Untitled Part 1

Title : Untitled

Genre : Romance, Friendship

Notes : Hai! Ketemu lagi sama saya. Ini adalah cerita saya yang pertama di tahun ini yang saya publish setelah sekian lama tidak membuat postingan. Ini bukan FanFiction, tapi cerpen gaje hasil karya saya sendiri.
Semoga suka yaa.Cerpen ini terinspirasi dari perasaan saya dan inspirator terhebat yang pernah ada yang pernah saya miliki (semua ide yang saya dapatkan selama ini itu karenamu!). Ide cerita ini murni dari pikiran saya. TIDAK PLAGIAT! So, don't copy-paste this story, okay? Jika ada kesamaan latar, nama, alur, dsb itu hanyalah kebetulan semata. Oh, maaf kalau judulnya tidak sesuai dengan cerita, karena saya nggak pintar buat judul. Maaf juga kalau cerita ini terlalu pendek buat kalian, saya akan membuatnya sepanjang yang saya bisa. Dibutuhkan saran dari kalian para readers semuanya agar saya bisa menulis lebih baik lagi, karena saya masih pemula dalam dunia tulis-menulis. Thank you and Happy reading!

***

This story is dedicated to someone who has “stolen” my heart with his charm. Thank you for all you’ve done to me, dear.

***

Tara.. Tara..

Aku menoleh ke arah suara. Aku menoleh ke kanan, kiri, dan belakang, mencoba mencari sumber suara itu. 

“Stella,” panggilku pelan. “Kau memanggilku tadi?”

“Hm?” gumam Stella, lalu menoleh ke arahku dengan kening berkerut tak mengerti. “Memanggilmu? Tidak.”

“Aneh,” gumamku lirih. “Aku yakin tadi ada yang memanggil namaku.”

“Mungkin hanya perasaanmu saja,” ujar Stella. “Kau terlalu banyak bekerja dengan komputermu, terlalu sibuk dengan naskah-naskah novelmu, dan terlalu sibuk dengan khayalanmu yang aneh. Jadi kau berhalusinasi mendengar seseorang memanggilmu, padahal tak ada samasekali.” lanjutnya lagi. “Kau butuh istirahat.”

“Tapi..” aku mencoba membantah pendapat Stella, tapi aku tak bisa menemukan argumentasi yang tepat untuk melawan.

“Kau hanya butuh istirahat, Tara. Hanya itu.”

“Hello, dear. Apa yang sedang kalian gossipkan, hm?”

Aku dan Stella menoleh ke arah pintu, dan melihat William sedang berdiri sambil tersenyum menatap kami. 

“Kenapa kau ingin tahu?” Stella balik bertanya sambil mengerling lucu kepada laki-laki itu.

William hanya tersenyum menanggapi reaksi Stella. “Kalian mau cheese cake?” tanyanya sambil mengacungkan satu plastik bening besar yang berisi sekotak besar cheese cake

“Kami tak akan menolak, kau tahu?” jawabku sambil mengambil plastik tersebut, berjalan ke dapur, dan mengeluarkan isinya.

Lagi-lagi William hanya tersenyum dan berkata, “Atau hanya kau?” tanyanya dengan tatapan menggoda ke arahku.

“Kau mengenalku dengan baik,” kataku dengan senyum mengembang sambil memotong-motong cheese cake menjadi tiga bagian yang cukup besar dan meletakkannya di tiga piring kecil.

Kini kami—aku, Stella, dan William—duduk di meja makan dengan cheese cake kami masing-masing sambil mengobrol. “Darimana kau mendapatkan cheese cake seenak ini? Ini benar-benar enak, kau tahu?” Tanya Stella sambil mengunyah bagiannya.

“Sangat enak,” tambahku sambil membersihkan ujung bibirku dari krim yang menempel.

“Tentunya aku membelinya di toko kue,” kata William menjawab pertanyaan Stella. “Masih ada yang mau lagi?” tanyanya sambil memandang kami, lalu beralih ke cheese cake yang kini tinggal seperempat potong.

“Tidak, kau saja,” ujarku sambil mendorong piringku yang sudah kosong menjauh ke depan. 

“Sebenarnya aku masih ingin, tapi perutku sepertinya sudah tak muat lagi,” sahut Stella.

“Untukku?” Tanya William lagi.

“Ya,” jawabku dan Stella bersamaan. 

Mendengar jawaban kami, William tersenyum senang dan mengambil potongan cheese cake terakhir. Ia menyantapnya dengan penuh semangat. Matanya berbinar-binar. 

Yeah, satu cheese cake ukuran besar habis dalam semalam, hanya oleh tiga orang. Hebat, bukan?

***

Ayolah, pejamkan matamu, kataku dalam hati sambil mencoba memejamkan mata. Tanpa hasil. Mataku kembali terbuka. Aku mencoba sekali lagi. Gagal. Aku tak bisa tidur.

Tara.. Tara..

Aku terbangun karena kaget ketika mendengar suara itu. Lagi-lagi. Aku mendengar seperti ada seseorang memanggil namaku. Aku mendengarnya dengan jelas. Sangat jelas.

Apa aku hanya berhalusinasi?

Aku melirik Stella yang tertidur pulas, kemudian melirik jam. 11:00 PM.

“Huh,” desahku. Aku bangkit dari tempat tidur dengan hati-hati agar tak membuat Stella terbangun dan berjalan keluar. Lebih baik bagiku bercerita pada William, daripada memendamnya sendirian. Semoga saja dia belum tidur.

“William,” panggilku saat aku sudah sampai didepan pintu kamarnya yang tertutup. Kulihat lampu kamarnya masih menyala. Dia belum tidur.

Beberapa menit kemudian, pintu kamarnya terbuka. “Tara?” bisiknya kaget. “Ada apa?”

“Um.. Apa aku mengganggumu?”

“Tidak,” sahutnya. “Masuklah.”

Kini aku berada dalam ruangan dengan nuansa coklat tua yang menenangkan. Sepertinya ia sedang bermain games ketika aku memanggilnya tadi, terlihat dari tampilan games Call Of Duty yang nampak di layar monitor computernya. Lagu berjudul Moves Like Jagger yang dipopulerkan oleh Maroon 5 mengalun pelan memenuhi ruangan. Aku pun duduk di atas tempat tidur yang didominasi warna coklat.

“Kenapa kau belum tidur? Apa kau tak tahu ini sudah jam berapa?” tanyanya sambil menutup pintu kamar.

“Kau sendiri juga belum tidur. Kau malah asyik bermain games,” sahutku acuh tak acuh.

“Yang harus kau tahu,” ia buka suara. “Kau itu mudah sakit, sedangkan aku tidak. Jadi, kau seharusnya sudah tidur.”

Aku memutar bola mata karena kesal. “Oh, dan yang harus kau tahu, walaupun kau tak mudah sakit, tetap saja kau bisa sakit. Jadi, kau juga seharusnya sudah beristirahat sekarang.”

“Oh, baiklah, baiklah,” ujar laki-laki itu sambil mengangkat tangan kanannya tanda menyerah. Ia mematikan komputernya, kemudian duduk berhadapan denganku. “Ada apa, hm?”

Aku menghela napas perlahan. “Um.. Kau tahu, akhir-akhir ini, aku sering mendengar ada seseorang memanggil namaku,” aku mulai bercerita. “Tapi nyatanya tak ada seorang pun yang memanggiku.”


“Mmm-hmm,” gumam William sambil mengangguk-anguk tanda mengerti. “Apa ini sering terjadi?”

Aku berpikir-pikir sejenak sebelum menjawab. “Yah.. Cukup sering. Saat aku sedang melakukan sesuatu, bahkan saat aku sedang mencoba untuk tidur,” kataku—teringat dengan suara tadi.

William mengangguk-angguk mengerti untuk kedua kalinya. “Mungkin kau kelelahan,” ujarnya. “Kau kelelahan, sampai-sampai kau berhalusinasi mendengar seseorang memanggilmu,” katanya lagi.

Oh, lagi-lagi pendapat yang hampir sama. “Tapi—“

“Atau mungkin kau terlalu banyak pikiran,” ia menyela sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku. 

Kali ini aku berpikir-pikir lagi. Hm.. Sepertinya begitu. Aku menyadari akhir-akhir ini aku terlalu banyak pikiran. Memikirkan pekerjaan, naskah novel yang tak kunjung selesai, dan masih banyak lagi.

“Lagipula,” William kembali buka suara. “Akhir-akhir ini kau lebih pendiam dari biasanya, dan sering melamun.”

Aku menatapnya. Rupanya dia menyadarinya. 

“Benar, tidak?” Tanya William memecah keheningan yang sempat terjadi di antara kami selama beberapa menit. “Katakan padaku jika aku salah.”

Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan. “Kau benar-benar pintar,” pujiku. 

“Aku mengenalmu dengan baik, Tara,” sahutnya sambil tersenyum kecil. “Apa yang kau pikirkan? Tara, kalau kau ada masalah, kau bisa menceritakannya pada Stella atau padaku, kau tahu?”

“Yeah,” gumamku pelan. Aku menatapnya. “Aku hanya tak ingin merepotkan kalian.”

“Apa? Merepotkan?” tanyanya sambil mengernyit. “Tara, mungkin kami tak bisa banyak membantu. Tapi kami bisa mendengarkan. Itu samasekali tak merepotkan bagi kami.”

Aku hanya diam mendengar kata-kata William. Mau tak mau, aku harus mengakui kata-kata William memang benar.

“Jadi? Apa masalahmu?” tanyanya lagi. Aku hanya diam, menatap langit Melbourne pada malam hari dari jendela kamar dengan tatapan kosong. 

“Hey, biar kutebak. Kau memikirkan.. Dia?” ujarnya lagi karena aku tak memberinya satu jawaban pun. 

Well, kadang jika kita sudah mengenal seseorang begitu dekat dan lama, kita dapat menebak apa yang ada dalam pikirannya dengan mudah hanya dari bahasa tubuh dan raut wajah orang itu, tanpa perlu ada kata-kata yang terucap.

Dan aku hanya bisa mengangguk lagi sebagai jawaban.

William menghela napas panjang. “Tara, katakan padaku. Kau menyukainya?”

“Tidak,” sahutku cepat. Terlalu cepat.

William menatap mataku dan berkata, “Kau jangan membohongi dirimu sendiri.”

“Lebih baik membohongi diri sendiri daripada membohongi orang lain, bukan?”

“Yeah, aku tahu,” katanya, lalu menghela napas sebelum melanjutkan, “Tapi sampai kapan? Sampai kapan kau mau terus-menerus seperti ini?”

“Entahlah,” sahutku dengan nada melamun. “William, aku tak memiliki perasaan apapun padanya. Aku hanya menganggapnya sebagai teman yang baik. Percayalah padaku.”

“Ya, aku percaya padamu,” sahutnya. “Tapi aku tak ingin percaya lagi padamu kalau kata-katamu menyakiti dirimu sendiri, Tara,” katanya lagi sambil menyilangkan tangannya di atas dada.
 
“Apa maksudmu dengan ‘menyakiti dirimu sendiri’?”

“Maksudku,” William kembali menghela napas sebelum melanjutkan, “Mungkin awalnya kau merasa itu hal yang mudah. Tapi kalau kau terus-menerus melakukan hal itu, kau akan merasa jenuh. Aku yakin, jauh di dalam hatimu, sebenarnya kau menyukainya, bukan?”

“Tidak,” ujarku sambil menggeleng untuk menegaskan ucapanku.

Mendengar jawabanku, William menghembuskan napas keras-keras. “Lagi-lagi ‘tidak’,” gumamnya. “Sampai kapan kau seperti ini terus? Sampai kapan kau terus mengatakan ‘tidak’, dan kapan mulai mengatakan ‘ya’? Sampai kapan, Tara? Sampai kapan? Apa kau tidak lelah?”

“William,” desahku. “Bicara lelah, aku lelah, William. Sangat lelah. Aku juga tak mau seperti ini terus. Tapi, satu hal yang harus kau tahu, aku TAKKAN PERNAH mengatakan ‘ya’,” ujarku frustasi.

William menatapku lurus-lurus. Oh tidak. Aku terpaksa membuang muka, menghindari tatapan sahabat laki-lakiku itu sejak aku duduk di Junior High School.

“Kau begitu keras kepala, Tara,” ujar William dengan nada pelan dan jelas. 

“Aku tak peduli,” sahutku acuh tak acuh.

“Begini saja,” William mulai bicara lagi. “Untuk membuktikan apa kau menyukainya atau tidak, aku akan menanyakan beberapa hal.”

Apa lagi sekarang? Aku hanya diam mendengar kata-katanya barusan, mencoba menebak-nebak dalam hati apa yang akan ditanyakannya, dan bersiap-siap untuk menerima kemungkinan terburuk.

Tanpa menunggu reaksiku, William memulai idenya. “Apa kau merasa bahagia saat bersamaku?” tanyanya. “Wow, wow, tahan pikiranmu, Tara. Aku hanya memberi contoh dengan laki-laki lain selain laki-lakimu itu,” lanjutnya cepat karena aku menatapnya kaget. 

Aku mengabaikan kalimat terakhir William dan menjawab pertanyaannya. “Ya,” jawabku tanpa ragu.

“Apa kau pernah merasa bosan mengobrol denganku?”

“Tidak.” Kami tak pernah kehabisan bahan obrolan. 

“Apa jantungmu berdebar-debar dua kali lebih cepat saat aku menatapmu atau tersenyum padamu?”
Aku berpikir-pikir sejenak. Tidak. Rasanya biasa saja. “Tidak.”

“Hm..” gumam William mengerti. “Tunggu, apa kau menjawabnya dengan jujur?”

“Tentu saja,” ujarku dengan nada tersinggung.

“Okay, bagus. Sekarang aku akan bertanya lagi,” katanya. Aku menunggu pertanyaan selanjutnya.

“Apa kau merasa bahagia saat bersamanya?”

“Ya.”

“Apa kau pernah merasa bosan saat mengobrol dengannya?”

“William,” gumamku. “Kami sangat jarang mengobrol, bahkan bisa dikatakan hampir tidak pernah. Jadi aku tak bisa menjawabnya,” ujarku. Kami—aku dan laki-laki yang sedang kami bicarakan ini—memang sangat jarang mengobrol, seperti yang kukatakan tadi. Kami hanya bicara satu sama lain seperlunya saja.

“Seperti professional saja,” ujar William asal. Aku tersenyum setuju mendengar kata-katanya.

“Baiklah, pertanyaannya kuganti saja,” ia menghela napas sejenak, kemudian berkata, “Apa jantungmu berdebar dua kali lebih cepat saat dia menatapmu atau tersenyum padamu?”

Untuk kali ini aku berpikir. “Hm.. Kurasa tidak,” gumamku. “Tapi..”

“Tapi?” Tanya William sambil mengernyit ingin tahu.

Aku menghela napas sejenak sebelum melanjutkan, “Entah kenapa, aku merasa nyaman bersamanya. Di dekatnya aku merasa aman. Mungkin jantungku tidak berdebar dua kali lebih cepat saat dia menatapku atau tersenyum padaku, tapi aku merasa senang saat dia melakukan itu padaku,” ucapku. Kurasakan pipiku memanas. Oh, ada apa denganku?

“Wajahmu memerah,” kata William. Ia menyilangkan tangannya di atas dada. “Dan kau tersenyum saat mengatakan hal itu,” ia tersenyum, dan aku tahu senyum apa itu. Mengenal William sejak Junior High School membuatku dapat mengetahuinya dengan mudah.

Tunggu, apa katanya tadi? Aku tersenyum?

Benarkah?

“Ya, kau tersenyum, Tara. Bukan senyum terpaksa ataupun senyum sopan seperti yang kau tunjukkan akhir-akhir ini,” aku baru menyadari kalau aku baru saja menyuarakan pikiranku sendiri ketika mendengar perkataannya.

“Yeah, then the result is..” ujar William dengan nada puas sambil tersenyum penuh kemenangan kepadaku. “Kau pasti tahu apa maksudku tanpa harus kujelaskan lagi, jika kau memang mengenalku dengan baik.” 

***

Aku membuka mataku dengan susah payah. Rasanya mataku sangat berat untuk kubuka. Semalam—setelah obrolanku dengan William—aku samasekali tak bisa tidur, dan baru berhasil tidur saat jam menunjukkan pukul 03:30 AM. Itu artinya aku hanya tidur selama dua jam saja.

Tapi akhirnya aku berhasil bangun dan berjalan menuju kamar mandi dengan langkah pelan—ketika aku teringat dengan jadwalku yang sangat padat hari ini. 

Samar-samar kudengar suara orang bercakap-cakap. William dan Stella. Rupanya mereka sudah bangun. Aku pun memutuskan keluar dari kamar setelah berusaha menutupi lingkaran hitam dan kantung mata di mataku karena kurang tidur dengan make up yang tidak terlalu tebal. Kurasa itu sudah cukup untuk menutupi wajahku yang terlihat berantakan ini.

“Hey, kau sudah bangun rupanya,” sapa Stella sambil menyodorkan sepiring roti dengan selai cokelat serta segelas susu sebagai sarapanku. Aku hanya mengangguk sekenanya dan duduk di kursiku.

Oh my.. Astaga.. Kau terlihat kacau,” seru Stella kaget karena melihat wajahku. “Tidurmu tidak nyenyak semalam?”

“Yeah, aku tahu aku memang terlihat kacau,” sahutku sambil tertawa hambar—mengabaikan pertanyaan Stella. Bisa kurasakan William menatapku lurus-lurus—seperti yang biasa ia lakukan—namun ia samasekali tak mengomentari penampilanku yang kacau. Ia hanya menikmati sarapannya dalam diam.

Sarapan hari ini biasa saja, sama seperti sarapan-sarapan sebelumnya. Tak ada obrolan yang menarik. 

“Baiklah,” Stella melihat jamnya. “Kurasa aku harus pergi sekarang. William, jaga Tara baik-baik, oke?”

William hanya mengangguk sebagai jawaban, namun sayangnya Stella tak melihatnya. Ia menutup pintu keras-keras dan pergi.

Sepeninggal Stella, aku mengempaskan pantatku di sofa. “Kenapa selalu aku yang harus dijaga?” keluhku, teringat dengan pesan Stella pada William. “Kenapa bukan aku yang menjaga orang lain?”

William mengangkat kepala dari buku yang sejak tadi dibacanya dan menatapku. “Karena kau memang harus dijaga.”

“Kenapa? Apa karena aku terlihat lemah?”

“Kurasa tidak,” jawab William. “Kau hanya memang harus dijaga.”

Sebenarnya aku tidak puas dengan jawaban yang ia berikan, tapi aku diam saja.

“Hey,” panggil William, membuatku tersadar dari lamunanku. “Mau temani aku minum kopi?”

***
 To be Continued


Gimana? Jelek? Gak jelas? Feel-nya nggak dapat? Iya, benar. Tapi saya membutuhkan kritik dan saran dari kalian semuanya, karena itu saya harapkan kalian meninggalkan jejak di kolom komentar, okay? Terimakasih sudah mau baca cerpen gaje saya ini. Sekali lagi, terima kasih!






  

Comments

Popular posts from this blog

It’s You