This Love


Title : This Love

Genre : Romance, Sad

Notes : Hai! Ketemu lagi sama saya. Ini bukan FanFiction, tapi cerpen gaje hasil karya saya sendiri. Semoga suka yaa. Cerpen ini terinspirasi dari perasaan saya dan inspirator terhebat yang pernah ada yang pernah saya miliki (semua ide yang saya dapatkan selama ini itu karenamu!). Ide cerita ini murni dari pikiran saya. TIDAK PLAGIAT! So, don't copy-paste this story, okay? Jika ada kesamaan latar, nama, alur, dsb itu hanyalah kebetulan semata. Oh, maaf kalau judulnya tidak sesuai dengan cerita, karena saya nggak pintar buat judul. Maaf juga kalau cerpen ini terlalu pendek buat kalian, saya akan membuatnya sepanjang yang saya bisa. Dibutuhkan saran dari kalian para readers semuanya agar saya bisa menulis lebih baik lagi, karena saya masih pemula dalam dunia tulis-menulis. Thank you and Happy reading!

Song : Maroon 5- This Love. Semoga bisa bantu mendapatkan feel-nya.

 ***


Kept playing love like it was just a games. –This Love.

***

Aku duduk di salah satu kursi taman yang ada di Piedmont Park, Atlanta. Aku memang sudah berjanji akan bertemu dengannya disini.
Aku melihat-lihat sekelilingku. Taman ini terletak sekitar satu mil timur laut dari pusat kota Atlanta. Taman ini besar dan sangat indah, dengan air mancur, pohon-pohon, danau Clara Meer dengan jembatan di tengah-tengahnya, dan pemandangan langit Midtown sebagai latar belakang. Banyak orang berjalan-jalan santai dan bersepeda di sini sore hari ini.
Aku melangkahkan kakiku menuju jembatan yang ada di tengah-tengah danau Clara Meer. Astaga, taman ini benar-benar cocok untuk lokasi pre wedding! Tempat ini benar-benar indah. Kurasa taman ini harus kupertimbangkan untuk menjadi lokasi pre wedding-ku nanti. Tempat ini benar-benar spektakuler.
“Maaf, aku terlambat.”
Seketika aku menoleh mendengar suara jernih yang sangat kukenal itu. Dan benar saja, di hadapanku kini berdiri seorang wanita cantik bertubuh sedang, dengan rambut bergelombang berwarna cokelat kehitaman, mata hazel brown, dan bibir berwarna pink alami yang kurasa tak memerlukan polesan lipstick. Ia Nampak santai namun tetap cantik dengan baju kaos putih dan celana panjang hitam. Matanya bersinar-sinar cerdas.
Aku tersenyum menatapnya. “Tidak apa-apa. Aku baru saja datang,” kataku.“Kau sangat cantik,” pujiku.
Ia tak mempedulikan pujian yang kuberikan dan berkata, “Ada apa?” tanyanya sambil mengernyitkan dahi. “Dari suaramu di telepon siang tadi, kurasa ada hal penting yang ingin kau bicarakan.”
“Kau mengenalku dengan baik,” ujarku sambil tertawa pelan. “Ya, aku ingin mengatakan sesuatu yang penting padamu. Nicole.”
“Aku juga.”
Kami mengucapkan itu bersamaan. Aku tersenyum kecil karenanya, tapi Nicole menatapku tanpa ekspresi sedikitpun.
“Kau saja duluan,” lagi-lagi kami mengucapkannya bersamaan.
Akhirnya, aku memutuskan untuk bicara lebih dulu. “Ehm,” aku berpura-pura membersihkan tenggorokan guna menutupi kegugupanku. “Kau tahu, aku..” aku berhenti sebentar. Astaga, kenapa aku gugup sekali?“ Aku ingin memberikan ini,” kataku sambil menyodorkan sebuah kotak ke arahnya.
Ia mengambil kotak itu, kemudian menatapku dan kotak itu secara bergantian dengan tatapan heran bercampur bingung.
“Buka saja dan kau akan tahu apa isinya,” kataku cepat sebelum ia sempat bicara lagi.
Ia menuruti kata-kataku, dan matanya melebar kaget setelah melihat apa yang ada di dalamnya.
Be My Player Two?” gumamnya pelan, membaca apa yang tertera di secarik kertas yang ada dalam kotak. Nicole menatapku lurus-lurus dan mengerjap.
“Ya. Bagaimana? Do you want to be my player two? Marry me, please,” kataku sambil membalas tatapannya.
Okay, mungkin menurut kalian ini agak aneh. Ya, aku yakin kalian pasti berpikir begitu, dan tentunya wanita yang berdiri di hadapanku ini. Tapi tidak denganku. Kau tahu, aku ini gamers. Jadi, tak ada salahnya jika aku melamar kekasihku dengan sedikit nuansa games di dalamnya, bukan? Lagipula, aku tak seperti laki-laki pada umumnya yang melamar kekasihnya dengan cincin, lalu berlutut di depan kekasihnya di tengah orang banyak. Aku lebih suka hal yang berbeda. Hal yang berbeda, namun berkesan. Mungkin akulah orang pertama yang melakukan hal seperti ini.
Aku sedang merasa kreatif sekarang, kau tahu?
Nicole masih terdiam, dan aku menunggu jawabannya dengan perasaan tak menentu. Keringat dingin mulai membasahi telapak tanganku. Entah kenapa, aku merasa kreatif dan payah di saat bersamaan.
“Um..”gumam Nicole. “Maaf, aku tidak bisa,” katanya lagi seraya mengembalikan kotak yang berisi sepasang cincin itu padaku
Seketika mataku melebar kaget mendengar kata-katanya. “Kenapa?”
“Aku tidak mencintaimu,” jawab Nicole tegas dan penuh penekanan di setiap kata.
Apa? Apa katanya? Aku tidak mencintaimu? Apa aku salah dengar?
“Kau tidak salah dengar, Steven,” kata Nicole lagi, seolah-olah ia baru saja membaca pikiranku. “Aku memang tidak mencintaimu.”
“Tapi kenapa?” tanyaku frustasi. Aku menatapnya nanar.
“Kau tahu, selama ini aku hanya berpura-pura. Berpura-pura merasakan hal yang sama—apa yang kau rasakan terhadapku,” ia menjawab pertanyaanku seolah-olah tanpa beban. “Dan satu lagi, aku hanya mengincar harta orang tuamu dengan mengambil hati mereka terlebih dahulu.”
Apa?
“Bagiku cinta hanyalah permainan. Hubungan cinta adalah hubungan yang tak perlu dianggap serius. Aku bisa memainkannya sesuka hatiku, seperti games. Menjalin hubungan dengan laki-laki, berpura-pura merasakan hal yang sama terhadap mereka, dan lalu mencampakkan mereka sesuka hatiku, kapan saja aku inginkan,” lanjutnya santai dengan sebuah seringai di bibirnya.
“Dan, mengenai orang tuamu, sayangnya aku gagal mengambil hati mereka. Jadi aku membunuh orang tuamu, sehingga harta kekayaan mereka jatuh ke tanganmu, dan aku bisa ikut menikmati hak kekayaanmu,” lanjutnya lagi dengan tawa, seolah-olah semua ini lucu baginya.
Jadi.. Hubungan kami selama lima tahun ini hanya dianggap permainan? Dan dia mengincar kekayaanku? Dan dia pembunuh orang tuaku?
Dan aku sudah terjebak dalam permainannya?
Sial!
“Kau tahu, aku benar-benar men—“
“Sayang sekali, tapi aku tidak mencintaimu. Tidak, dan tidak akan pernah mencintaimu,” ia memotong ucapanku yang belum selesai. Nada suaranya menyatakan kalau ia tak ingin dibantah. Ia menatapku. Tatapannya begitu tajam dan menusuk.
Kau mungkin tidak tahu seberapa sakit hatiku sekarang. Hubungan yang kuharapkan bisa menuju ke jenjang yang lebih tinggi harus berakhir dengan cara seperti ini. Hanya permainan, katanya? Apa ia menilai cinta serendah itu? Dan lagi, pembunuh orang tuaku adalah pacarku sendiri.
Aku benar-benar merasa bodoh, kau tahu?
Pikiranku benar-benar kacau. Perasaanku campur aduk. Aku benar-benar mencintainya, menyayanginya. Kau tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang dengan sepenuh hatimu? Itulah yang aku rasakan terhadapnya. Aku menginginkan yang terbaik, dan selalu berusaha menjadi laki-laki terbaik untuknya. Tapi apa yang kudapat? Tidak ada.
Aku tak pernah berarti apa pun baginya.
“Ternyata kau—“ gumamku. Rahangku mengertak tanpa kusadari.
“Ada saatnya kau akan melihat sisi tergelap pasanganmu, dan kini kau sudah melihatnya,” lagi-lagi Nicole memotong perkataanku yang belum selesai. “Tapi mulai detik ini, aku bukan lagi kekasihmu, dan sejak lima tahun yang lalu kau bukanlah kekasihku.”
Aku terdiam mendengar kata-katanya. Aku tahu aku harus mengatakan sesuatu, tapi aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Suaraku tak bisa keluar. Keheningan pun hinggap di antara kami. Keheningan yang—sayangnya—tidak nyaman.
“Masih ada yang ingin kau katakan lagi?” tanyanya acuh tak acuh, memecah keheningan. “Kurasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan, bukan? Apa yang pernah ada di antara kita semuanya sudah berakhir.”
Apa yang pernah ada di antara kita semuanya sudah berakhir. Semuanya. Semuanya.
“Selamat tinggal,” katanya, lalu berbalik dan berjalan pergi, meninggalkanku yang masih terdiam. Meninggalkanku yang masih juga belum bisa menemukan suaraku kembali dengan langkah lebar.
Sejak itu, ia tak pernah kembali. Bahkan hanya sekali. Ia tak pernah menghubungiku, tak pernah muncul lagi dihadapanku. Ia seperti menghilang ditelan bumi. Mungkin ia sekarang sedang berada di pesawat, menikmati perjalanannya menuju Toronto, Ontario, Canada.
Dan mungkin sedang mencari laki-laki lain yang bisa ia jadikan “korban” selanjutnya.



The END

Gimana? Jelek? Feel-nya nggak dapat? Yang jelas saya mengharapkan kritik dan saran dari readers semuanya. Diharapkan kalian meninggalkan jejak di kolom komentar, okay? Terimakasih sudah baca. Sekali lagi, terimakasih!

Comments

Popular posts from this blog

It’s You