Truth or Dare?

Main cast : Jeremy Kim a.k.a Yesung Super Junior
                   Beatrice Patricia White (OC)
Other cast : Stella Josephine (OC)

Notes : Holla! Saya kembali lagi dengan satu FF Oneshot! Dan kali ini cast-nya adalah Yesung Super Junior. FF ini terinspirasi dari teman saya yang mengajak saya memainkan permainan 'Truth or Dare?', "penginspirasi terhebat" yang pernah saya miliki, dan beberapa peristiwa yang saya alami.
Alur cerita (dan juga ide cerita?) ini murni dari pikiran saya. Tidak PLAGIAT! So don't copy-paste this story, okay? Jika ada kesamaan nama, ide, alur, tempat, atau apapun itu hanya kebetulan semata. Maaf juga kalau judul gak cocok dengan cerita, karena saya gak pintar buat judul. Kritik dan saran dari para readers semuanya sangat dibutuhkan, karena saya masih pemula. Gomawo! Happy reading guys! ^^

***

“Jeremy! Jeremy!”

Aku menoleh ketika kudengar ada seseorang memanggil namaku. 

Ternyata dia.

“ Hosh.. Hosh.. Kau.. Sedang apa? Hosh..” Tanyanya dengan napas tersengal-sengal karena ia memanggilku sambil berlari.

“Tidak melakukan apapun,” jawabku datar. Samasekali tak berminat. Saat ini aku sedang tak ingin diganggu. Aku ingin sendiri. Tapi nyatanya kini ada seorang gadis muncul di hadapanku dan menanyakan sesuatu yang samasekali tidak penting.

Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai tanda kalau ia mengerti. “Jeremy, ayo kita main!”

Aku menoleh ke arahnya yang kini duduk tepat di sebelahku. Aku mentapnya tanpa minat sedikitpun. Oh, aku benar-benar ingin sendiri sekarang! Bisakah kau pergi meninggalkanku untuk hari ini saja? Dan apa katanya tadi? Main? Oh, kami sudah berumur 16 tahun, dan dia mengajakku bermain? Lagipula permainan macam apa?

“Ayo kita main, Jeremy!”

Akhirnya dengan sangat terpaksa aku bertanya. “Kau ingin mengajakku main apa, hm?”

“Ayo kita main Truth or Dare!” sahutnya dengan penuh semangat. Ia bahkan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar—dan matanya bersinar-sinar senang. Seolah-olah ia tak peduli dengan reaksi yang kutunjukkan sedari tadi padanya.

“Apa kau gila? Permainan macam apa itu? Kau umur berapa huh?” akhirnya aku mengungkapkan isi pikiranku.

“Oh ayolah, kita main ya? Hanya sekali saja!” bujuknya. Nampaknya ia benar-benar tak peduli atas ejekanku tadi.

“Kurasa lebih baik kau ajak orang lain saja,” kataku padanya—mencoba mengusirnya secara halus. 

Ia menatapku dengan tatapan memelas. “Aku ingin bermain denganmu, Jeremy. Ayolah! Sekali ini saja. Setelah itu aku takkan mengganggumu lagi,” lagi-lagi ia berusaha membujukku.

“Baiklah!” jawabku gusar. “Bagaimana permainan konyolmu itu?”

“Hey, jangan salah. Ini menyenangkan,” ujarnya membela diri. “Hm.. Bagaimana cara memainkannya ya?’ tanyanya padaku—atau lebih tepatnya kepada dirinya sendiri sambil berpikir-pikir.

Aku menghembuskan napas dengan kasar. “Apa maumu sebenarnya, huh?!” bentakku. Gadis ini benar-benar menggangguku, sungguh.

“Mauku? Mengajakmu bermain bersamaku,” sahut gadis itu sambil menatapku dengan mata hazel brown-nya. Wajahnya menampakkan seolah-olah ia tak melakukan kesalahan apapun saat ini. Padahal, ia sudah melakukan kesalahan besar. Menggangguku. Ya, menggangguku!

“Oh, bisakah kau tidak menggangguku?” tanyaku akhirnya. Aku benar-benar tak tahan lagi sekarang.

“Siapa bilang aku mengganggumu? Aku hanya ingin bermain denganmu,” jawabnya masih dengan ekspresi yang sama seperti sebelumnya. Wajah tanpa dosa—penuh dengan kepolosan.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku tak mengerti. Ya—tak mengerti kenapa ada seorang gadis yang berusia 16 tahun namun bersifat sepolos—atau mungkin terlalu polos—seperti dia.

“Oh ayolah, cepat selesaikan permainan konyolmu ini,” aku heran mengapa kata-kata tersebut meluncur mulus dari bibirku. Apa yang harus diselesaikan? Permainannya belum mulai sejak ia menghampiriku siang ini. Sejak 15 menit yang lalu. Ya, itu benar.

“Ah ya, kita mulai dari gunting, batu, kertas,” akhirnya ia memulai permainan anehnya. Tunggu! Gunting, batu, kertas? Apa maksudnya? Okay, aku mengerti maksudnya, namun apa hubungannya dengan kalimat “Truth or Dare” yang dikatakan olehnya tadi? Benar-benar aneh!

“Apa maksudmu?” tanyaku.

“Ayolah, turuti saja kata-kataku,” ujarnya.

“Gunting, batu, kertas!”

“Yeayy!! Aku menang!” sorakku gembira. Ia menatap tangannya yang masih terbuka lebar—berbentuk seperti kertas dengan kesal. 

“Kau curang! Ayo kita ulang sekali lagi!” protesnya padaku.

“Tidak bisa!” tolakku mentah-mentah. “Ayo cepat, kita mulai. Waktuku tidak banyak!”

“Baiklah, karena kau yang menang, kau lebih dulu,” katanya. “Silakan pilih. Truth or Dare?"

“Hm..” aku berpikir-pikir. “Dare!”

“Okay,” ia menyanggupi. “Katakan, ‘Aku benar-benar jelek dan kepalaku sangat besar’.”

“Apa?!” Aku melotot. “Enak saja kau! Aku ini sangat tampan, tahu?!” tukasku tersinggung. “Dan apa katamu tadi? ‘Kepalaku sangat besar’? Kau menghinaku, huh?” 

“Aku tidak menghinamu, bodoh! Tapi itu memang kenyataan! Kepalamu sangat besar sedangkan tanganmu sangat kecil. Benar-benar tidak seimbang,” ujarnya membela diri. Dia benar-benar menghinaku! Menghinaku melalui permainan ini! “Katakan saja. Kau memilih ‘dare’, bukan? Jadi, itu hanya bohong.”

Oh, jadi hanya bohong? “Baiklah, aku benar-benar jelek dan kepalaku sangat besar,” akhirnya aku menurut.

Ia tersenyum puas. “Bagus!”

“Hanya itu?” tanyaku—merasa tak puas. 

“Tentu saja tidak,” sahutnya. “Kini giliranku. Silakan bertanya padaku apa pilihanku.”

“Truth or Dare?”

“Dare!”

“Baiklah,” aku melipat tanganku di atas dada. “Katakan, ‘Usiaku 16 tahun, namun kurasa aku lebih pantas berada di Playgroup daripada di Senior High School’,” suruhku. “Ayo cepat!”

Dia melotot dalam sekejap ketika mendengar kata-kataku. “Kau benar-benar kejam! Kau pikir aku ini apa, huh?!” teriaknya marah.

“Perbuatlah apa yang ingin orang lain perbuat padamu,” kataku tak peduli. “Bukankah kau menghinaku tadi?”

“Ah, terserah kau saja!” ia menyerah. “Usiaku 16 tahun, namun kurasa aku lebih pantas berada di Playgroup daripada di Senior High School! Puas?!”

“Sangat puas, Beatrice Patricia White,” kataku sambil tersenyum dengan tangan yang masih terlipat di atas dada.

Ia menatapku kesal. “Kini giliranmu.”

“Aku pilih Truth!” ujarku semangat. Sepertinya aku mulai terbawa suasana.

“Truth? Kau yakin?” tanyanya sambil mengerutkan kening. 

“Tentu saja, bodoh!” ujarku dengan penuh keyakinan di setiap kata.

“Kuharap kau tidak menyesal dengan pilihanmu,” sahutnya sambil tersenyum. Ia merapikan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan karena tiupan angin.

“Menyesal? Aku tahu pilihanku tepat,” ujarku percaya diri.

“Baik,” gadis itu menghela napas sejenak. “Karena kau pilih Truth, kau harus menjawab pertanyaanku—apapun itu, dengan jujur,” jelasnya. Aku mengangguk mantap menyanggupi.

“Siapa gadis yang kau sukai?”

Aku melotot dalam sekejap mendengar pertanyaan yang dilontarkannya padaku. Pertanyaan macam apa itu?  Ah, tidak, kurasa yang lebih tepat adalah : Permainan macam apa ini? Ini seperti mengorek privasi orang lain! 

“Rahasia!” kataku tegas.

“Tidak bisa begitu!” bantahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala tanda ia tak setuju. “Aku sudah bilang padamu bukan, kau harus menjawab pertanyaanku, apapun itu, dengan jujur,” katanya mengulang perkataannya.

“Tapi ini privasiku, bodoh!” bantahku.

“Yah, sudah kukatakan padamu kan, kuharap kau tidak menyesal dengan pilihanmu. Sekarang kau harus mempertanggungjawabkan pilihanmu. Jawab, atau tidak?” katanya dengan tatapan menantang.

Aku berdecak kesal. Sekarang aku benar-benar menyesal. Menyesal karena sempat terbawa suasana oleh permainan ini, dan menyesal karena pilihanku sendiri!

“Cepat jawab. Apa lagi yang kau tunggu?” tanyanya masih dengan tatapan yang sama. Tatapan menantang dan mengejek—serta senyum penuh kemenangan.

Oh, kurasa ini benar-benar gila.

“Haruskah aku menjawabnya?” aku mencoba menawar.

“Tak ada tawar-menawar lagi, Jeremy. Cepat jawab!”

Aku menghembuskan napas panjang—tanda menyerah. “Baiklah, tentu saja aku menyukai seorang gadis, bukan menyukai seorang laki-laki.”

“Yeah, then? Siapa gadis yang kau sukai?” tanyanya penasaran.

“Dia satu kelas dengan kita,” kataku lagi—memberikan clue untuknya.

Kulihat ia mendengus kesal. “Jeremy Kim! Aku tak butuh clue darimu! Lebih baik cepat jawab pertanyaanku. Kau benar-benar mengulur-ulur waktu,” omelnya.

Aku tersenyum menanggapi omelannya itu—seolah-olah tak memperdulikan hal itu. Harus kuakui, dia benar-benar lucu jika sedang kesal seperti ini. Itu menurutku.

“Aku tak ingin memberitahumu secara langsung, Beatrice,” ujarku. “Yeah, dia satu kelas dengan kita. Dia pintar, dan menurutku, dia sangat cantik, walau dia tak seperti anak-anak lain.”

“Apa maksudmu dengan ‘tidak seperti anak-anak lain’?” tanyanya sambil mengerutkan kening.

“Dia tidak setinggi anak-anak lain, dan dia sangat polos.”

Beatrice tak menjawab. Nampaknya ia sibuk berpikir.

“.. Dan kau tahu, gadis itu saat ini ada di dekatku, di depanku,” lanjutku.

Seketika Beatrice menoleh ke arahku. Ia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Matanya membulat. “Di depanmu?” tanyanya mencoba memastikan.

“Yep!” jawabku mantap sambil mengangguk menegaskan.

“Aku?” tanyanya lagi lirih.

***

“What?!”

Beatrice menjauh sedikit dari lawan bicaranya sambil mengernyit dan menggosok-gosokkan telinganya dengan tangan. 

“Sudah berapa kali sering kukatakan padamu, berhenti berteriak-teriak di telingaku!” desis Beatrice tajam. “Suaramu yang melengking itu lama-lama bisa merusak pendengaranku nanti.”

“Um.. I’m sorry,” gumam seseorang. “Tapi, aku benar-benar tak percaya. Kau pasti bercanda. Oh, kau harus tahu, Beatrice Patricia White, gurauanmu itu samasekali tidak lucu! Bagaimana jika para fans Jeremy mendengar hal ini? Kau bisa mati ditangan mereka!”

Beatrice menggeleng-gelengkan kepalanya karena ucapan sahabatnya itu. “Oh, hentikan pikiran konyolmu itu. Pertama, aku tak bercanda, jadi kau harus percaya ini. Kedua, kupikir jika para fans Jeremy mendengar hal ini, mungkin mereka akan marah, namun aku tahu aku takkan sampai mati ditangan mereka.”

“Yeah, aku tahu itu berlebihan. Tapi, sungguh, aku samasekali tak percaya,” gumam sang lawan bicara.

“Kau saja tidak. Apalagi aku,” gumam Beatrice.

“Mungkin dia sedang mabuk,” sahut sang lawan bicara.

“Kurasa dugaanmu tidak tepat, Stella Josephine. Aku tak mencium bau alkohol dari mulutnya. Dan, tak mungkin ia mabuk di sekolah,” sela Beatrice. Ia mendesah sejenak, kemudian melanjutkan, “Celakanya, sepertinya dia serius dengan perkataannya. Itu terlihat jelas di matanya. Lagipula, aku tahu laki-laki seperti dia bukanlah tipe laki-laki yang suka bermain-main seperti William.”

“Mmm—hmm..” gumam Stella—sahabat Beatrice sambil manggut-manggut mengerti. “Lalu?”

“Lalu aku harus bagaimana?” 

“Terima saja,” kata Stella.

“Tidak, Stella. Aku tak akan melakukannya,” jawab Beatrice tegas.

Stella menatap Beatrice dengan tatapan heran bercampur bingung. “Kenapa?”

“Hanya tak ingin saja,” jawab Beatrice asal sambil mengangkat bahu.

Stella menatap saahabatnya itu lekat-lekat. “Kau ini kenapa? Kau gila?” tanyanya sambil memutar mata karena kesal. “Tak ingin? Kau yakin? Kau tak ingin berpacaran dengan laki-laki seperti dia? Laki-laki tinggi, tampan, pintar pula. Apa yang kurang?”

“Kurasa tidak ada,” jawab Beatrice—lagi-lagi asal saja.

“Lalu kenapa? Jelaskan padaku sejelas-jelasnya.”

“Dia hanya terlalu sempurna saja untukku. Kurasa perempuan lain lebih cocok untuknya. Banyak perempuan menyukainya bukan?”

Stella melipat tangannya di atas dada dan berkata, “Sepertinya aku ingat ada seorang perempuan pernah berkata kalau ia menyukai Jeremy, dan jika seandainya ia ditembak oleh laki-laki itu, ia takkan menolak,” katanya santai namun dengan nada mengejek.

Beatrice hanya tersenyum kecut menanggapi kata-kata sahabatnya itu. Ia tak bisa membantah lagi. Skak mat sudah.

“Beatrice,” panggil Stella. “Aku tahu, dan kurasa memang, dia itu sempurna. Yah, memang, tak ada yang sempurna di dunia ini. Tapi maksudku, jarang ada laki-laki seperti dia. Dan harus kuakui, kalau saja ia menembakku, aku akan menerimanya tanpa berpikir panjang lagi.”

“Kalau begitu kau saja yang melakukannya,” sahut Beatrice cepat sambil merebahkan tubuhnya diatas tempat tidurnya yang empuk.

“Kau benar-benar konyol! Mana bisa aku melakukan itu?” Tanya Stella sambil tertawa kecil. “Tapi, apa kau sungguh-sungguh? Benar kau tak ingin berpacaran dengannya?”

“Sedari tadi aku sudah bingung memikirkan hal ini, Stella Josephine,” ujar Beatrice lemas sambil memejamkan matanya.

“Ternyata orang yang sering menggunakan logika sepertimu bisa bingung juga rupanya,” yah, Beatrice tahu saat ini Stella sedang mencoba untuk melucu, tapi saat ini bukanlah saat yang tepat untuk melakukannya. Sangat tidak tepat, malah. Dan Beatrice hanya diam saja—tak ingin memberi tanggapan. Tiba-tiba ia merasa lelah. Ya, lelah. Lelah karena bingung akan semua yang terjadi padanya. Akan pernyataan Jeremy yang cukup mengejutkan untuknya.

“Bagaimana jika kau tolak saja?” Tanya Stella karena akhirnya ia tahu candaannya itu tak memberi pengaruh apapun pada Beatrice.

“Laki-laki seperti dia? Ditolak? Stella, dia itu.. Argh!” erang Beatrice gusar karena kesal.

“Kau ini bagaimana sih?” Tanya Stella heran. “Tak mau menerima, tapi juga tak mau menolak. Benar-benar aneh.”

“Yah, sahabatmu ini memang aneh,” jawab Beatrice malas.

“Oh ayolah, kita selesaikan ini. Kau tahu, hal ini sangat diinginkan oleh fans Jeremy! Dan kini hal tersebut datang padamu. Bukankah kau beruntung?”

Beatrice menghela napas sambil terus berpikir-pikir. “Begini saja, “ Stella tiba-tiba bicara lagi. “Kau pikirkan saja dulu. Tenangkan pikiranmu, sehingga kau bisa berpikir jernih dan mengmbil keputusan terbaik,” katanya mencoba memberi jalan tengah. “Kau pasti bisa Beatrice.”
***

Flashback to Toronto, Canada, 5 January 2015
“Siapa gadis yang kau sukai?”
Jeremy melotot dalam sekejap mendengar pertanyaan yang dilontarkannya padanya. Pertanyaan macam apa itu?  Ah, tidak, mungkin yang lebih tepat adalah : Permainan macam apa ini? Ini seperti mengorek privasi orang lain! 
“Rahasia!” kata Jeremy tegas.
“Tidak bisa begitu!” bantah Beatrice sambil menggeleng-gelengkan kepala tanda ia tak setuju. “Aku sudah bilang padamu bukan, kau harus menjawab pertanyaanku, apapun itu, dengan jujur,” katanya mengulang perkataannya.
“Tapi ini privasiku, bodoh!” bantah Jeremy.
“Yah, sudah kukatakan padamu kan, kuharap kau tidak menyesal dengan pilihanmu. Sekarang kau harus mempertanggungjawabkan pilihanmu. Jawab, atau tidak?” kata Beatrice dengan tatapan menantang.
Jeremy berdecak kesal. Sekarang Jeremy benar-benar menyesal. Menyesal karena sempat terbawa suasana oleh permainan ini, dan menyesal karena pilihannya sendiri!
“Cepat jawab. Apa lagi yang kau tunggu?” Tanya Beatrice masih dengan tatapan yang sama. Tatapan menantang dan mengejek—serta senyum penuh kemenangan.
Oh, ini benar-benar gila.
“Haruskah aku menjawabnya?” Jeremy mencoba menawar.
“Tak ada tawar-menawar lagi, Jeremy. Cepat jawab!”
Jeremy menghembuskan napas panjang—tanda menyerah. “Baiklah, tentu saja aku menyukai seorang gadis, bukan menyukai seorang laki-laki.”
“Yeah, then? Siapa gadis yang kau sukai?” Tanya Beatrice penasaran.
“Dia satu kelas dengan kita,” kata Jeremy lagi—memberikan clue untuk Beatrice.
Beatrice mendengus kesal. “Jeremy Kim! Aku tak butuh clue darimu! Lebih baik cepat jawab pertanyaanku. Kau benar-benar mengulur-ulur waktu,” omelnya.
Jeremy tersenyum menanggapi omelannya itu—seolah-olah tak memperdulikan hal itu. 
“Aku tak ingin memberitahumu secara langsung, Beatrice,” ujar Jeremy. “Yeah, dia satu kelas dengan kita. Dia pintar, dan menurutku, dia sangat cantik, walau dia tak seperti anak-anak lain.”
“Apa maksudmu dengan ‘tidak seperti anak-anak lain’?” Tanya Beatrice untuk kesekian kalinya sambil mengerutkan kening.
“Dia tidak setinggi anak-anak lain, dan dia sangat polos.”
Beatrice tak menjawab. Nampaknya ia sibuk berpikir.
“.. Dan kau tahu, gadis itu saat ini ada di dekatku, di depanku,” lanjut Jeremy.
Seketika Beatrice menoleh ke arah Jeremy. Ia menatap Jeremy dengan tatapan yang sulit diartikan. Matanya membulat. “Di depanmu?” tanyanya mencoba memastikan.
“Yep!” jawab Jeremy mantap sambil mengangguk menegaskan.
“Aku?” tanyanya lagi lirih.
Laki-laki itu mengangguk lagi. “Kenapa? Apa itu salah?”
“Tapi..” Beatrice menggumam lirih.
 
“Tak salah bukan?” Tanya laki-laki itu lagi—memotong perkataannya yang belum selesai. “Jadi, aku sudah menjawab pertanyaanmu. Sekarang, giliranmu menjawab pertanyaan dariku,” lanjutnya lagi.
Kini Beatrice hanya diam—samasekali tak ingin memberi respon apapun. Rasa tertariknya sudah hilang—tak seperti tadi yang menggebu-gebu.
Jeremy bangkit dari kursinya. Kini dihadapannya berdiri seorang laki-laki yang.. Yah, menurutnya tampan. Sangat tampan. Sangat tampan dan sangat menarik. Tapi sayang, sifatnya sangat dingin. Dan, harus ia akui, ia benar-benar merasa terintimidasi dengan tubuh tinggi yang laki-laki itu miliki. Tentu saja, itu semua karena tubuhnya yang pendek ini.
“Hey, anak kecil, tatap aku,” kata Jeremy karena kini Beatrice tak berani menatapnya.
“Pertanyaanku adalah..” Jeremy berhenti sebentar. “Do  you want to be my girl?” Jeremy melontarkan pertanyaannya dengan lembut. Tak dingin seperti biasanya.
Mata Beatrice membulat karena kaget. Terlihat jelas mata hazel brown-nya membesar.
“Hey, apa lagi yang kau tunggu?” Tanya Jeremy karena Beatrice tak kunjung memberi reaksi.
“Um.. ak.. aku.. uh..” Beatrice benar-benar gugup saat ini. Saat ini wajah laki-laki itu berada cukup dekat dengan wajahnya. Oh, sungguh, dia benar-benar tampan!
“Mmm-hmm?” gumam Jeremy—menunggu kelanjutan dari kalimat Beatrice sambil menyentuh pundak Beatrice dan menatap gadis itu intens. 
“Um.. Aku.. tak bisa menjawabnya sekarang,” lanjut Beatrice akhirnya. Beatrice agak takut dengan perlakuan Jeremy padanya. Apalagi dengan tatapan Jeremy padanya. Tajam dan intens.
Jeremy menghembuskan napas perlahan. “Baiklah. Aku akan menunggu jawabanmu. Kau bisa pikirkan itu dulu,” kata Jeremy akhirnya. Jujur, sebenarnya Jeremy sedikit kecewa dengan jawaban Beatrice. Ia ingin mendengar jawaban Beatrice saat ini juga. Tapi dia tahu, Beatrice butuh waktu untuk mencerna hal ini. Ia tahu Beatrice masih terlalu polos untuk hal-hal semacam ini.
“Tak apa-apa kan?” Tanya Beatrice takut-takut. 
Jeremy hanya mengangguk sebagai jawaban. Dan bisa ditebak, laki-laki tinggi itu kemudian pergi meninggalkannya ketika baru saja ia hendak bicara lagi.
***
Sambil memutar kejadian itu di ingatannya, Beatrice memejamkan matanya. Kejadian itu terus-menerus diingatnya sepanjang hari ini—walau sebenarnya ia samasekali tak ingin mengingatnya lagi. Bagai kaset yang rusak karena terus-menerus diputar. Atau mungkin bagai slide presentasi gurunya di sekolah—yah, mungkin itu lebih tepat.
Beatrice membuka matanya perlahan. Ia terus bertanya-tanya dalam hati. Oh, ia benar-benar tak mengerti, sungguh. Ada banyak sekali pertanyaan yang menumpuk dalam pikirannya—menunggu untuk dijawab.

Namun sayang, ia samasekali tak mampu untuk menjawab seluruh pertanyaan itu. Andai saja ada orang yang bisa menjelaskan semua yang sudah terjadi padanya. Tapi sepertinya tak ada yang bisa menjelaskannya.
“Hah, apa yang harus kulakukan?” gumam gadis itu. Ia menatap boneka Teddy Bear terbesar yang ia miliki. “Apa yang harus aku lakukan? Terima? Atau menolaknya?” tanyanya lagi kemudian pada benda mati tersebut—lebih kepada dirinya sendiri.
Beatrice mengambil boneka tersebut, mendesah sejenak, kemudian melemparkan Teddy Bear tersebut ke sembarang tempat dengan kasar. Ia sangat kebingungan saat ini. Sepertinya baginya persoalan ini jauh lebih rumit dari soal-soal Matematika terumit yang pernah ia pelajari di sekolah. Yah, mungkin hanya untuk saat ini.
Untuk kesekian kalinya Beatrice memejamkan matanya. Lagi, lagi, dan lagi. Ia sangat kebingungan. Ah, dia masih terlalu ‘kecil’ untuk masalah seperti ini.
Jadi karena itu? Karena itukah semua tingkah anehnya padanya selama ini? Karena dia suka pada Beatrice?
Beatrice kembali memejamkan matanya entah untuk keberapa kalinya. Terus terang, ia tak suka

memejamkan mata, kemudian membukanya lagi. Begitu terus, sampai-sampai membuatnya bosan sendiri. Ia kembali mengingat-ingat semua kejadian yang terjadi padanya.
Akhirnya Beatrice bangkit—menjauhkan tubuhnya dari tempat tidurnya yang empuk dan melangkahkan kaki ke kamar mandi. Ia berharap sentuhan air dingin dari shower yang sebentar lagi akan mengguyur tubuhnya dapat menghanyutkan kebingungan yang ia rasakan saat ini.
***
Sudah 5 hari berlalu sejak kejadian itu. Ya, kejadian aku menembak Beatrice karena permainan ‘Truth or Dare?’ yang gila dan konyol itu—kurasa. Namun sayang, tak ada perkembangan apapun. Yang ada malah ia menghindariku. Ya, itu benar. Dan keadaan itu benar-benar tak membuatku nyaman.
Kapan dia menjawabnya? Aku ingin jawabannya datang dengan segera, sungguh. Namun, kurasa aku masih harus menunggu lebih lama lagi. Oh, ini benar-benar melelahkan. Bukankah menunggu itu melelahkan?
Membosankan? Semuanya pasti setuju denganku. Aku yakin itu. Sangat yakin, malah.
“Jeremy!”
Aku hanya diam—tak merespon panggilan itu. Siapapun yang memanggil, aku tak peduli. Aku ingin sendiri saat ini—merenungkan semuanya.
“Hey, Jeremy Kim!” kali ini orang itu menepuk pundakku—berhasil membuat lamunanku buyar dalam sekejap. Satu lagi, membuatku dengan sangat terpaksa harus memperdulikan panggilan itu. Panggilan yang sudah kuketahui sebelumnya. Aku sangat mengenal suara itu. Tapi sayang, aku tahu namun aku tak mau tahu.
“Kau ini, melamun saja,” tegurnya sambil mengambil tempat duduk di sebelahku. “Apa yang sedang kau pikirkan, hm?”
“Kau tak perlu tahu,” jawabku malas.
“Hey, aku ingin bicara denganmu,” katanya lagi seolah-olah tak perduli dengan reaksi yang kuberikan barusan. Aku hanya diam—menunggunya melanjutkan bicara.
“Tentang jawabanku.”
Aku hanya diam. Aku tak peduli lagi. Aku lelah.
“Hey, bisakah kau menoleh ke arahku? Aku ini sedang bicara denganmu!” Ujarnya.
Lagi-lagi dengan sangat terpaksa aku harus menoleh ke arahnya.
“Hey, jangan tatap aku seperti itu!” katanya kesal karena aku menatapnya malas sambil mengernyitkan kening.
“Mmm-hmm,” gumamku malas. “Lalu?”
“Apa kau serius denganku?” ia menatapku dengan sangat serius.
“Ya, sangat serius,” jawabku jujur.
“Kenapa, Jeremy? Kenapa?”
“Karena..” aku menhela napas. “Karena kau berbeda. Kau punya satu perbedaan yang sangat menonjol dari anak-anak lain. Bukan karena kau pendek. Kau pasti sudah mengetahuinya. Asal kau tahu, aku mau menerima itu. Jadi? Bagaimana?”
Beatrice terdiam seketika mendengar jawabanku. Ia tak berani menatapku.
“Hey,” aku memanggilnya. “Bagaimana? Kau ingin memberi jawaban, bukan?”
“Yeah,” akhirnya ia menatapku. “Jawabanku adalah..” ia diam sejenak. “Aku mau.”
“Terimakasih,” kataku sambil tersenyum. Aku benar-benar lega sekarang. Sungguh.
Beatrice mengangguk mengiyakan. “Terimakasih karena kau mau menerima kekuranganku, Jeremy.”

END
 

Comments

Popular posts from this blog

It’s You