Miracle In December [Oneshot]

Title : Miracle In December
Cast : Main Cast : Bethany Arthur (OC)
                            Philip Byun a.k.a Byun Baekhyun
Genre : Sad Romance

Notes : Hai! Ketemu lagi sama saya. FanFiction hasil karya saya sendiri. Semoga suka yaa. Fanfiction ini terinspirasi dari perasaan saya dan inspirator terhebat yang pernah ada yang pernah saya miliki (semua ide yang saya dapatkan selama ini itu karenamu!). Ide cerita ini murni dari pikiran saya. TIDAK PLAGIAT! So, don't copy-paste this story, okay? Jika ada kesamaan latar, nama, alur, dsb itu hanyalah kebetulan semata. Oh, maaf kalau judulnya tidak sesuai dengan cerita, karena saya nggak pintar buat judul. Maaf juga kalau Fanfiction ini terlalu pendek buat kalian, saya akan membuatnya sepanjang yang saya bisa. Dibutuhkan saran dari kalian para readers semuanya agar saya bisa menulis lebih baik lagi, karena saya masih pemula dalam dunia tulis-menulis. Thank you and Happy reading!

Song : Coba sambil dengar lagunya EXO - Miracle In December. Semoga feel-nya dapat, kalau nggak, sorry ^^

***

Mencoba melihatmu, kau yang tak dapat kulihat lagi. Mencoba mendengarmu, kau yang tak dapat kudengar lagi. –Miracle In December.

***
“Selamat menikmati,” kataku sambil memberikan sepiring Cheesecake Brownie dan segelas Shaken Sweet Tea kepada salah satu pelanggan.
“Terimakasih,” sahut pelanggan itu. Aku hanya membalasnya dengan seulas senyuman singkat dan pergi, melayani pelanggan yang lain.
Mataku menangkap sosok seorang gadis yang sedari tadi sudah duduk di salah satu meja yang ada. Aku berinisiatif untuk menghampirinya. Mungkin ia ingin memesan sesuatu.
“Maaf, apa Anda ingin memesan sesuatu?” tanyaku sambil memberikan senyum terbaikku.
Gadis itu tersentak dan menatapku dengan mata melebar kaget. Nampaknya ia melamun sejak tadi. “Apa?”
“Apa Anda ingin memesan sesuatu?” ulangku sabar.
“Tidak, tidak usah. Terimakasih,” tolaknya halus.
Aku menatapnya heran. Tapi, aku hanya diam dan berjalan ke dapur, kembali dengan pekerjaanku. Walaupun sebenarnya hatiku diliputi rasa heran.
Kau tahu, gadis itu sudah sejak tadi duduk di sana. Sejak satu jam yang lalu. Dan ia samasekali tak memesan apapun. Gadis itu hanya duduk diam dan melamun. Entah apa yang dipikirkannya.
Seharusnya ia tahu kalau tempat ini adalah café—tempat untuk makan, dan bukannya tempat untuk menumpang duduk, bukan?
“Ada apa?” tanya Chris, salah satu pelayan yang bekerja di café ini.
“Gadis itu aneh,” kataku acuh tak acuh sambil melirik gadis itu sekilas.
Ia mengikuti arah lirikanku dan berkata, “Gadis itu?” tanyanya. “Ia masih disini?”
“Ya,” sahutku malas.
“Kau tahu, akhir-akhir ini dia sering datang kesini,” katanya, seolah-olah tak peduli dengan nada bicaraku yang malas-malasan. “Dan ia tak memesan apapun. Ia hanya duduk di mejanya—meja yang sama. Seperti sekarang.”
Aku hanya diam, berpura-pura mendengarkan, namun sebenarnya aku samasekali tak berminat untuk mendengarkan.
“Hey, lihat,” kali ini iamenepuk pundakku untuk menarik perhatianku. “Ia menatapmu.”
Mau tak mau, aku menatap gadis itu. Gadis itu masih terus menatapku dari mejanya.
Apa-apaan ini? Apa dia fans?
“Sepertinya gadis itu mengagumimu,” kata Chris dengan tatapan menggoda. Aku membalas tatapannya tanpa ekspresi sedikitpun.
“Jangan berani-berani. Aku ini bosmu,” kataku pelan, namun tajam.
“Baiklah, baiklah.”

***
“Kau tahu, aku sangat suka musim dingin,” kata gadis itu memecah keheningan.
Kini aku berdiri di jembatan yang ada di tengah-tengah danau Clara Meer, danau yang ada di Piedmont Park, Atlanta. Aku hanya diam, berpura-pura mendengarkan, namun sebenarnya tidak samasekali.
“Kau tahu kenapa? Karena aku suka melihat salju yang turun, aku suka melihat sekelilingku berubah menjadi putih, dan aku suka musim dingin karena..” ia berhenti sebentar. “karena ada hari Natal. Hari yang damai, kau tahu? Dan satu lagi, musim dingin sangatlah romantis.”
Aku hanya diam, tak sedikitpun berminat untuk menanggapi kata-katanya. Dia suka musim dingin, katanya? Aku sangat membenci musim dingin. Apa istimewanya musim dingin?  Musim dingin adalah mimpi buruk semua orang. Dan aku tak suka menggigil kedinginan karena suhu yang rendah. Itu akan menghambat pekerjaanku, kau tahu?
“Hey, ini untukmu,” kata gadis itu lagi, gadis yang sama yang selalu duduk di salah satu meja yang ada di café 279 tanpa memesan apapun. Ia menyodorkan sebuah kotak kecil ke arahku.
Mau tak mau, dan suka tidak suka, aku membuka kotak itu dengan enggan. Ternyata kotak itu berisi sebuah jam tangan berwarna perak. Apa maksudnya?
“Apa ini?”
“Kau tidak lihat? Ini sebuah jam tangan,” sahut gadis itu acuh tak acuh.
“Untuk apa kau memberikan ini?”
Bethany—itu nama gadis itu—menatapku dan jam tangan itu bergantian. Ia menghela napas sebelum akhirnya menjawab, “Agar kau bisa mengetahui waktu,” katanya.
Dahiku mengernyit mendengarnya. Aku hendak berbicara, namun Bethany lebih cepat. “Maksudku, kau tahu, kau sangat workaholic. Jadi aku memberimu jam tangan agar kau bisa tahu kapan waktu yang tepat untuk bekerja, dan kapan waktu untuk istirahat. Kau bukan mesin yang bisa bekerja terus-menerus, kau tahu?” ia kembali menghela napas sebelum akhirnya melanjutkan, “jadi, aku harap dengan jam tangan itu kau bisa membagi waktumu dengan lebih baik.”
Lagi-lagi aku hanya diam dan mengamati jam tangan pemberian Bethany tanpa ekspresi. Seolah-olah tak peduli dengan sikapku yang acuh tak acuh, Bethany bicara lagi. “Kalau kau tidak mau memakainya, tidak apa-apa. Tapi, aku harap kau mau memakainya. Paling tidak untuk dirimu sendiri.”
“Terima kasih,” kataku kaku, penuh dengan rasa terpaksa. Kau tahu, sebenarnya aku tak ingin berterimakasih. Berterimakasih atas pemberian Bethany—jam tangan yang biasa-biasa saja ini. Untuk apa? Hey, aku bisa membeli apapun yang kuinginkan dengan uang yang kumiliki sekarang. Jam tangan ini bukanlah apa-apa. Lagipula, apa ia tak bosan terus menerus memberiku hadiah? Selama ini ia memang sering memberi hadiah untukku. Tentunya benda-benda yang akrab dengan laki-laki. Jam tangan ini hanyalah salah satunya. Dan Bethany selalu berharap aku memakai hadiah darinya. Well, aku memang menerimanya, tapi aku tak pernah sekalipun memakainya. Untuk apa? Aku tak ingin memakainya. Mungkin kau berpikir aku tidak menghargai pemberian gadis ini, tapi aku sudah berusaha menerima semua pemberiannya itu walau dengan terpaksa.
Kau mungkin bertanya-tanya bagaimana aku bisa mengenal gadis dengan rambut bergelombang dan berwarna cokelat kehitaman, berkulit putih, dan mata berwarna coklat tua ini. Well, aku mengenalnya karena dikenalkan oleh temanku, yang ternyata juga temannya tiga bulan yang lalu. Entah untuk apa temanku memperkenalkan Bethany padaku. Walau begitu, aku berkenalan dengannya penuh dengan rasa terpaksa. Kalau saja temanku tak memperkenalkanku padanya, aku takkan ingin berkenalan dengannya. Untuk apa aku berkenalan dengannya? Tak ada gunanya jika aku mengenalnya, bukan?
“Sebaiknya kita pulang,” ujarku. “Masih ada yang harus kukerjakan.”
***
Aku memandang meja itu dengan tatapan kosong. Meja itu. Ya, meja itu.
Meja yang sering ditempati gadis itu, Bethany.
Meja itu akhir-akhir ini selalu kosong. Sejak dua bulan yang lalu. Entah kenapa. Padahal, biasanya ia selalu datang ke café-ku ini, walau tanpa memesan apapun. Tapi kini, ia tak pernah terlihat. Ia seperti ditelan bumi saja.
Ke mana gadis itu?
Well, aku tahu aku memang tak pernah mempedulikan gadis itu, bahkan aku tak segan-segan menganggapnya tak pernah ada. Tapi, kau tahu, semakin lama aku semakin terbiasa dengan kehadiran gadis itu.
Dan kini, aku mendapati diriku bertanya-tanya, di mana gadis itu?
Aku merindukan gadis itu, sungguh. Aku rindu melihat wajahnya, tatapan matanya, kata-katanya itu—yang awalnya kuanggap tidak penting. Oh, aku benar-benar merindukannya.
“Ada apa denganmu?” suara Chris mengagetkanku. Lamunanku buyar dalam sekejap.
Aku hanya diam. Seolah-olah mengerti, Chris berkata, “Kau merindukan gadis itu, hm?” ujarnya dengan tatapan menggoda.
Ya. “Tidak,” tolakku. Aku menatapnya tajam. “Aku tidak merindukan gadis itu,” tegasku, tapi aku tahu hatiku memberontak.
“Tidak apa-apa jika tak mau mengaku,” Chris masih tetap dengan godaannya, lalu berjalan pergi.
Lagi-lagi aku hanya diam, namun tidak dengan pikiranku. Aku sibuk berpikir bagaimana caranya agar aku bisa bertemu dengan gadis itu.
Dan tiba-tiba saja ide itu terlintas dalam pikiranku, seperti pelangi sehabis hujan. Aku segera mengambil ponselku, dan mengirimkan pesan singkat.

To : Bethany
Temui aku di Piedmont Park pukul 6 pm. Persiapkan dirimu sebaik mungkin. Jangan terlambat.

            Aku tersenyum puas setelah mengetahui pesan singkatku terkirim dengan cepat.

***
Kini aku duduk di salah satu kursi taman yang ada di Piedmont Park. Aku mempersiapkan diri dengan memberikan penampilan terbaikku dan juga hadiah. Tak ada salahnya jika aku memberinya hadiah, bukan? Aku ingin membalas kebaikannya selama ini.
Aku terus menunggu, tapi Bethany tak kunjung datang. Apa ia tak membaca pesan singkatku? Yang benar saja!
Aku melirik jam tangan yang melilit pergelangan tanganku. Jam tangan pemberian gadis itu. Aku memutuskan memakainya agar ia senang. Pukul 07:30 pm. Apa-apaan ini? Dia terlambat tiga puluh menit!
Baiklah, aku akan menunggu sepuluh menit lagi. Jika gadis itu tidak datang, aku akan pulang.
Aku menunggu dengan tidak sabaran. Sudah sepuluh menit. Sebaiknya aku pulang saja.
Aku sudah bangkit dari kursiku ketika kudengar sebuah suara menyebut namaku. “Apa kau Philip?”
Aku menoleh, dan kulihat seorang laki-laki menatapku penuh keseriusan. Siapa laki-laki ini?
“Ya. Siapa kau?”
Laki-laki itu menghembuskan napasnya perlahan. “Maaf, aku terlambat,” katanya.
“Siapa kau?” tanyaku tanpa mempedulikan permohonan maafnya.
“Ah, aku lupa memperkenalkan diri,” desahnya. “Aku William.”
Aku menatap laki-laki yang ternyata bernama William itu dengan penuh minat. “Apa maumu?”
“Kau menunggu Bethany, bukan?” bukannya menjawab pertanyaanku, ia malah balik bertanya. Dan bagaimana dia tahu aku menunggu Bethany?
“Ya,” jawabku enggan. “Bagaimana kau tahu?”
“Aku sahabat Bethany,” katanya. “Aku membaca pesan singkat yang kau kirimkan.”
Aku mengernyit mendengarnya. “Lalu? Kenapa tak kau sampaikan kepadanya? Kenapa justru kau yang datang?”
William menatapku lurus-lurus. Ia melirik hadiah yang akan kuberikan pada Bethany sekilas. “Maaf, kau terlambat.”
Lagi-lagi dahiku mengernyit mendengar kata-katanya. Tapi aku hanya diam, menunggunya melanjutkan perkataannya.
“..karena dia sudah meninggal.”
Seketika mataku melebar kaget. Apa? Apa katanya? Bethany sudah meninggal?
“Apa?” suaraku serak. “Bagaimana—“
“Kanker,” sela William cepat.
“Kanker?” oh, aku merasa seperti orang bodoh. Aku hanya mengulang-ulang perkataan orang lain. “Bagaimana bisa? Rambutnya tidak rontok.”
William menghela napas sebelum akhirnya menjawab, “Dia memakai rambut palsu yang sama dengan model dan warna rambut aslinya.”
“Kapan dia meninggal?”
“Dua bulan lalu.”
Kau tahu, aku benar-benar terkejut sekarang. Aku terakhir bertemu dengannya dua bulan yang lalu. Aku belum sempat memberi apapun untuknya. Dan, ketika aku ingin melakukannya, semuanya sudah terlambat.
“Tapi, kurasa tak ada gunanya kau mengetahui hal ini, bukan?” William memecah keheningan yang sempat terjadi selama beberapa menit. Ia tertawa mengejek. “Kau tak pernah peduli padanya, bukan? Jadi, kurasa tak ada gunanya bagimu jika kau tahu dia meninggal.”
Aku terdiam mendengar kata-katanya, dan mau tak mau aku mengakui kata-kata laki-laki itu memang benar. Aku memang pernah tak peduli padanya.
“Kurasa Bethany benar-benar bodoh,” kata William lagi. “Ah, tidak. Entah dia bodoh, atau terlalu cinta, aku tak tahu. Dia benar-benar mencintaimu, kau tahu? Tapi kau malah menganggapnya seolah-olah tak pernah ada.”
Oh, kini aku merasa seperti ditonjok-tonjok di perut. Aku ingin memutar waktu, kau tahu? Tapi, kurasa itu konyol. Waktu takkan pernah bisa diputar kembali.
Andai aku bisa memperbaiki semuanya.
“Kurasa sudah cukup, bukan?” katanya lagi. “Kau sudah cukup membuatnya sakit hati,” katanya lagi, lalu berjalan pergi dengan langkah lebar.
Meninggalkanku yang masih menyesali perbuatan bodohku.



The END

Gimana? Jelek? Feel-nya nggak dapat? Yang jelas saya membutuhkan kritik dan saran Anda. Silakan tinggalkan jejak Anda di kolom komentar, okay? Terimaksih sudah mau baca karya saya. Sekali lagi, terimakasih!

Comments

Popular posts from this blog

It’s You