi, dan sulit ditebak. Laki-laki berbakat, tenang—bahkan mungkin terlalu
tenang—dan penjaga yang baik.
“Apa aku sangat tampan sampai kau menatapku tanpa berkedip
begitu, hm?”
Aku terlonjak dari kursiku karena kaget, namun beberapa detik
kemudian mataku menyipit karena kata-katanya. William mencondongkan tubuhnya ke
depan dan menatapku sambil tersenyum jenaka.
Satu lagi yang harus kutambahkan : terkadang ia terlalu
percaya diri.
“Kau benar-benar percaya diri. Kau tidak tampan, dan aku tidak menatapmu,” kataku acuh tak acuh.
“Tidak apa-apa jika kau tidak ingin mengaku.” William
tersenyum. “Ayo pulang. Kau ada jadwal talkshow
malam ini, bukan?”
***
“Apa yang kau bicarakan dengannya?”
***
To be Continued
Gimana? Jelek? Gak
jelas? Feel-nya nggak dapat? Iya, benar. Tapi saya membutuhkan kritik
dan saran dari kalian semuanya, karena itu saya harapkan kalian
meninggalkan jejak di kolom komentar, okay? Terimakasih sudah mau baca
cerpen gaje saya ini. Sekali lagi, terima kasih!
Comments
Post a Comment