Aruite Ikou

“Hanya ada dua jenis manusia di dunia ini,” kata paman. Suaranya berat, dipenuhi kantuk akibat obat yang diminumnya. “Orang yang bangkit dari masa lalunya dan orang yang tenggelam dalam masa lalunya.”
Kau menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Kau menyesap kopimu yang tinggal seperempat penuh. Entah mengapa, kata-kata paman yang telah meninggal satu setengah tahun lalu terus terngiang-ngiang di telingamu beberapa hari ini.
Kau menyesap kopimu lagi, kali ini hingga tak bersisa, lalu meletakkan cangkirmu di meja. Kau melangkahkan kakimu ke kamar dan merebahkan tubuhmu di tempat tidur. Kaupejamkan matamu, diam-diam berpikir sedekat apa hubungan antara kau dan pamanmu hingga kata-katanya terus-menerus terngiang-ngiang di telingamu. Dan kau tahu benar kau dan dia tidak sedekat itu. Tidak sedekat itu hingga kalian bisa sering meluangkan waktu untuk sekadar mengobrol, terlebih bertukar pikiran hingga sedalam itu. Tidak sedekat itu.
Matamu sedikit terbuka. “Orang yang tenggelam dalam masa lalunya, ya?” gumammu pelan. Kau tersenyum miring ketika menyadari bahwa—terlepas dari untuk apa kalimat itu diucapkan—kalimat itu ditujukan untukmu.
Tidak. Kalimat itu tidak ditujukan untukmu.
Tidak. Kalimat itu ditujukan untuk menyindirmu.
Tidak. Kalimat itu membuatmu merasa tersindir.
Karena kau tahu benar siapa dirimu. Kau begitu mengenal dirimu sendiri. Kau adalah seorang penyimpan. Penyimpan masa lalu.

***

Hari ini hujan. Kini kau duduk di depan mejamu, dengan segelas Iced Americano dan ratusan baris kode pemrograman web di laptopmu. Kata orang, kau memang sedikit aneh—kau lebih suka menikmati minuman dingin saat hujan. Entah apa yang ada di kepalamu hingga kau mempunyai kebiasaan yang kurang wajar semacam itu.
Kau meneguk kopimu, membaca barisan kode itu sekilas, lalu mengalihkan pandanganmu ke jendela yang permukaannya dialiri air hujan. Kau mendesah pelan, diam-diam bertanya-tanya bagaimana ia sekarang. Bagian dari masa lalumu.
“Bernostalgia, hm?”
Kau menoleh dan mendapati laki-laki itu, entah sejak kapan, sudah berdiri di belakangmu, dengan secangkir kopi di tangan. Ia duduk di sampingmu. “Americano,” katanya sambil mendorong pelan cangkir itu ke arahmu.
Kau meliriknya sekilas dan mendorong cangkir itu ke arahnya. “Iced Americano lebih baik.”
Laki-laki itu meraih cangkir dan segera menyesap isinya. Keheningan pun menyelinap di antara kalian. Hanya ada suara rinai hujan yang masih terus memukul-mukul tanah, yang kini diikuti dengan kilat bersabung dan petir menggelegar tanpa ampun.
“Hei,” gumammu pelan, memecahkan gelembung keheningan yang tercipta selama dua setengah menit. Ia hanya menoleh sebentar, lalu kembali menatap jendela sebagai jawaban. Jadi, kau pun melanjutkan, “kau … kau pernah punya masa lalu, bukan?”
“Bahkan bayi yang baru lahir satu detik yang lalu pun punya masa lalu.”
Kau mengangguk dan meneguk kopimu. “Aku … selalu mengingatnya,” katamu. “Aku selalu teringat akan dia saat hujan. Teringat akan dia. Jaketnya.” Kau terdiam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, “dan tatapannya.”
Laki-laki itu hanya diam. Kau pun melanjutkan lagi. “Aku selalu bertanya-tanya apakah ia baik-baik saja. Apakah ia makan dengan baik. Dan, apa ia mengingatku.” Kau terdiam, menatap pinggiran gelas kopi dengan tatapan kosong. “Aku selalu mengingatnya. Aku selalu menyimpannya dalam hatiku dan mengingatnya dalam doaku,” ujarmu. Kemudian kau menyandarkan punggungmu di sandaran kursi dan berkata sambil tersenyum miring—mungkin kau ingin mengejek dirimu sendiri. “Tapi, ia tidak.”
“Jadi?”
“Aku rela terluka karenanya,” katamu. “Aku benar-benar menyedihkan, bukan?”
“Semua orang di dunia ini akan terlihat menyedihkan ketika ia patah hati,” ia kembali buka suara. “Mungkin tidak di luar, tetapi di dalam sana, lukamu begitu rupa.”
“Aku bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal,” ujarmu lagi, memilih tidak mengacuhkan kata-katanya. “Selamat tinggal karena telah menjadi masa laluku, dan terima kasih karena telah menjadi bagian dari masa laluku,” katamu cepat ketika melihatnya yang menatapmu dari balik kacamatannya dengan dahi mengernyit.
Laki-laki itu mendengus. “Kau begitu menyayanginya?”
“Sepertinya,” katamu acuh tak acuh sambil tersenyum miring. “Mungkin karena aku belum menemukan yang lebih baik darinya.”
“Bukan,” selanya. “Kamu menemukannya, tapi kau tidak melihatnya. Tidak mau melihatnya.”
Kau menatapnya. “Kalau begitu, perlihatkan padaku. Aku ingin melihatnya.”
“Aku tahu satu cara termudah untuk melakukannya,” sahutnya. “terima kenyataannya, dan majulah ke depan.”
Kau mengangguk-angguk paham, lalu meneguk kopimu, yang esnya sudah mulai mencair.
“Bukan melupakan, karena bagaimanapun juga itu akan tetap menjadi kenangan,” lanjutnya. “Terima kenyataannya, majulah ke depan, maka kau akan menemukan yang lain.”
Kau mengangguk lagi seraya mematikan laptopmu. “Aku tidak akan kembali lagi. Hal yang mudah.”
“Bagus kalau kau menganggapnya begitu,” sahutnya. “Jadi, jangan bicarakan dia lagi.” Kali ini ia terdiam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, “Aku tak suka kau membicarakan dia, terlebih dekat-dekat dengannya. Aku cemburu.”
Tanganmu yang akan menutup laptop terhenti di udara. Kau menatapnya, yang balas menatapmu tanpa berkedip. Entah mengapa, kali ini kau merasa satu menit terasa sangat lama.
Tiba-tiba ia buka suara, “Lupakan saja. Anggap saja aku sedang mabuk.” Ia meraih gelasnya yang ternyata sudah kosong. “Kau sudah selesai, bukan?” tanyanya. Tanpa menunggu jawaban, ia meraih gelasmu dan meletakkannya di bak cuci piring.
Sementara ia mengenakan jaketnya, kau masih terus menatapnya. Kau mencoba menatap matanya, tetapi kau tak menemukan apa pun di sana. Sepertinya kau merasa bahwa kau harus mengatakan sesuatu. Apa pun.
“Sudah lewat waktunya bagi seorang gadis baik untuk tidur,” katanya. Tiba-tiba, ia mengacak-acak rambutmu, membuat matamu melebar karena kaget. “Aku pulang, ya?”
Kau harus mengatakan sesuatu. Apa pun. Apa pun.
Namun, hingga laki-laki itu hilang dari pandanganmu, tak satu kata pun keluar dari mulutmu. Hingga akhirnya, ketika kau berhasil menemukan suaramu kembali, hanya satu kata yang bisa kauucapkan.
“Bodoh.”


5 Januari 2018
Untuk bagian dari masa laluku

*Telah diterbitkan dalam antologi cerpen "Universe, I'm In Love!" bersama grup Indowriters.

Comments

Popular posts from this blog

It’s You