Untitled Part 3
Title : Untitled Part 3
Genre : Romance, Friendship
Notes : Hai! Ketemu lagi sama saya. Well, ini lanjutan dari cerpen Untitled! This is my masterpiece! Ini bukan FanFiction, tapi cerpen gaje hasil karya saya sendiri. Semoga suka yaa. Cerpen ini terinspirasi dari perasaan saya dan inspirator terhebat yang pernah ada yang pernah saya miliki (semua ide yang saya dapatkan selama ini itu karenamu!). Ide cerita ini murni dari pikiran saya. TIDAK PLAGIAT! So, don't copy-paste this story, okay? Jika ada kesamaan latar, nama, alur, dsb itu hanyalah kebetulan semata. Oh, maaf kalau judulnya tidak sesuai dengan cerita, karena saya nggak pintar buat judul. Maaf juga kalau part ini terlalu pendek buat kalian, saya akan membuatnya sepanjang yang saya bisa. Dibutuhkan saran dari kalian para readers semuanya agar saya bisa menulis lebih baik lagi, karena saya masih pemula dalam dunia tulis-menulis. Thank you and Happy reading!
Genre : Romance, Friendship
Notes : Hai! Ketemu lagi sama saya. Well, ini lanjutan dari cerpen Untitled! This is my masterpiece! Ini bukan FanFiction, tapi cerpen gaje hasil karya saya sendiri. Semoga suka yaa. Cerpen ini terinspirasi dari perasaan saya dan inspirator terhebat yang pernah ada yang pernah saya miliki (semua ide yang saya dapatkan selama ini itu karenamu!). Ide cerita ini murni dari pikiran saya. TIDAK PLAGIAT! So, don't copy-paste this story, okay? Jika ada kesamaan latar, nama, alur, dsb itu hanyalah kebetulan semata. Oh, maaf kalau judulnya tidak sesuai dengan cerita, karena saya nggak pintar buat judul. Maaf juga kalau part ini terlalu pendek buat kalian, saya akan membuatnya sepanjang yang saya bisa. Dibutuhkan saran dari kalian para readers semuanya agar saya bisa menulis lebih baik lagi, karena saya masih pemula dalam dunia tulis-menulis. Thank you and Happy reading!
***
This story is dedicated to someone who has "stolen" my heart with his
charm, and also to my best inspirator ever. Thank you for everything
you've done to me, dear.
***
“Apa yang kau bicarakan dengannya?”
William tersentak dari lamunannya dan menoleh dari jendela. “Kau
rupanya.”
“Apa yang kau bicarakan dengannya?” Stella mengulang
pertanyaannya sekali lagi. Ia mendekat dan duduk di atas sofa yang empuk.
“Di mana dia?”
“Dia sudah tidur, sepertinya kelahan,” jawab Stella enggan. “Jangan
mencoba menghindar. Jawab saja pertanyaanku, William.”
“Tidak ada.”
“Jangan berbohong,” sela Stella cepat. “Aku tahu pasti ada sesuatu yang kalian bicarakan.”
William hanya diam. Ia menatap jendela yang ada di depannya
tajam, seolah-olah berharap jendela itu akan hancur menjad i kepingan-kepingan
tajam karena tatapannya.
“Kau tidak mengatakan sesuatu, bukan?”
“Aku mengatakannya. Kenapa?” sela William tajam.
“Kau ini kenapa, huh?” sela Stella tak kalah tajam.
Sepertinya ia mulai ikut kesal. “Kalian bertengkar?”
“Tidak,” sahut William tanpa ekspresi.
“Lalu kau kenapa? Kau terlihat.. marah.”
William menggeleng pelan mendengar kata-kata Stella. Ia
menenggelamkan kedua tangannya di saku celana, masih menatap langit Melbourne
dengan tatapan kosong.
“Aku hanya tak mengerti kenapa dia tak mau mengakui
perasaannya, dan tak bisa melupakan laki-laki itu.”
Stella hanya diam, menunggu William melanjutkan kata-katanya.
“Kau tahu, ia selalu mengingat laki-laki itu. Ya, aku tahu
itu, walau aku berpura-pura tidak tahu. Ia
selalu mengingatnya. Ia hanya melupakan laki-laki itu sejenak ketika ia menulis
novel. Aku mendukungnya menulis, kau tahu? Kurasa menulis bisa membantunya melupakan
laki-laki itu, walau hanya sejenak.”
“Kau salah,” tolak Stella. Ia menatap William yang
mengernyitkan dahi tak mengerti. “Ia tak pernah melupakan laki-laki itu, bahkan
dalam tulisannya sekalipun.”
“Apa?”
“Ya, aku yakin itu. Ia
tak pernah melupakan laki-laki itu.”
“Seharusnya aku tak mendukungnya,” gerutu William. Rahangnya
mengertak.
Stella mengangkat bahu, tak tahu harus berkata apa.
“Kenapa dia masih saja mengingat-ingat laki-laki itu?” erang
William. “Dasar bodoh.”
“Lalu apa maumu?”
“Aku ingin dia melupakan laki-laki itu. Kurasa ini sudah
lebih dari cukup. Ia bersikap seolah-olah tak ada apapun, seolah-olah tak ada
masalah.”
“Dia memang seperti itu,” gumam Stella tak jelas.
“Tidak. Dia selalu
seperti itu,” sela William cepat dengan penuh penekanan. “Apa dia tidak tahu
kalau dia sudah disakiti?” erangnya lagi entah untuk ke berapa kalinya.
“Tidak. Dia bukannya tidak tahu,” kali ini Stella menyela.Ia
menghela napas sebelum akhirnya melanjutkan, “Dia tahu, hanya saja dia tak
merasakannya,” ia menatap William sejenak. “Kau tahu, hatinya sudah penuh
tikaman dan luka. Satu tikaman dan segores luka lagi tak akan ada bedanya
bukan?”
“Dia harus berhenti seperti ini terus, sungguh. Keadaannya
memburuk.”
“Ya, aku tahu.”
“Baginya, logika jauh lebih penting,” gumam William tak
jelas, tapi Stella masih bisa mendengarnya. “Dan dia berkata aku acuh tak acuh
dan tak pernah peduli padanya.”
Stella mengangkat bahu acuh tak acuh. “Well, kau memang acuh
tak acuh,” katanya. Tak peduli dengan tatapan tajam William yang ditujukan
padanya, Stella melanjutkan, “Terutama padanya. Kau tahu, sebenarnya aku agak
kaget ketika aku mengetahui satu fakta baru : kau mendengarkannya ketika dia
ada masalah.”
William mengernyit. “Kau tahu darimana?”
“Dia menceritakannya padaku. Sepertinya dia senang sekali,
padahal kau tak pernah peduli padanya, bukan? Kau hanya peduli padanya
semalam,” sahut Stella sarkastik.
William kembali menenggelamkan kedua tangan ke dalam saku
celananya. “Apa perhatian harus selalu ditunjukkan secara langsung?” gumamnya,
tetap menatap gelapnya langit Melbourne.
Stella berpikir-pikir sejenak.“Entahlah,” gumamnya.
“Entahlah?”
“Ya. Entahlah,” tegas Stella. “Kau tahu, ada kalanya
perhatian harus ditunjukkan secara langsung, tapi ada kalanya kau hanya bisa
menunjukkan perhatianmu diam-diam.”
Kali ini William menoleh dan menatap Stella tanpa ekspresi. Ia
hanya diam, menatap Stella dengan tatapan yang sangat sulit diartikan.
“William,” akhirnya Stella buka suara, berusaha menahan tawa
yang mungkin sebentar lagi akan keluar. “Jangan menatapku seperti itu.”
Dahi William mengernyit mendengar kata-kata Stella. Ia
menatap Stella tanpa ekspresi. “Kenapa?” tanyanya. “Ada apa dengan tatapanku?”
Stella masih terus menatap William, masih berusaha menahan
tawa. Ia tak mau tawanya membangunkan Tara, dan Tara mendengar percakapan
mereka.
Tidak. Tidak. Itu
tidak boleh terjadi.
“Oh ayolah, Stella. Aku tahu aku ini sangat tampan. Seharusnya
kau yang jangan menatapku seperti
itu,” William akhirnya buka suara. Nada suaranya sangat serius. Ia menatap
Stella dengan tatapan jenaka—sesuatu yang jarang ia lakukan pada orang lain.
Kecuali Tara, mungkin?
Tidak.
“Oh sudahlah. Kenapa kau tak memiliki kekasih saja kalau
begitu?”
William tertawa pelan dan berkata, “Aku tak akan bisa
memiliki kekasih jika aku masih belum bisa menjaga kalian.”
Stella mengangkat salah satu alisnya heran. “Apa maksudmu? Dan
kalian? Aku dan Tara, atau hanya Tara, hm?”
“Lupakan saja,” William tersenyum. Entah senyum apa itu,
Stella tak tahu.
Stella menatap William—yang masih menunjukkan senyumnya itu—diam-diam.
William. Laki-laki yang sulit ditebak. Atau terlalu
sulit ditebak? Entahlah, Stella tak tahu bagaimana deskripsi yang tepat untuk
William. Stella heran kenapa saat ini William belum juga memiliki kekasih. Atau
mungkin sudah?
Entahlah.
“Jadi? Apa maumu sekarang?”
“Dia melupakan dan menjauh dari laki-laki itu
sejauh-jauhnya.”
“Dengan cara?”
“Dengan caraku sendiri,” ujar William dengan seulas senyum
misterius tersungging di bibirnya.
***
“William!”
Aku berjalan menuju kamarnya dan memanggil namanya sekali
lagi. “William!”
Aku membuka pintu kamar William dan masuk. Oh, tak usah
heran. Kami memang sudah terbiasa seperti ini. Kami—aku dan Stella. Dia juga
sering begitu.
Kulihat William sedang membaca bukunya dengan serius. Tidak,
itu hanya kelihatannya saja. Aku yakin ia tak membaca bukunya itu. Ia menatap
buku itu dengan tatapan kosong, seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
“William,” panggilku. “Dimana Stella?”
“Aku tidak tahu,” jawab William datar.
“Aku lapar,” keluhku.
“Silakan memasak untukku,” kata William acuh tak acuh.
“Untukmu?” tanyaku
dengan nada tersinggung. “Aku yang sedang lapar disini, bukan kau, kau tahu? Jadi
untuk apa aku memasak untukmu?” kataku. “Lagipula, aku tak bisa memasak.”
“Learn how to cook,
then,” kali ini ia merebahkan tubuhnya di tempat tidur dan menarik selimut
hingga menutupi kepalanya.
“Kenapa tidak kau saja yang memasak untukku?”
“Itu bukan urusanku,” katanya samar-samar di balik selimut,
tapi aku masih bisa mendengarnya dengan cukup jelas.
“Kau ini kenapa, huh?” aku duduk di atas tempat tidur William
dan menatap William yang masih dengan selimutnya. “Kau sakit?”
“Tara,” kali ini William kembali buka suara. Ia membuka
selimutnya dan menatapku. “Bagaimana kalau..”
“Kalau?” aku mengangkat salah satu alisku heran sekaligus
penasaran.
“Bagaimana kalau.. kita sparing taekwondo?”
***
To be Continued
Gimana? Jelek? Gak
jelas? Feel-nya nggak dapat? Iya, benar. Tapi saya membutuhkan kritik
dan saran dari kalian semuanya, karena itu saya harapkan kalian
meninggalkan jejak di kolom komentar, okay? Terimakasih sudah mau baca
cerpen gaje saya ini. Sekali lagi, terima kasih!
Comments
Post a Comment