Gone

Title : Gone

Genre: Maybe Bromance. I don't know for sure.

Note: Hi! Setelah lama tidak menulis di blog ini, kini aku kembali dengan sebuah cerpen sepanjang dua halaman. Semoga kalian suka. Say NO to a plagiator. Maaf kalau ada kesamaan nama, latar, dsb; itu hanya kebetulan. Karya ini murni hasil karya saya. Happy reading and Hope you like!

***


Apa kau masih bisa menerima jika kau kehilangan orang yang bahkan tak pernah kau lihat sebelumnya? –Gone.
***

“Apa?!”

Aku menatap Mama tak percaya. Apa katanya?

Aku akan punya adik? 

“Ya, kamu akan punya adik, Erica,” kata Mama dengan tenang. “Kamu akan punya adik.”

Aku menghembuskan napas berat, sementara adikku, Jessie, bersorak gembira. “Apa? Jessie mau punya adik? Wahh asyik! Jessie mau punya adik! Nanti Jessie akan mengajaknya bermain, Jessie akan mengajaknya menonton televisi bersama, Jessie akan—“ aku memutar bola mataku mendengar kata-kata adikku yang tak ada hentinya. Masih banyak Jessie akan yang ia lontarkan, tap aku tak peduli. Aku menatap Mama sekali lagi, meminta satu penegasan bahwa ini bukan mimpi. 

Sayangnya, ini kenyataan, Erica. Bukan mimpi.

Yang benar saja, apa kata teman-temanku nanti? Kau tahu berapa umurku? Tujuh belas tahun. Apa kata mereka kalau mereka tahu? Mereka akan mengira dia adalah anakku, dan bukannya adikku. Lagipula, sudah cukup bagiku memiliki seorang adik seperti Jessie—adikku yang terpaut sepuluh tahun dariku—yang nakalnya minta ampun, yang selalu ribut dan mencari masalah denganku setiap harinya di rumah. Hampir setiap harinya kami selalu bertengkar. Itu artinya suasana rumah selalu ribut, tak pernah damai. Dan sekarang akan ada seorang adik lagi. Keributan di rumah akan semakin sering, dan aku ragu apa aku bisa mengatasinya atau tidak. Untuk saat ini aku mampu, tapi nanti? Dua lawan satu. Tentu aku akan kalah telak.
Aku benar-benar tidak ingin punya adik, sungguh. 

***

Kini sudah satu bulan berlalu sejak kejadian itu. Dan kini, entah bagaimana aku bisa menerima kehadiran calon adikku. Bahkan, aku sudah tak sabar lagi menunggu kelahirannya, yang tentu saja masih lama sekali, karena ini masih bulan Maret. Jangan tanyakan padaku bagaimana bisa aku menerimanya secepat ini, karena aku tak tahu. Semuanya mengalir begitu saja. Bisa karena terbiasa, bukan? 

“Pa, anaknya nggak ada!”

Aku langsung menoleh dari layar laptopku. Di bawah. Rupanya Mama sudah pulang dari dokter. Tapi apa itu tadi? Nggak ada? Apa maksudnya? 

Aku menuruni tangga karena penasaran, dan segera melihat Mama menangis di pelukan Papa.

“Nggak ada? Nggak ada bagaimana?”

“Ya anaknya nggak ada, Pa. Anaknya meninggal.” Jerit Mama. “Anaknya gugur.”

Nggak ada? Gugur? Meninggal? Adikku?

Ini pasti bohong. Pasti. Mama pasti bohong. 

Sayangnya, sepertinya tidak. Mama masih terus menangis, dan Papa sibuk menenangkan. Aku masuk ke kamar, dan mencoba mencuri dengar pembicaraan orang tuaku diam-diam. Calon adikku gugur karena adanya kelainan yang membuatnya tak bisa bertahan hidup lebih lama dalam kandungan. Jika bisa bertahan, paling lama hanya tiga bulan. Jika ia bisa lahir, kemungkinan ia akan lahir cacat. Itu yang dapat kusimpulkan dari pembicaraan mereka.

Aku terdiam, memandang langit-langit kamarku dengan tatapan kosong. Aku benar-benar sedih dan menyesal, kau tahu? Sedih karena meninggalnya adikku, dan menyesal karena aku pernah menolaknya. Berbagai pertanyaan timbul dalam pikiranku. Kenapa ini harus terjadi? Apa Tuhan lebih memilih menuruti keinginan awalku? Kenapa semua ini harus terjadi justru di saat aku sudah bisa menerimanya? 

Tak terasa air mataku menetes dengan sendirinya, tapi aku tak peduli. Air mataku menetes makin deras, dan aku tak berusaha menghapusnya. Aku berusaha keras agar isak tangisku tak terdengar. Aku teringat dengan semuanya. Semuanya. Kau tahu, aku sering berkhayal bagaimana adikku jika ia sudah besar. Pasti ia setampan Papa. Pasti asyik jika aku curhat padanya, lebih asyik daripada curhat dengan sahabat laki-lakiku. Pasti menyenangkan memiliki seseorang yang bisa melindungimu, menjagamu. Itu semua kelihatannya menyenangkan, bukan?

Tapi aku tahu, itu semua takkan pernah terwujud. Tidak akan. Ia takkan pernah datang. Dan aku takkan pernah bisa melihatnya. Aku bertanya-tanya dalam hati, bolehkah aku meminta satu kesempatan untuk bertemu dengannya, melihatnya sekali saja? Bolehkah aku mengatakan sesuatu padanya? 

Sungguh, aku ingin menganggap semua ini hanyalah mimpi. Dan ketika aku terbangun, semuanya kembali berjalan normal seperti semula, seolah-olah ini semua tak pernah terjadi dalam hidupku. Bolehkah aku melakukannya? Bisakah aku melakukannya? Tidak?

***

Aku bangun dari tidurku dengan perasaan yang sudah lebih tenang, walaupun masih ada banyak pertanyaan di pikiranku, dan kekecewaan. Aku mencoba tersenyum dan menghadapi duniaku sekali lagi. Kupandang langit yang cerah dengan senyum di wajah.

Dan aku merasakan adikku tersenyum dari surga padaku.


The END


 ***

This story is dedicated to my beloved younger brother. I love you so very much, dear.


Gimana? Jelek? Feel-nya dapat? Saya membutuhkan kritik dan saran dari kalian semua, karena saya masih pemula. Thank you for reading!

Comments

Popular posts from this blog

It’s You