Untitled Part 1
Title : Untitled
Genre : Romance, Friendship
Notes : Hai! Ketemu lagi sama saya. Ini adalah cerita saya yang pertama di tahun ini yang saya publish setelah sekian lama tidak membuat postingan. Ini bukan FanFiction, tapi cerpen gaje hasil karya saya sendiri.
Semoga suka yaa.Cerpen ini terinspirasi dari perasaan saya dan inspirator terhebat yang pernah ada yang pernah saya miliki (semua ide yang saya dapatkan selama ini itu karenamu!). Ide cerita ini murni dari pikiran saya. TIDAK PLAGIAT! So, don't copy-paste this story, okay? Jika ada kesamaan latar, nama, alur, dsb itu hanyalah kebetulan semata. Oh, maaf kalau judulnya tidak sesuai dengan cerita, karena saya nggak pintar buat judul. Maaf juga kalau cerita ini terlalu pendek buat kalian, saya akan membuatnya sepanjang yang saya bisa. Dibutuhkan saran dari kalian para readers semuanya agar saya bisa menulis lebih baik lagi, karena saya masih pemula dalam dunia tulis-menulis. Thank you and Happy reading!
Aku menghela
napas perlahan. “Um.. Kau tahu, akhir-akhir ini, aku sering mendengar ada
seseorang memanggil namaku,” aku mulai bercerita. “Tapi nyatanya tak ada
seorang pun yang memanggiku.”
Aku
berpikir-pikir sejenak sebelum menjawab. “Yah.. Cukup sering. Saat aku sedang
melakukan sesuatu, bahkan saat aku sedang mencoba untuk tidur,” kataku—teringat
dengan suara tadi.
Genre : Romance, Friendship
Notes : Hai! Ketemu lagi sama saya. Ini adalah cerita saya yang pertama di tahun ini yang saya publish setelah sekian lama tidak membuat postingan. Ini bukan FanFiction, tapi cerpen gaje hasil karya saya sendiri.
Semoga suka yaa.Cerpen ini terinspirasi dari perasaan saya dan inspirator terhebat yang pernah ada yang pernah saya miliki (semua ide yang saya dapatkan selama ini itu karenamu!). Ide cerita ini murni dari pikiran saya. TIDAK PLAGIAT! So, don't copy-paste this story, okay? Jika ada kesamaan latar, nama, alur, dsb itu hanyalah kebetulan semata. Oh, maaf kalau judulnya tidak sesuai dengan cerita, karena saya nggak pintar buat judul. Maaf juga kalau cerita ini terlalu pendek buat kalian, saya akan membuatnya sepanjang yang saya bisa. Dibutuhkan saran dari kalian para readers semuanya agar saya bisa menulis lebih baik lagi, karena saya masih pemula dalam dunia tulis-menulis. Thank you and Happy reading!
This story is dedicated to someone
who has “stolen” my heart with his charm. Thank you for all you’ve done to me,
dear.
***
Tara.. Tara..
Aku menoleh
ke arah suara. Aku menoleh ke kanan, kiri, dan belakang, mencoba mencari sumber
suara itu.
“Stella,” panggilku
pelan. “Kau memanggilku tadi?”
“Hm?” gumam
Stella, lalu menoleh ke arahku dengan kening berkerut tak mengerti.
“Memanggilmu? Tidak.”
“Aneh,”
gumamku lirih. “Aku yakin tadi ada yang memanggil namaku.”
“Mungkin
hanya perasaanmu saja,” ujar Stella. “Kau terlalu banyak bekerja dengan
komputermu, terlalu sibuk dengan naskah-naskah novelmu, dan terlalu sibuk
dengan khayalanmu yang aneh. Jadi kau berhalusinasi mendengar seseorang
memanggilmu, padahal tak ada samasekali.” lanjutnya lagi. “Kau butuh istirahat.”
“Tapi..” aku
mencoba membantah pendapat Stella, tapi aku tak bisa menemukan argumentasi yang
tepat untuk melawan.
“Kau hanya
butuh istirahat, Tara. Hanya itu.”
“Hello, dear. Apa yang sedang kalian gossipkan,
hm?”
Aku dan
Stella menoleh ke arah pintu, dan melihat William sedang berdiri sambil
tersenyum menatap kami.
“Kenapa kau
ingin tahu?” Stella balik bertanya sambil mengerling lucu kepada laki-laki itu.
William
hanya tersenyum menanggapi reaksi Stella. “Kalian mau cheese cake?” tanyanya sambil mengacungkan satu plastik bening besar
yang berisi sekotak besar cheese cake.
“Kami tak
akan menolak, kau tahu?” jawabku sambil mengambil plastik tersebut, berjalan ke
dapur, dan mengeluarkan isinya.
Lagi-lagi
William hanya tersenyum dan berkata, “Atau hanya kau?” tanyanya dengan tatapan
menggoda ke arahku.
“Kau
mengenalku dengan baik,” kataku dengan senyum mengembang sambil memotong-motong
cheese cake menjadi tiga bagian yang
cukup besar dan meletakkannya di tiga piring kecil.
Kini
kami—aku, Stella, dan William—duduk di meja makan dengan cheese cake kami masing-masing sambil mengobrol. “Darimana kau
mendapatkan cheese cake seenak ini?
Ini benar-benar enak, kau tahu?” Tanya Stella sambil mengunyah bagiannya.
“Sangat
enak,” tambahku sambil membersihkan ujung bibirku dari krim yang menempel.
“Tentunya
aku membelinya di toko kue,” kata William menjawab pertanyaan Stella. “Masih
ada yang mau lagi?” tanyanya sambil memandang kami, lalu beralih ke cheese cake yang kini tinggal seperempat
potong.
“Tidak, kau
saja,” ujarku sambil mendorong piringku yang sudah kosong menjauh ke depan.
“Sebenarnya
aku masih ingin, tapi perutku sepertinya sudah tak muat lagi,” sahut Stella.
“Untukku?”
Tanya William lagi.
“Ya,”
jawabku dan Stella bersamaan.
Mendengar
jawaban kami, William tersenyum senang dan mengambil potongan cheese cake terakhir. Ia menyantapnya
dengan penuh semangat. Matanya berbinar-binar.
Yeah, satu cheese cake ukuran besar habis dalam
semalam, hanya oleh tiga orang. Hebat, bukan?
***
Ayolah, pejamkan matamu, kataku dalam hati sambil mencoba
memejamkan mata. Tanpa hasil. Mataku kembali terbuka. Aku mencoba sekali lagi.
Gagal. Aku tak bisa tidur.
Tara.. Tara..
Aku
terbangun karena kaget ketika mendengar suara itu. Lagi-lagi. Aku mendengar
seperti ada seseorang memanggil namaku. Aku mendengarnya dengan jelas. Sangat jelas.
Apa aku
hanya berhalusinasi?
Aku melirik
Stella yang tertidur pulas, kemudian melirik jam. 11:00 PM.
“Huh,”
desahku. Aku bangkit dari tempat tidur dengan hati-hati agar tak membuat Stella
terbangun dan berjalan keluar. Lebih baik bagiku bercerita pada William,
daripada memendamnya sendirian. Semoga saja dia belum tidur.
“William,”
panggilku saat aku sudah sampai didepan pintu kamarnya yang tertutup. Kulihat
lampu kamarnya masih menyala. Dia belum tidur.
Beberapa
menit kemudian, pintu kamarnya terbuka. “Tara?” bisiknya kaget. “Ada apa?”
“Um.. Apa
aku mengganggumu?”
“Tidak,”
sahutnya. “Masuklah.”
Kini aku
berada dalam ruangan dengan nuansa coklat tua yang menenangkan. Sepertinya ia
sedang bermain games ketika aku memanggilnya tadi, terlihat dari tampilan games
Call Of Duty yang nampak di layar monitor computernya. Lagu berjudul Moves Like
Jagger yang dipopulerkan oleh Maroon 5 mengalun pelan memenuhi ruangan. Aku pun
duduk di atas tempat tidur yang didominasi warna coklat.
“Kenapa kau
belum tidur? Apa kau tak tahu ini sudah jam berapa?” tanyanya sambil menutup
pintu kamar.
“Kau sendiri
juga belum tidur. Kau malah asyik bermain games,” sahutku acuh tak acuh.
“Yang harus
kau tahu,” ia buka suara. “Kau itu mudah sakit, sedangkan aku tidak. Jadi, kau
seharusnya sudah tidur.”
Aku memutar
bola mata karena kesal. “Oh, dan yang harus kau tahu, walaupun kau tak mudah
sakit, tetap saja kau bisa sakit. Jadi, kau juga seharusnya sudah beristirahat
sekarang.”
“Oh,
baiklah, baiklah,” ujar laki-laki itu sambil mengangkat tangan kanannya tanda
menyerah. Ia mematikan komputernya, kemudian duduk berhadapan denganku. “Ada
apa, hm?”
“Mmm-hmm,”
gumam William sambil mengangguk-anguk tanda mengerti. “Apa ini sering terjadi?”
William
mengangguk-angguk mengerti untuk kedua kalinya. “Mungkin kau kelelahan,”
ujarnya. “Kau kelelahan, sampai-sampai kau berhalusinasi mendengar seseorang
memanggilmu,” katanya lagi.
Oh,
lagi-lagi pendapat yang hampir sama. “Tapi—“
“Atau
mungkin kau terlalu banyak pikiran,” ia menyela sebelum aku sempat
menyelesaikan kalimatku.
Kali ini aku
berpikir-pikir lagi. Hm.. Sepertinya begitu. Aku menyadari akhir-akhir ini aku
terlalu banyak pikiran. Memikirkan pekerjaan, naskah novel yang tak kunjung
selesai, dan masih banyak lagi.
“Lagipula,”
William kembali buka suara. “Akhir-akhir ini kau lebih pendiam dari biasanya,
dan sering melamun.”
Aku
menatapnya. Rupanya dia menyadarinya.
“Benar,
tidak?” Tanya William memecah keheningan yang sempat terjadi di antara kami
selama beberapa menit. “Katakan padaku jika aku salah.”
Aku hanya
bisa mengangguk mengiyakan. “Kau benar-benar pintar,” pujiku.
“Aku
mengenalmu dengan baik, Tara,” sahutnya sambil tersenyum kecil. “Apa yang kau
pikirkan? Tara, kalau kau ada masalah, kau bisa menceritakannya pada Stella
atau padaku, kau tahu?”
“Yeah,”
gumamku pelan. Aku menatapnya. “Aku hanya tak ingin merepotkan kalian.”
“Apa?
Merepotkan?” tanyanya sambil mengernyit. “Tara, mungkin kami tak bisa banyak
membantu. Tapi kami bisa mendengarkan. Itu samasekali tak merepotkan bagi kami.”
Aku hanya
diam mendengar kata-kata William. Mau tak mau, aku harus mengakui kata-kata
William memang benar.
“Jadi? Apa
masalahmu?” tanyanya lagi. Aku hanya diam, menatap langit Melbourne pada malam
hari dari jendela kamar dengan tatapan kosong.
“Hey, biar
kutebak. Kau memikirkan.. Dia?” ujarnya lagi karena aku tak memberinya satu
jawaban pun.
Well, kadang
jika kita sudah mengenal seseorang begitu dekat dan lama, kita dapat menebak
apa yang ada dalam pikirannya dengan mudah hanya dari bahasa tubuh dan raut
wajah orang itu, tanpa perlu ada kata-kata yang terucap.
Dan aku
hanya bisa mengangguk lagi sebagai jawaban.
William
menghela napas panjang. “Tara, katakan padaku. Kau menyukainya?”
“Tidak,”
sahutku cepat. Terlalu cepat.
William
menatap mataku dan berkata, “Kau jangan membohongi dirimu sendiri.”
“Lebih baik
membohongi diri sendiri daripada membohongi orang lain, bukan?”
“Yeah, aku
tahu,” katanya, lalu menghela napas sebelum melanjutkan, “Tapi sampai kapan?
Sampai kapan kau mau terus-menerus seperti ini?”
“Entahlah,”
sahutku dengan nada melamun. “William, aku tak memiliki perasaan apapun
padanya. Aku hanya menganggapnya sebagai teman yang baik. Percayalah padaku.”
“Ya, aku
percaya padamu,” sahutnya. “Tapi aku tak ingin percaya lagi padamu kalau
kata-katamu menyakiti dirimu sendiri, Tara,” katanya lagi sambil menyilangkan
tangannya di atas dada.
“Apa
maksudmu dengan ‘menyakiti dirimu sendiri’?”
“Maksudku,”
William kembali menghela napas sebelum melanjutkan, “Mungkin awalnya kau merasa
itu hal yang mudah. Tapi kalau kau terus-menerus melakukan hal itu, kau akan
merasa jenuh. Aku yakin, jauh di dalam hatimu, sebenarnya kau menyukainya,
bukan?”
“Tidak,”
ujarku sambil menggeleng untuk menegaskan ucapanku.
Mendengar
jawabanku, William menghembuskan napas keras-keras. “Lagi-lagi ‘tidak’,”
gumamnya. “Sampai kapan kau seperti ini terus? Sampai kapan kau terus
mengatakan ‘tidak’, dan kapan mulai mengatakan ‘ya’? Sampai kapan, Tara? Sampai
kapan? Apa kau tidak lelah?”
“William,” desahku.
“Bicara lelah, aku lelah, William. Sangat
lelah. Aku juga tak mau seperti ini terus. Tapi, satu hal yang harus kau tahu,
aku TAKKAN PERNAH mengatakan ‘ya’,” ujarku frustasi.
William
menatapku lurus-lurus. Oh tidak. Aku terpaksa membuang muka, menghindari
tatapan sahabat laki-lakiku itu sejak aku duduk di Junior High School.
“Kau begitu
keras kepala, Tara,” ujar William dengan nada pelan dan jelas.
“Aku tak
peduli,” sahutku acuh tak acuh.
“Begini
saja,” William mulai bicara lagi. “Untuk membuktikan apa kau menyukainya atau
tidak, aku akan menanyakan beberapa hal.”
Apa lagi
sekarang? Aku hanya diam mendengar kata-katanya barusan, mencoba menebak-nebak
dalam hati apa yang akan ditanyakannya, dan bersiap-siap untuk menerima
kemungkinan terburuk.
Tanpa
menunggu reaksiku, William memulai idenya. “Apa kau merasa bahagia saat
bersamaku?” tanyanya. “Wow, wow, tahan pikiranmu, Tara. Aku hanya memberi
contoh dengan laki-laki lain selain laki-lakimu itu,” lanjutnya cepat karena
aku menatapnya kaget.
Aku
mengabaikan kalimat terakhir William dan menjawab pertanyaannya. “Ya,” jawabku
tanpa ragu.
“Apa kau pernah
merasa bosan mengobrol denganku?”
“Tidak.”
Kami tak pernah kehabisan bahan obrolan.
“Apa
jantungmu berdebar-debar dua kali lebih cepat saat aku menatapmu atau tersenyum
padamu?”
Aku
berpikir-pikir sejenak. Tidak. Rasanya biasa saja. “Tidak.”
“Hm..” gumam
William mengerti. “Tunggu, apa kau menjawabnya dengan jujur?”
“Tentu
saja,” ujarku dengan nada tersinggung.
“Okay,
bagus. Sekarang aku akan bertanya lagi,” katanya. Aku menunggu pertanyaan
selanjutnya.
“Apa kau
merasa bahagia saat bersamanya?”
“Ya.”
“Apa kau
pernah merasa bosan saat mengobrol dengannya?”
“William,”
gumamku. “Kami sangat jarang mengobrol,
bahkan bisa dikatakan hampir tidak pernah. Jadi aku tak bisa menjawabnya,”
ujarku. Kami—aku dan laki-laki yang sedang kami bicarakan ini—memang sangat
jarang mengobrol, seperti yang kukatakan tadi. Kami hanya bicara satu sama lain
seperlunya saja.
“Seperti
professional saja,” ujar William asal. Aku tersenyum setuju mendengar
kata-katanya.
“Baiklah,
pertanyaannya kuganti saja,” ia menghela napas sejenak, kemudian berkata, “Apa
jantungmu berdebar dua kali lebih cepat saat dia menatapmu atau tersenyum
padamu?”
Untuk kali
ini aku berpikir. “Hm.. Kurasa tidak,” gumamku. “Tapi..”
“Tapi?”
Tanya William sambil mengernyit ingin tahu.
Aku menghela
napas sejenak sebelum melanjutkan, “Entah kenapa, aku merasa nyaman bersamanya.
Di dekatnya aku merasa aman. Mungkin jantungku tidak berdebar dua kali lebih
cepat saat dia menatapku atau tersenyum padaku, tapi aku merasa senang saat dia
melakukan itu padaku,” ucapku. Kurasakan pipiku memanas. Oh, ada apa denganku?
“Wajahmu
memerah,” kata William. Ia menyilangkan tangannya di atas dada. “Dan kau
tersenyum saat mengatakan hal itu,” ia tersenyum, dan aku tahu senyum apa itu.
Mengenal William sejak Junior High School membuatku dapat mengetahuinya dengan
mudah.
Tunggu, apa
katanya tadi? Aku tersenyum?
Benarkah?
“Ya, kau
tersenyum, Tara. Bukan senyum terpaksa ataupun senyum sopan seperti yang kau
tunjukkan akhir-akhir ini,” aku baru menyadari kalau aku baru saja menyuarakan
pikiranku sendiri ketika mendengar perkataannya.
“Yeah, then the result is..” ujar William
dengan nada puas sambil tersenyum penuh kemenangan kepadaku. “Kau pasti tahu
apa maksudku tanpa harus kujelaskan lagi, jika kau memang mengenalku dengan
baik.”
***
Aku membuka
mataku dengan susah payah. Rasanya mataku sangat berat untuk kubuka.
Semalam—setelah obrolanku dengan William—aku samasekali tak bisa tidur, dan
baru berhasil tidur saat jam menunjukkan pukul 03:30 AM. Itu artinya aku hanya
tidur selama dua jam saja.
Tapi
akhirnya aku berhasil bangun dan berjalan menuju kamar mandi dengan langkah
pelan—ketika aku teringat dengan jadwalku yang sangat padat hari ini.
Samar-samar
kudengar suara orang bercakap-cakap. William dan Stella. Rupanya mereka sudah
bangun. Aku pun memutuskan keluar dari kamar setelah berusaha menutupi
lingkaran hitam dan kantung mata di mataku karena kurang tidur dengan make up
yang tidak terlalu tebal. Kurasa itu sudah cukup untuk menutupi wajahku yang
terlihat berantakan ini.
“Hey, kau
sudah bangun rupanya,” sapa Stella sambil menyodorkan sepiring roti dengan
selai cokelat serta segelas susu sebagai sarapanku. Aku hanya mengangguk
sekenanya dan duduk di kursiku.
“Oh my.. Astaga.. Kau terlihat kacau,”
seru Stella kaget karena melihat wajahku. “Tidurmu tidak nyenyak semalam?”
“Yeah, aku
tahu aku memang terlihat kacau,” sahutku sambil tertawa hambar—mengabaikan
pertanyaan Stella. Bisa kurasakan William menatapku lurus-lurus—seperti yang
biasa ia lakukan—namun ia samasekali tak mengomentari penampilanku yang kacau.
Ia hanya menikmati sarapannya dalam diam.
Sarapan hari
ini biasa saja, sama seperti sarapan-sarapan sebelumnya. Tak ada obrolan yang
menarik.
“Baiklah,”
Stella melihat jamnya. “Kurasa aku harus pergi sekarang. William, jaga Tara
baik-baik, oke?”
William
hanya mengangguk sebagai jawaban, namun sayangnya Stella tak melihatnya. Ia
menutup pintu keras-keras dan pergi.
Sepeninggal
Stella, aku mengempaskan pantatku di sofa. “Kenapa selalu aku yang harus
dijaga?” keluhku, teringat dengan pesan Stella pada William. “Kenapa bukan aku
yang menjaga orang lain?”
William
mengangkat kepala dari buku yang sejak tadi dibacanya dan menatapku. “Karena
kau memang harus dijaga.”
“Kenapa? Apa
karena aku terlihat lemah?”
“Kurasa
tidak,” jawab William. “Kau hanya memang harus
dijaga.”
Sebenarnya
aku tidak puas dengan jawaban yang ia berikan, tapi aku diam saja.
“Hey,”
panggil William, membuatku tersadar dari lamunanku. “Mau temani aku minum
kopi?”
***
To be Continued
Gimana? Jelek? Gak jelas? Feel-nya nggak dapat? Iya, benar. Tapi saya membutuhkan kritik dan saran dari kalian semuanya, karena itu saya harapkan kalian meninggalkan jejak di kolom komentar, okay? Terimakasih sudah mau baca cerpen gaje saya ini. Sekali lagi, terima kasih!
Comments
Post a Comment