Truth or Dare?
Main cast : Jeremy Kim a.k.a Yesung Super Junior
Beatrice Patricia White (OC)
Other cast : Stella Josephine (OC)
Notes : Holla! Saya kembali lagi dengan satu FF Oneshot! Dan kali ini cast-nya adalah Yesung Super Junior. FF ini terinspirasi dari teman saya yang mengajak saya memainkan permainan 'Truth or Dare?', "penginspirasi terhebat" yang pernah saya miliki, dan beberapa peristiwa yang saya alami.
Alur cerita (dan juga ide cerita?) ini murni dari pikiran saya. Tidak PLAGIAT! So don't copy-paste this story, okay? Jika ada kesamaan nama, ide, alur, tempat, atau apapun itu hanya kebetulan semata. Maaf juga kalau judul gak cocok dengan cerita, karena saya gak pintar buat judul. Kritik dan saran dari para readers semuanya sangat dibutuhkan, karena saya masih pemula. Gomawo! Happy reading guys! ^^
***
Flashback to Toronto, Canada, 5 January 2015
Beatrice Patricia White (OC)
Other cast : Stella Josephine (OC)
Notes : Holla! Saya kembali lagi dengan satu FF Oneshot! Dan kali ini cast-nya adalah Yesung Super Junior. FF ini terinspirasi dari teman saya yang mengajak saya memainkan permainan 'Truth or Dare?', "penginspirasi terhebat" yang pernah saya miliki, dan beberapa peristiwa yang saya alami.
Alur cerita (dan juga ide cerita?) ini murni dari pikiran saya. Tidak PLAGIAT! So don't copy-paste this story, okay? Jika ada kesamaan nama, ide, alur, tempat, atau apapun itu hanya kebetulan semata. Maaf juga kalau judul gak cocok dengan cerita, karena saya gak pintar buat judul. Kritik dan saran dari para readers semuanya sangat dibutuhkan, karena saya masih pemula. Gomawo! Happy reading guys! ^^
***
“Jeremy! Jeremy!”
Aku menoleh ketika kudengar ada seseorang memanggil namaku.
Ternyata dia.
“ Hosh.. Hosh.. Kau.. Sedang apa? Hosh..” Tanyanya dengan
napas tersengal-sengal karena ia memanggilku sambil berlari.
“Tidak melakukan apapun,” jawabku datar. Samasekali tak
berminat. Saat ini aku sedang tak ingin diganggu. Aku ingin sendiri. Tapi
nyatanya kini ada seorang gadis muncul di hadapanku dan menanyakan sesuatu yang
samasekali tidak penting.
Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai tanda kalau
ia mengerti. “Jeremy, ayo kita main!”
Aku menoleh ke arahnya yang kini duduk tepat di sebelahku.
Aku mentapnya tanpa minat sedikitpun. Oh, aku benar-benar ingin sendiri
sekarang! Bisakah kau pergi meninggalkanku untuk hari ini saja? Dan apa katanya
tadi? Main? Oh, kami sudah berumur 16 tahun, dan dia mengajakku bermain?
Lagipula permainan macam apa?
“Ayo kita main, Jeremy!”
Akhirnya dengan sangat terpaksa aku bertanya. “Kau ingin
mengajakku main apa, hm?”
“Ayo kita main Truth or Dare!” sahutnya dengan penuh
semangat. Ia bahkan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar—dan matanya
bersinar-sinar senang. Seolah-olah ia tak peduli dengan reaksi yang kutunjukkan
sedari tadi padanya.
“Apa kau gila? Permainan macam apa itu? Kau umur berapa
huh?” akhirnya aku mengungkapkan isi pikiranku.
“Oh ayolah, kita main ya? Hanya sekali saja!” bujuknya.
Nampaknya ia benar-benar tak peduli atas ejekanku tadi.
“Kurasa lebih baik kau ajak orang lain saja,” kataku
padanya—mencoba mengusirnya secara halus.
Ia menatapku dengan tatapan memelas. “Aku ingin bermain
denganmu, Jeremy. Ayolah! Sekali ini saja. Setelah itu aku takkan mengganggumu
lagi,” lagi-lagi ia berusaha membujukku.
“Baiklah!” jawabku gusar. “Bagaimana permainan konyolmu
itu?”
“Hey, jangan salah. Ini menyenangkan,” ujarnya membela diri.
“Hm.. Bagaimana cara memainkannya ya?’ tanyanya padaku—atau lebih tepatnya
kepada dirinya sendiri sambil berpikir-pikir.
Aku menghembuskan napas dengan kasar. “Apa maumu sebenarnya,
huh?!” bentakku. Gadis ini benar-benar menggangguku, sungguh.
“Mauku? Mengajakmu bermain bersamaku,” sahut gadis itu
sambil menatapku dengan mata hazel brown-nya.
Wajahnya menampakkan seolah-olah ia tak melakukan kesalahan apapun saat ini.
Padahal, ia sudah melakukan kesalahan besar. Menggangguku. Ya, menggangguku!
“Oh, bisakah kau tidak menggangguku?” tanyaku akhirnya. Aku
benar-benar tak tahan lagi sekarang.
“Siapa bilang aku mengganggumu? Aku hanya ingin bermain
denganmu,” jawabnya masih dengan ekspresi yang sama seperti sebelumnya. Wajah
tanpa dosa—penuh dengan kepolosan.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku tak mengerti. Ya—tak
mengerti kenapa ada seorang gadis yang berusia 16 tahun namun bersifat
sepolos—atau mungkin terlalu polos—seperti dia.
“Oh ayolah, cepat selesaikan permainan konyolmu ini,” aku
heran mengapa kata-kata tersebut meluncur mulus dari bibirku. Apa yang harus
diselesaikan? Permainannya belum mulai sejak ia menghampiriku siang ini. Sejak
15 menit yang lalu. Ya, itu benar.
“Ah ya, kita mulai dari gunting, batu, kertas,” akhirnya ia
memulai permainan anehnya. Tunggu! Gunting, batu, kertas? Apa maksudnya? Okay,
aku mengerti maksudnya, namun apa hubungannya dengan kalimat “Truth or Dare”
yang dikatakan olehnya tadi? Benar-benar aneh!
“Apa maksudmu?” tanyaku.
“Ayolah, turuti saja kata-kataku,” ujarnya.
“Gunting, batu, kertas!”
“Yeayy!! Aku menang!” sorakku gembira. Ia menatap tangannya
yang masih terbuka lebar—berbentuk seperti kertas dengan kesal.
“Kau curang! Ayo kita ulang sekali lagi!” protesnya padaku.
“Tidak bisa!” tolakku mentah-mentah. “Ayo cepat, kita mulai.
Waktuku tidak banyak!”
“Baiklah, karena kau yang menang, kau lebih dulu,” katanya.
“Silakan pilih. Truth or Dare?"
“Hm..” aku berpikir-pikir. “Dare!”
“Okay,” ia menyanggupi. “Katakan, ‘Aku benar-benar jelek dan
kepalaku sangat besar’.”
“Apa?!” Aku melotot. “Enak saja kau! Aku ini sangat tampan,
tahu?!” tukasku tersinggung. “Dan apa katamu tadi? ‘Kepalaku sangat besar’? Kau
menghinaku, huh?”
“Aku tidak menghinamu, bodoh! Tapi itu memang kenyataan!
Kepalamu sangat besar sedangkan tanganmu sangat kecil. Benar-benar tidak
seimbang,” ujarnya membela diri. Dia benar-benar menghinaku! Menghinaku melalui
permainan ini! “Katakan saja. Kau memilih ‘dare’, bukan? Jadi, itu hanya
bohong.”
Oh, jadi hanya bohong? “Baiklah, aku benar-benar jelek dan
kepalaku sangat besar,” akhirnya aku menurut.
Ia tersenyum puas. “Bagus!”
“Hanya itu?” tanyaku—merasa tak puas.
“Tentu saja tidak,” sahutnya. “Kini giliranku. Silakan
bertanya padaku apa pilihanku.”
“Truth or Dare?”
“Dare!”
“Baiklah,” aku melipat tanganku di atas dada. “Katakan,
‘Usiaku 16 tahun, namun kurasa aku lebih pantas berada di Playgroup daripada di
Senior High School’,” suruhku. “Ayo cepat!”
Dia melotot dalam sekejap ketika mendengar kata-kataku. “Kau
benar-benar kejam! Kau pikir aku ini apa, huh?!” teriaknya marah.
“Perbuatlah apa yang ingin orang lain perbuat padamu,”
kataku tak peduli. “Bukankah kau menghinaku tadi?”
“Ah, terserah kau saja!” ia menyerah. “Usiaku 16 tahun,
namun kurasa aku lebih pantas berada di Playgroup daripada di Senior High School!
Puas?!”
“Sangat puas, Beatrice Patricia White,” kataku sambil
tersenyum dengan tangan yang masih terlipat di atas dada.
Ia menatapku kesal. “Kini giliranmu.”
“Aku pilih Truth!” ujarku semangat. Sepertinya aku mulai
terbawa suasana.
“Truth? Kau yakin?” tanyanya sambil mengerutkan kening.
“Tentu saja, bodoh!” ujarku dengan penuh keyakinan di setiap
kata.
“Kuharap kau tidak menyesal dengan pilihanmu,” sahutnya
sambil tersenyum. Ia merapikan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan karena
tiupan angin.
“Menyesal? Aku tahu pilihanku tepat,” ujarku percaya diri.
“Baik,” gadis itu menghela napas sejenak. “Karena kau pilih
Truth, kau harus menjawab pertanyaanku—apapun itu, dengan jujur,” jelasnya. Aku
mengangguk mantap menyanggupi.
“Siapa gadis yang kau sukai?”
Aku melotot dalam sekejap mendengar pertanyaan yang
dilontarkannya padaku. Pertanyaan macam apa itu? Ah, tidak, kurasa yang lebih tepat adalah :
Permainan macam apa ini? Ini seperti mengorek privasi orang lain!
“Rahasia!” kataku tegas.
“Tidak bisa begitu!” bantahnya sambil menggeleng-gelengkan
kepala tanda ia tak setuju. “Aku sudah bilang padamu bukan, kau harus menjawab
pertanyaanku, apapun itu, dengan jujur,” katanya mengulang perkataannya.
“Tapi ini privasiku, bodoh!” bantahku.
“Yah, sudah kukatakan padamu kan, kuharap kau tidak menyesal
dengan pilihanmu. Sekarang kau harus mempertanggungjawabkan pilihanmu. Jawab,
atau tidak?” katanya dengan tatapan menantang.
Aku berdecak kesal. Sekarang aku benar-benar menyesal.
Menyesal karena sempat terbawa suasana oleh permainan ini, dan menyesal karena
pilihanku sendiri!
“Cepat jawab. Apa lagi yang kau tunggu?” tanyanya masih
dengan tatapan yang sama. Tatapan menantang dan mengejek—serta senyum penuh
kemenangan.
Oh, kurasa ini benar-benar gila.
“Haruskah aku menjawabnya?” aku mencoba menawar.
“Tak ada tawar-menawar lagi, Jeremy. Cepat jawab!”
Aku menghembuskan napas panjang—tanda menyerah. “Baiklah,
tentu saja aku menyukai seorang gadis, bukan menyukai seorang laki-laki.”
“Yeah, then? Siapa
gadis yang kau sukai?” tanyanya penasaran.
“Dia satu kelas dengan kita,” kataku lagi—memberikan clue untuknya.
Kulihat ia mendengus kesal. “Jeremy Kim! Aku tak butuh clue darimu! Lebih baik cepat jawab
pertanyaanku. Kau benar-benar mengulur-ulur waktu,” omelnya.
Aku tersenyum menanggapi omelannya itu—seolah-olah tak
memperdulikan hal itu. Harus kuakui, dia benar-benar lucu jika sedang kesal
seperti ini. Itu menurutku.
“Aku tak ingin memberitahumu secara langsung, Beatrice,”
ujarku. “Yeah, dia satu kelas dengan kita. Dia pintar, dan menurutku, dia
sangat cantik, walau dia tak seperti anak-anak lain.”
“Apa maksudmu dengan ‘tidak seperti anak-anak lain’?”
tanyanya sambil mengerutkan kening.
“Dia tidak setinggi anak-anak lain, dan dia sangat polos.”
Beatrice tak menjawab. Nampaknya ia sibuk berpikir.
“.. Dan kau tahu, gadis itu saat ini ada di dekatku, di
depanku,” lanjutku.
Seketika Beatrice menoleh ke arahku. Ia menatapku dengan
tatapan yang sulit diartikan. Matanya membulat. “Di depanmu?” tanyanya mencoba
memastikan.
“Yep!” jawabku mantap sambil mengangguk menegaskan.
“Aku?” tanyanya lagi lirih.
***
“What?!”
Beatrice menjauh sedikit dari lawan bicaranya sambil
mengernyit dan menggosok-gosokkan telinganya dengan tangan.
“Sudah berapa kali sering kukatakan padamu, berhenti
berteriak-teriak di telingaku!” desis Beatrice tajam. “Suaramu yang melengking
itu lama-lama bisa merusak pendengaranku nanti.”
“Um.. I’m sorry,”
gumam seseorang. “Tapi, aku benar-benar tak percaya. Kau pasti bercanda. Oh,
kau harus tahu, Beatrice Patricia White, gurauanmu itu samasekali tidak lucu!
Bagaimana jika para fans Jeremy mendengar hal ini? Kau bisa mati ditangan
mereka!”
Beatrice menggeleng-gelengkan kepalanya karena ucapan
sahabatnya itu. “Oh, hentikan pikiran konyolmu itu. Pertama, aku tak bercanda,
jadi kau harus percaya ini. Kedua, kupikir jika para fans Jeremy mendengar hal
ini, mungkin mereka akan marah, namun aku tahu aku takkan sampai mati ditangan
mereka.”
“Yeah, aku tahu itu berlebihan. Tapi, sungguh, aku samasekali
tak percaya,” gumam sang lawan bicara.
“Kau saja tidak. Apalagi aku,” gumam Beatrice.
“Mungkin dia sedang mabuk,” sahut sang lawan bicara.
“Kurasa dugaanmu tidak tepat, Stella Josephine. Aku tak
mencium bau alkohol dari mulutnya. Dan, tak mungkin ia mabuk di sekolah,” sela
Beatrice. Ia mendesah sejenak, kemudian melanjutkan, “Celakanya, sepertinya dia
serius dengan perkataannya. Itu terlihat jelas di matanya. Lagipula, aku tahu
laki-laki seperti dia bukanlah tipe laki-laki yang suka bermain-main seperti William.”
“Mmm—hmm..” gumam Stella—sahabat Beatrice sambil
manggut-manggut mengerti. “Lalu?”
“Lalu aku harus bagaimana?”
“Terima saja,” kata Stella.
“Tidak, Stella. Aku tak akan melakukannya,” jawab Beatrice
tegas.
Stella menatap Beatrice dengan tatapan heran bercampur
bingung. “Kenapa?”
“Hanya tak ingin saja,” jawab Beatrice asal sambil
mengangkat bahu.
Stella menatap saahabatnya itu lekat-lekat. “Kau ini kenapa?
Kau gila?” tanyanya sambil memutar mata karena kesal. “Tak ingin? Kau yakin?
Kau tak ingin berpacaran dengan laki-laki seperti dia? Laki-laki tinggi,
tampan, pintar pula. Apa yang kurang?”
“Kurasa tidak ada,” jawab Beatrice—lagi-lagi asal saja.
“Lalu kenapa? Jelaskan padaku sejelas-jelasnya.”
“Dia hanya terlalu sempurna saja untukku. Kurasa perempuan
lain lebih cocok untuknya. Banyak perempuan menyukainya bukan?”
Stella melipat tangannya di atas dada dan berkata, “Sepertinya
aku ingat ada seorang perempuan pernah berkata kalau ia menyukai Jeremy, dan
jika seandainya ia ditembak oleh laki-laki itu, ia takkan menolak,” katanya
santai namun dengan nada mengejek.
Beatrice hanya tersenyum kecut menanggapi kata-kata
sahabatnya itu. Ia tak bisa membantah lagi. Skak
mat sudah.
“Beatrice,” panggil Stella. “Aku tahu, dan kurasa memang,
dia itu sempurna. Yah, memang, tak ada yang sempurna di dunia ini. Tapi
maksudku, jarang ada laki-laki seperti dia. Dan harus kuakui, kalau saja ia
menembakku, aku akan menerimanya tanpa berpikir panjang lagi.”
“Kalau begitu kau saja yang melakukannya,” sahut Beatrice
cepat sambil merebahkan tubuhnya diatas tempat tidurnya yang empuk.
“Kau benar-benar konyol! Mana bisa aku melakukan itu?” Tanya
Stella sambil tertawa kecil. “Tapi, apa kau sungguh-sungguh? Benar kau tak
ingin berpacaran dengannya?”
“Sedari tadi aku sudah bingung memikirkan hal ini, Stella
Josephine,” ujar Beatrice lemas sambil memejamkan matanya.
“Ternyata orang yang sering menggunakan logika sepertimu
bisa bingung juga rupanya,” yah, Beatrice tahu saat ini Stella sedang mencoba
untuk melucu, tapi saat ini bukanlah saat yang tepat untuk melakukannya. Sangat
tidak tepat, malah. Dan Beatrice hanya diam saja—tak ingin memberi tanggapan. Tiba-tiba
ia merasa lelah. Ya, lelah. Lelah karena bingung akan semua yang terjadi
padanya. Akan pernyataan Jeremy yang cukup mengejutkan untuknya.
“Bagaimana jika kau tolak saja?” Tanya Stella karena
akhirnya ia tahu candaannya itu tak memberi pengaruh apapun pada Beatrice.
“Laki-laki seperti dia? Ditolak? Stella, dia itu.. Argh!”
erang Beatrice gusar karena kesal.
“Kau ini bagaimana sih?” Tanya Stella heran. “Tak mau
menerima, tapi juga tak mau menolak. Benar-benar aneh.”
“Yah, sahabatmu ini memang aneh,” jawab Beatrice malas.
“Oh ayolah, kita selesaikan ini. Kau tahu, hal ini sangat
diinginkan oleh fans Jeremy! Dan kini hal tersebut datang padamu. Bukankah kau
beruntung?”
Beatrice menghela napas sambil terus berpikir-pikir. “Begini
saja, “ Stella tiba-tiba bicara lagi. “Kau pikirkan saja dulu. Tenangkan
pikiranmu, sehingga kau bisa berpikir jernih dan mengmbil keputusan terbaik,”
katanya mencoba memberi jalan tengah. “Kau pasti bisa Beatrice.”
***
Flashback to Toronto, Canada, 5 January 2015
“Siapa gadis yang kau
sukai?”
Jeremy melotot dalam
sekejap mendengar pertanyaan yang dilontarkannya padanya. Pertanyaan macam apa
itu? Ah, tidak, mungkin yang lebih tepat
adalah : Permainan macam apa ini? Ini seperti mengorek privasi orang lain!
“Rahasia!” kata Jeremy
tegas.
“Tidak bisa begitu!”
bantah Beatrice sambil menggeleng-gelengkan kepala tanda ia tak setuju. “Aku
sudah bilang padamu bukan, kau harus menjawab pertanyaanku, apapun itu, dengan
jujur,” katanya mengulang perkataannya.
“Tapi ini privasiku,
bodoh!” bantah Jeremy.
“Yah, sudah kukatakan
padamu kan, kuharap kau tidak menyesal dengan pilihanmu. Sekarang kau harus
mempertanggungjawabkan pilihanmu. Jawab, atau tidak?” kata Beatrice dengan
tatapan menantang.
Jeremy berdecak kesal.
Sekarang Jeremy benar-benar menyesal. Menyesal karena sempat terbawa suasana
oleh permainan ini, dan menyesal karena pilihannya sendiri!
“Cepat jawab. Apa lagi
yang kau tunggu?” Tanya Beatrice masih dengan tatapan yang sama. Tatapan
menantang dan mengejek—serta senyum penuh kemenangan.
Oh, ini benar-benar
gila.
“Haruskah aku
menjawabnya?” Jeremy mencoba menawar.
“Tak ada tawar-menawar
lagi, Jeremy. Cepat jawab!”
Jeremy menghembuskan
napas panjang—tanda menyerah. “Baiklah, tentu saja aku menyukai seorang gadis,
bukan menyukai seorang laki-laki.”
“Yeah, then? Siapa
gadis yang kau sukai?” Tanya Beatrice penasaran.
“Dia satu kelas dengan
kita,” kata Jeremy lagi—memberikan clue untuk Beatrice.
Beatrice mendengus
kesal. “Jeremy Kim! Aku tak butuh clue darimu! Lebih baik cepat jawab
pertanyaanku. Kau benar-benar mengulur-ulur waktu,” omelnya.
Jeremy tersenyum
menanggapi omelannya itu—seolah-olah tak memperdulikan hal itu.
“Aku tak ingin
memberitahumu secara langsung, Beatrice,” ujar Jeremy. “Yeah, dia satu kelas
dengan kita. Dia pintar, dan menurutku, dia sangat cantik, walau dia tak
seperti anak-anak lain.”
“Apa maksudmu dengan
‘tidak seperti anak-anak lain’?” Tanya Beatrice untuk kesekian kalinya sambil
mengerutkan kening.
“Dia tidak setinggi
anak-anak lain, dan dia sangat polos.”
Beatrice tak menjawab.
Nampaknya ia sibuk berpikir.
“.. Dan kau tahu,
gadis itu saat ini ada di dekatku, di depanku,” lanjut Jeremy.
Seketika Beatrice
menoleh ke arah Jeremy. Ia menatap Jeremy dengan tatapan yang sulit diartikan.
Matanya membulat. “Di depanmu?” tanyanya mencoba memastikan.
“Yep!” jawab Jeremy
mantap sambil mengangguk menegaskan.
“Aku?” tanyanya lagi
lirih.
Laki-laki itu
mengangguk lagi. “Kenapa? Apa itu salah?”
“Tapi..” Beatrice
menggumam lirih.
“Tak salah bukan?”
Tanya laki-laki itu lagi—memotong perkataannya yang belum selesai. “Jadi, aku
sudah menjawab pertanyaanmu. Sekarang, giliranmu menjawab pertanyaan dariku,”
lanjutnya lagi.
Kini Beatrice hanya
diam—samasekali tak ingin memberi respon apapun. Rasa tertariknya sudah
hilang—tak seperti tadi yang menggebu-gebu.
Jeremy bangkit dari
kursinya. Kini dihadapannya berdiri seorang laki-laki yang.. Yah, menurutnya
tampan. Sangat tampan. Sangat tampan dan sangat menarik. Tapi sayang, sifatnya
sangat dingin. Dan, harus ia akui, ia benar-benar merasa terintimidasi dengan
tubuh tinggi yang laki-laki itu miliki. Tentu saja, itu semua karena tubuhnya
yang pendek ini.
“Hey, anak kecil,
tatap aku,” kata Jeremy karena kini Beatrice tak berani menatapnya.
“Pertanyaanku
adalah..” Jeremy berhenti sebentar. “Do
you want to be my girl?” Jeremy melontarkan pertanyaannya dengan lembut.
Tak dingin seperti biasanya.
Mata Beatrice membulat
karena kaget. Terlihat jelas mata hazel brown-nya membesar.
“Hey, apa lagi yang
kau tunggu?” Tanya Jeremy karena Beatrice tak kunjung memberi reaksi.
“Um.. ak.. aku.. uh..”
Beatrice benar-benar gugup saat ini. Saat ini wajah laki-laki itu berada cukup
dekat dengan wajahnya. Oh, sungguh, dia benar-benar tampan!
“Mmm-hmm?” gumam
Jeremy—menunggu kelanjutan dari kalimat Beatrice sambil menyentuh pundak
Beatrice dan menatap gadis itu intens.
“Um.. Aku.. tak bisa
menjawabnya sekarang,” lanjut Beatrice akhirnya. Beatrice agak takut dengan
perlakuan Jeremy padanya. Apalagi dengan tatapan Jeremy padanya. Tajam dan
intens.
Jeremy menghembuskan
napas perlahan. “Baiklah. Aku akan menunggu jawabanmu. Kau bisa pikirkan itu
dulu,” kata Jeremy akhirnya. Jujur, sebenarnya Jeremy sedikit kecewa dengan
jawaban Beatrice. Ia ingin mendengar jawaban Beatrice saat ini juga. Tapi dia
tahu, Beatrice butuh waktu untuk mencerna hal ini. Ia tahu Beatrice masih
terlalu polos untuk hal-hal semacam ini.
“Tak apa-apa kan?”
Tanya Beatrice takut-takut.
Jeremy hanya
mengangguk sebagai jawaban. Dan bisa ditebak, laki-laki tinggi itu kemudian
pergi meninggalkannya ketika baru saja ia hendak bicara lagi.
***
Sambil memutar kejadian itu di ingatannya, Beatrice
memejamkan matanya. Kejadian itu terus-menerus diingatnya sepanjang hari
ini—walau sebenarnya ia samasekali tak ingin mengingatnya lagi. Bagai kaset
yang rusak karena terus-menerus diputar. Atau mungkin bagai slide presentasi gurunya di sekolah—yah,
mungkin itu lebih tepat.
Beatrice membuka matanya perlahan. Ia terus bertanya-tanya
dalam hati. Oh, ia benar-benar tak mengerti, sungguh. Ada banyak sekali
pertanyaan yang menumpuk dalam pikirannya—menunggu untuk dijawab.
Namun sayang, ia samasekali tak mampu untuk menjawab seluruh pertanyaan itu. Andai saja ada orang yang bisa menjelaskan semua yang sudah terjadi padanya. Tapi sepertinya tak ada yang bisa menjelaskannya.
Namun sayang, ia samasekali tak mampu untuk menjawab seluruh pertanyaan itu. Andai saja ada orang yang bisa menjelaskan semua yang sudah terjadi padanya. Tapi sepertinya tak ada yang bisa menjelaskannya.
“Hah, apa yang harus kulakukan?” gumam gadis itu. Ia menatap
boneka Teddy Bear terbesar yang ia miliki. “Apa yang harus aku lakukan? Terima?
Atau menolaknya?” tanyanya lagi kemudian pada benda mati tersebut—lebih kepada
dirinya sendiri.
Beatrice mengambil boneka tersebut, mendesah sejenak,
kemudian melemparkan Teddy Bear tersebut ke sembarang tempat dengan kasar. Ia
sangat kebingungan saat ini. Sepertinya baginya persoalan ini jauh lebih rumit
dari soal-soal Matematika terumit yang pernah ia pelajari di sekolah. Yah,
mungkin hanya untuk saat ini.
Untuk kesekian kalinya Beatrice memejamkan matanya. Lagi,
lagi, dan lagi. Ia sangat kebingungan. Ah, dia masih terlalu ‘kecil’ untuk
masalah seperti ini.
Jadi karena itu? Karena itukah semua tingkah anehnya padanya
selama ini? Karena dia suka pada Beatrice?
Beatrice kembali memejamkan matanya entah untuk keberapa
kalinya. Terus terang, ia tak suka
memejamkan mata, kemudian membukanya lagi. Begitu terus, sampai-sampai membuatnya bosan sendiri. Ia kembali mengingat-ingat semua kejadian yang terjadi padanya.
memejamkan mata, kemudian membukanya lagi. Begitu terus, sampai-sampai membuatnya bosan sendiri. Ia kembali mengingat-ingat semua kejadian yang terjadi padanya.
Akhirnya Beatrice bangkit—menjauhkan tubuhnya dari tempat
tidurnya yang empuk dan melangkahkan kaki ke kamar mandi. Ia berharap sentuhan
air dingin dari shower yang sebentar
lagi akan mengguyur tubuhnya dapat menghanyutkan kebingungan yang ia rasakan
saat ini.
***
Sudah 5 hari berlalu sejak kejadian itu. Ya, kejadian aku
menembak Beatrice karena permainan ‘Truth or Dare?’ yang gila dan konyol
itu—kurasa. Namun sayang, tak ada perkembangan apapun. Yang ada malah ia
menghindariku. Ya, itu benar. Dan keadaan itu benar-benar tak membuatku nyaman.
Kapan dia menjawabnya? Aku ingin jawabannya datang dengan
segera, sungguh. Namun, kurasa aku masih harus menunggu lebih lama lagi. Oh,
ini benar-benar melelahkan. Bukankah menunggu itu melelahkan?
Membosankan? Semuanya pasti setuju denganku. Aku yakin itu. Sangat yakin, malah.
Membosankan? Semuanya pasti setuju denganku. Aku yakin itu. Sangat yakin, malah.
“Jeremy!”
Aku hanya diam—tak merespon panggilan itu. Siapapun yang
memanggil, aku tak peduli. Aku ingin sendiri saat ini—merenungkan semuanya.
“Hey, Jeremy Kim!” kali ini orang itu menepuk
pundakku—berhasil membuat lamunanku buyar dalam sekejap. Satu lagi, membuatku
dengan sangat terpaksa harus memperdulikan panggilan itu. Panggilan yang sudah
kuketahui sebelumnya. Aku sangat mengenal suara itu. Tapi sayang, aku tahu
namun aku tak mau tahu.
“Kau ini, melamun saja,” tegurnya sambil mengambil tempat
duduk di sebelahku. “Apa yang sedang kau pikirkan, hm?”
“Kau tak perlu tahu,” jawabku malas.
“Hey, aku ingin bicara denganmu,” katanya lagi seolah-olah
tak perduli dengan reaksi yang kuberikan barusan. Aku hanya diam—menunggunya
melanjutkan bicara.
“Tentang jawabanku.”
Aku hanya diam. Aku tak peduli lagi. Aku lelah.
“Hey, bisakah kau menoleh ke arahku? Aku ini sedang bicara
denganmu!” Ujarnya.
Lagi-lagi dengan sangat terpaksa aku harus menoleh ke
arahnya.
“Hey, jangan tatap aku seperti itu!” katanya kesal karena
aku menatapnya malas sambil mengernyitkan kening.
“Mmm-hmm,” gumamku malas. “Lalu?”
“Apa kau serius denganku?” ia menatapku dengan sangat
serius.
“Ya, sangat serius,” jawabku jujur.
“Kenapa, Jeremy? Kenapa?”
“Karena..” aku menhela napas. “Karena kau berbeda. Kau punya
satu perbedaan yang sangat menonjol dari anak-anak lain. Bukan karena kau
pendek. Kau pasti sudah mengetahuinya. Asal kau tahu, aku mau menerima itu.
Jadi? Bagaimana?”
Beatrice terdiam seketika mendengar jawabanku. Ia tak berani
menatapku.
“Hey,” aku memanggilnya. “Bagaimana? Kau ingin memberi
jawaban, bukan?”
“Yeah,” akhirnya ia menatapku. “Jawabanku adalah..” ia diam
sejenak. “Aku mau.”
“Terimakasih,” kataku sambil tersenyum. Aku benar-benar lega
sekarang. Sungguh.
Beatrice mengangguk mengiyakan. “Terimakasih karena kau mau
menerima kekuranganku, Jeremy.”
END
Comments
Post a Comment