Untitled Part 4

Title : Untitled Part 4

Genre : Romance, Friendship

Notes : Hai! Ketemu lagi sama saya. Well, ini lanjutan dari cerpen Untitled! This is my masterpiece! Ini bukan FanFiction, tapi cerpen gaje hasil karya saya sendiri. Semoga suka yaa. Cerpen ini terinspirasi dari perasaan saya dan inspirator terhebat yang pernah ada yang pernah saya miliki (semua ide yang saya dapatkan selama ini itu karenamu!). Ide cerita ini murni dari pikiran saya. TIDAK PLAGIAT! So, don't copy-paste this story, okay? Jika ada kesamaan latar, nama, alur, dsb itu hanyalah kebetulan semata. Oh, maaf kalau judulnya tidak sesuai dengan cerita, karena saya nggak pintar buat judul. Maaf juga kalau part ini terlalu pendek buat kalian, saya akan membuatnya sepanjang yang saya bisa. Dibutuhkan saran dari kalian para readers semuanya agar saya bisa menulis lebih baik lagi, karena saya masih pemula dalam dunia tulis-menulis. Thank you and Happy reading!


***
This story is dedicated to someone who has "stolen" my heart with his charm, and also to my best inspirator ever. Thank you for everything you've done to me, dear.

 *** 

“Kenapa kau ini?”

“Apa maksudmu?”

“Kau membentaknya, mengusirnya, dan mengentakkan kakimu di depannya. Mencarinya hanya saat kau butuh. Apa-apaan kau ini? Kalau kau tak menyukainya, cukup jauhi dia, jangan memperlakukannya seperti itu.”

Lawan bicara orang itu tertawa, seolah-olah kata-kata orang itu lucu baginya. Ia mendengus, dan menatap orang itu tanpa ekspresi. “Aku hanya kasihan padanya, kau tahu?”

“Apa? Katakan sekali lagi.”

“Aku yakin kau tidak tuli, tapi kukatakan sekali lagi jika kau masih merasa belum jelas. Aku hanya kasihan padanya,” sahut lawan bicaranya santai dengan sebuah seringai. “Sudah jelas?”

Orang itu berdiri menatap sungai Yarra—sebuah sungai yang berada di sebelah selatan Victoria, Australia—yang ada di depannya, yang saat ini bagaikan kaca besar berwarna hitam pekat di malam hari ini—begitu tenang. Berusaha mencerna kalimat lawan bicaranya.

“Apa memang seperti ini sifatmu? Kau terlalu mudah mengatakannya,” kata orang itu tajam, tak sedikitpun menatap lawan bicaranya. “Kau menganggapnya sepele.”

Kali ini lawan bicaranya melangkahkan kaki mendekat ke arahnya, berdiri tepat di sebelahnya, menatap Sungai Yarra. “Lalu apa? Apa urusanmu, William?”

William menoleh, menatap lawan bicaranya lekat-lekat. Rasanya ia ingin sekali menenggelamkan lawan bicaranya di sungai Yarra, sungguh. Ia yakin udara musim gugur tahun ini cukup mampu membuat lawan bicaranya itu mati beku—atau setidaknya kedinginan— di dalamnya. Rasanya ia ingin sekali menendang orang itu dengan jurus-jurus taekwondo, yang untungnya—atau sialnya?—belum seberapa ia kuasai. Tapi sekali lagi, William cukup yakin jurus-jurus taekwondo yang ia kuasai cukup mampu membuat lawan bicaranya terkapar dengan hidung patah.

Oh, lihatlah, ia begitu percaya diri, bukan? Sangat percaya diri.

Bolehkah ia melakukan itu? Tidak? Oh, sayang sekali.

Tara akan mengamuk jika tahu sahabat laki-lakinya menyentuh orang ini. Bahkan Tara pun tidak tahu kalau ia bisa taekwondo. Oh, bahkan tendangannya pun masih lemah.

Terlalu percaya diri adalah sebuah kesalahan.

William mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat dalam saku celananya, menahan dinginnya udara. Tidak. Menahan diri agar tidak menyentuh lawan bicaranya.

“Kau berkata kau kasihan padanya, dan apa yang kau lakukan adalah salah satu bentuk dari rasa kasihanmu, begitu? Lucu sekali,” William tertawa mengejek. “Dan apa katamu? Apa urusanmu? Apa urusanmu?” William tetap terlihat tenang, tapi ia marah—oh, jangan tanyakan padanya mengapa ia marah. Ia menghembuskan napas keras-keras, menahan desakan yang makin kuat untuk menendang orang ini ke sungai Yarra. “Kau sudah tahu apa urusanku, dan kau masih bertanya?”

Lawan bicaranya tersenyum. “Apa? Kau ingin mengamuk pada seniormu?”
 
“Simpan senyummu itu, senior,” kata William. “Kalian semua bodoh. Kalian berdua bodoh.”

“Aku tidak bodoh.”

“Kau bodoh, dan dia juga. Ingat itu baik-baik,” sela William tajam.

“Apa maumu?”

“Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu,” tukas William. Ia semakin marah, tapi ia tetap tenang—ya, dia memang terlalu tenang. Ia berpikir bagaimana cara terbaik untuk membuat Tara menjauh dari orang ini. Tidak mungkin jika ia harus menyentuhnya, bukan?

“Mauku?” tanya lawan bicaranya sambil menyeringai. Tentu ia tahu apa yang ia inginkan. “Aku ingin mendapatkan hatinya semudah mungkin.”

“Dan memainkannya sesuka hatimu?”

Lawan bicaranya terdiam. Ia hanya memandang sungai Yarra dalam diam.

“Kenapa kau diam? Kau tak bisa menjawabnya?” tanya William, memecah keheningan. “Kau tidak cukup pintar untuk seorang Tara. Menjawab pertanyaan yang sebenarnya mudah saja kau tak bisa.” Oh, William tahu, pertanyaanya memang mudah. Terlalu mudah hingga dapat membuatmu terkecoh. Terlalu mudah hingga tak dapat dijawab.

“Apa jawabanmu,” lawan bicaranya menghela napas sebelum akhirnya melanjutkan, “kalau pertanyaan itu diajukan untukmu?”

William menatap sungai Yarra tanpa ekspresi. “Aku tidak tahu. Jadi aku bertanya padamu,” katanya. “Jangan katakan kau juga tidak tahu apa jawabanmu.”

“Dia sering membicarakanmu,” ujar lawan bicaranya pelan, masih memandang sungai Yarra.

William tertawa, setengah mendengus. “Bodoh. Dia sering membicarakanmu.”

“Dia berkata kalau dia menyukaimu.”

Kali ini William tertegun. Ia menatap lawan bicaranya dengan tatapan aneh. Apa ini? “Dia berkata kalau dia menyukaimu.”

Lawan bicaranya menoleh, juga menatap William dengan tatapan aneh. Apa ini? Apa maksudnya? Apa Tara menyukai dua orang sekaligus?

William menghembuskan napas berat. Ia samasekali tak mengerti dengan jalan pikiran Tara. Jangan katakan—tolong jangan katakan—Tara benar-benar menyukai dua orang sekaligus. 

Tentu saja tidak, William mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ia mendengus, tertawa mengejek, dan berkata, “Bodoh. Kau ini lucu sekali,” William menatap laki-laki itu dengan tatapan jenaka. “Mana mungkin dia menyukaiku.”

“Oh, percayalah padaku. Ia selalu mengatakan itu di depanku.”

William tersenyum kecil. “Kau cemburu?”

Laki-laki itu menggeleng. “Tidak.” Melihat William mengernyit, laki-laki itu melanjutkan, “Aku sudah memiliki yang lain.”

William menatap laki-laki yang berdiri di hadapannya datar, kemudian ia tersenyum samar. “Bagus,” katanya.

“Ya, sangat bagus. Dia sangat cantik.”

“Aku tak ingin tahu bagaimana rupa pacarmu,” sahut William santai. William mengalihkan pandangannya ke sungai Yarra dan tersenyum samar.

Ya, laki-laki itu benar. Ini sangat bagus.

***

William menatap gadis yang duduk di depannya. Gadis itu masih menatapnya dengan mata melebar kaget, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. 

“Sparing?”

“Ya,” kata William. 

Oh, tentu saja William menyadari Tara tak bisa taekwondo. William tahu itu. Ia sendiri tak tahu mengapa ia mengajak gadis itu sparing taekwondo. Ini jelas bukan bagian dari rencananya untuk menjauhkan Tara dari laki-laki itu.

Tapi, sudahlah, semuanya sudah telanjur. Mau tak mau William harus meneruskannya. Ia sendiri yang memulainya, bukan?

“Well, apa kau bisa taekwondo?”

“Kau meremehkanku rupanya,” William tertawa kecil. “Aku baru saja sparing siang tadi. Bagaimana? Kau mau?” kata William sedikit menyombongkan diri.

“Dan bagaimana denganmu?” Tara menatapnya dengan tatapan penuh tanya. Dahinya berkerut.

“Apa? Aku?”

“Ya, kau. Apa kau menang?” Tara masih menatap William dengan tatapan penuh tanya. Oh, dia benar-benar polos. Atau berpura-pura polos?

William menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tak terasa gatal. “Kalah telak,” katanya. “Bahkan tendanganku saja masih lemah,” kini ia menatap Tara sambil tersenyum malu.

Jawaban itu membuat Tara menatap William datar. “Kau kalah telak dan kau masih ingin sparing denganku?”

William tersenyum. “Well, tak masalah, bukan?” Kilat jenaka terlihat jelas di matanya. “Aku masih bisa berlatih. Jadi, kau mau?” katanya. “Ayolah.”

Tara tertawa pelan melihat sahabatnya yang sedikit memaksa. “Kurasa aku punya ide yang lebih bagus.”

Mata William melebar, menatap Tara dengan rasa ingin tahu. Tapi ia tak mengatakan apapun. Walaupun begitu, Tara memutuskan untuk melanjutkan.

“Bagaimana kalau kau sparing dengannya saja?”

William mengernyit. “Siapa?” William tahu, pertanyaannya itu adalah pertanyaan bodoh. Tapi, siapa yang peduli?

William melihat mata gadis itu melebar, dan gadis itu menjawab dengan gembira. “Dia.”

Sial, sial, sial.

Oh lihat, bahkan William sudah mengumpat lagi sekarang.

Tentu saja William sudah tahu siapa orang yang Tara maksud, bahkan sebelum Tara mengatakannya. Dan sosok laki-laki tinggi, lumayan tampan, dan berkulit putih yang ditemuinya semalam kembali melintas di otaknya. Percakapan semalam kembali terngiang-ngiang di telinganya, mencoba menginterupsi jalan pikirannya.

Aku hanya kasihan padanya. 

Mauku? Aku ingin mendapatkan hatinya semudah mungkin.

Apa jawabanmu kalau pertanyaan itu diajukan untukmu?

 Dia berkata kalau dia menyukaimu. Oh, percayalah padaku. Ia selalu mengatakan itu di depanku.

William memandang Tara dengan pandangan kosong. Apa? Apa yang bisa ia lakukan untuk menjauhkan Tara dari laki-laki itu?

Seolah tersadar dari lamunan dan terpaksa kembali ke kehidupan nyata, William mengerjapkan matanya, kemudian berkata, “Oh, dia lagi?” katanya dengan nada malas-malasan. “Jangan bicarakan dia lagi.”

Mata Tara melebar mendengarnya. William yakin, Tara kebingungan. William mengira Tara akan bertanya mengapa, tapi ternyata yang ia dengar adalah, “Kau benar.”

William menatap Tara tanpa berkedip. Tara mengangguk, menegaskan kalau William tidak salah dengar.

“Kau benar,” tegas Tara sekali lagi. “Seharusnya aku tidak membicarakannya, tidak mengingatnya lagi,” lanjutnya dengan nada melamun. 

“Tara,” kali ini William merasa bersalah. “Aku tidak—“

“Tidak, kau benar.”

“Tara,” kali ini suara William sedikit meninggi, tapi ia tetap berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Rasa bersalah semakin menyelimutinya, bahkan hingga serasa mencekiknya. “Aku tidak ingin kau kecewa.”

“Nyatanya aku sudah kecewa.”

“William membuka selimutnya. Udara musim gugur Australia segera menyapa kulitnya, tapi ia tak peduli. “Apa ada yang kulewatkan?” tanyanya sambil mengernyit.

“Tidak ada,” sahut Tara pelan, masih dengan nada melamun. “Semuanya masih tetap sama.”

Oh, bahkan kini Tara sama sekali tidak menatapnya. Gadis itu malah menatap langit malam Australia dengan tatapan kosong. Gadis itu terlihat tidak berjiwa. Tidak bernyawa. 

Tidak, tidak. Gadis itu hidup, tetapi jiwanya mati. 

William baru saja hendak mengatakan sesuatu, tetapi tiba-tiba Tara melangkahkan kakinya dan keluar dari kamar. William ingin memanggilnya, tapi rasa bersalah itu kembali hinggap di hatinya, seolah ingin berkata bahwa ia baru saja melakukan kesalahan.

Ia hanya bisa menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Sama sekali tidak menolong, bukan?

***
 
 Gimana? Berikan kritik dan saran yaa. Thanks buat yang sudah mau baca.

Comments

Popular posts from this blog

It’s You