Beautiful In White Part 2

Cast : Main Cast : Dennis Park a.k.a Leeteuk
                              Abigail Lavoie (OC)
                      Other Cast : Aiden Lee a.k.a Donghae
                                          Stella Dupont (Abigail friends)
                                          Fraya Priskilla (Abigail friends)
                                          Claire Park (Abigail friends)


Ini lanjutan dari Beautiful In White. Semoga suka yaa. Ide cerita ini murni dari pikiran saya. Jika ada kesamaan latar, alur, dsb itu hanya kebetulan semata. FF ini juga di post di FB dan blog pribadi. Oh ya, mian kalo judul tak sesuai dengan cerita. Karena saya gak pintar buat judul. Dibutuhkan kritik dan saran dari readers, karena saya masih pemula. Gomawo. Happy Reading!

***

Kurasa aku tak bisa mendapatkannya. Dia terlalu tampan, bagai Cassanova.Bagai burung yang tak boleh ditangkap.Dan aku hanya bisa melihatnya dari jauh. –Beautiful In White Part 2-

"Ya, anak-anak, cukup sampai disini. Selamat siang,"
Tak seperti mahasiswa lainnya yang sibuk membereskan barang-barang mereka, aku malah tersenyum-senyum sendiri. Aku tetap duduk di kursiku sambil terus tersenyum tidak jelas.
"Hey, kau! Kau tak ingin makan siang, hm? Kau betah disini ya?" seru Aiden padaku.
Aku menatap sekelilingku gugup, "Ah.. Oh.. Eh.. Ada apa?" aku bingung. "Ah, kau rupanya, Aiden. Ada apa? Mana anak-anak yang lain?"
Aiden malah menatapku bingung. Apa maksudnya? Aku benar-benar tak mengerti.
"Kau kenapa, Dennis-ah? Kau aneh sekali belakangan ini. Ini sudah waktu makan siang. Kau tak ingin makan siang, hm?" katanya heran.
Aku menggaruk kepalaku bingung dan berkata, "Ah, tidak. Kau makan sajalah. Aku tidak lapar," kataku.
Aiden menatapku intens. Seperti menyelidik. Mengerikan.
"Baiklah. Aku pergi," ujarnya sambil melangkah pergi. Tapi aku mencegatnya lagi.
"Tunggu!"
"Apa lagi? Kau ingin mengatakan jika kau ingin menitip sesuatu padaku? Seperti minuman soda, hm?" ia mencoba menebak. Tapi tebakannya meleset.
"Bukan itu, bodoh!" kataku cepat. "Ini masalah lain. Tepatnya barusan," kataku lagi sambil memanggilnya.
Ia berjalan kembali ke arahku, duduk di depanku dan berkata, "Apa?" hanya satu kata itu saja. Tak lebih. Tak kurang.
"Apa maksudmu dengan kata-katamu tadi,  'Kau aneh sekali belakangan ini'?" tanyaku—menirukan ucapannya.
"Oh, itu. Jadi kau memanggilku hanya untuk pertanyaan tak bermutu seperti itu?"
Aku menghela napas, "Oh, ayolah, Aiden. Aku serius. Aku tak mengerti apa maksudmu," huh! Mungkin baginya tak bermutu, tapi bagiku itu bermutu!
Bukannya menjawab pertanyaanku, sahabatku ini malah menatapku sekali lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Intens.
"Kau belakangan ini aneh," ia memulai penjelasannya. "Maksudku, kau akhir-akhir ini sering senyum-senyum sendiri, dan sebagainya. Sepertinya ada sesuatu," katanya. "Atau.. Jangan bilang kalau kau.. Sedang jatuh cinta?" tebaknya dengan mata disipitkan. Pandangannya menyelidik. Oh tidak.
"Oh ya? Benarkah?" ujarku tak mengerti. Ah, tidak. Pura-pura tak mengerti, kurasa.
"Benarkah?" ia malah bertanya balik. "Tapi kurasa itu benar. Ya, benar. Kurasa kau jatuh cinta. Siapa perempuan yang berhasil menarik hatimu?" ujarnya lagi.
Aku berusaha bersikap senormal mungkin di depan Aiden sekarang, karena kurasa aku makin gugup sekarang akibat pernyataannya tadi. "Ah, kurasa kau salah. Aku tak sedang jatuh cinta sekarang. Tak ada perempuan yang menarik perhatianku. Aku hanya sedang ingat sesuatu yang lucu saja akhir-akhir ini," kataku. Bohong. Aku membohongi Aiden. Dan perasaanku sendiri.
"Oh," gumamnya. Dan ia pun berjalan pergi tanpa berkata apapun lagi.

 ***

Aku sedang asyik menulis dalam bukuku ketika tiba-tiba Aiden datang menghampiriku, "Sedang apa kau?" tanyanya. Aku hanya diam sambil terus sibuk menulis. "Apa yang kau tulis?" katanya lagi sambil merebut bukuku dari tanganku sebelum aku sempat berkelit. Alhasil, kini ia membaca tulisanku.


Aku ingin menjadi mimpi indah, dalam tidurmu
Aku ingin menjadi sesuatu, yang mungkin bisa kau rindu
Karena, langkah merapuh, tanpa dirimu
Karena, hati t’lah letih

Aku ingin menjadi sesuatu yang s’lalu bisa kau sentuh
Aku ingin kau tahu bahwa ku selalu memujamu
Tanpamu sepinya waktu merantai hati
Bayangmu seakan-akan

Kau seperti nyanyian dalam hatiku
Yang memanggil rinduku padamu
Seperti udara yang ku hela kau selalu ada
Hanya dirimu yang bisa membuatku tenang
Tanpa dirimu aku merasa hilang
Dan sepi
Kau selalu ada

"Ternyata dugaanku benar. Kau sedang jatuh cinta!" ujarnya berkomentar. Dan kini ia membolak-balik halaman buku tersebut, dan membaca semua tulisanku. Rasanya aku ingin sekali mencegahnya. Tapi sayang, lidahku kelu, rasanya tak bisa bicara apapun lagi selain hanya bisa pasrah melihat aksinya.

Because tonight will be the night that I will fall for you
Over again
Don't make me change my mind
Or I won’t live to see another day
I swear it's true
Because a girl like you is impossible to find
Your impossible to find

 Halaman berikutnya, singkat saja.

I love you so deeply
I know you maybe not believe it
But, there is a promise I will keep
That no matter what happen
I will never leave

Halaman berikutnya

Shadows fill an empty heart
As love is fading,
From all the things that we are
But are not saying.
Can we see beyond the stars
And make it to the dawn?

Change the colors of the sky.
And open up to
The ways you made me feel alive,
The ways I loved you.
For all the things that never died,
To make it through the night,
Love will find you.

The sun is breaking in your eyes
To start a new day.
This broken heart can still survive
With a touch of your grace.
Shadows fade into the light.
I am by your side,
Where love will find you.

Now that we're here,
Now that we've come this far,
Just hold on.
There is nothing to fear,
For I am right beside you.
For all my life,
I am yours.

What about now?
What about today?
What if you’re making me all that I was meant to be?
What if our love never went away?
What if it’s lost behind words we could never find?
Baby, before it’s too late,
What about now?

Dahi Aiden langsung berkerut dengan suksesnya ketika ia membaca tulisan yang terakhir di bacanya. Akhirnya ia menutup bukuku dan menyerahkannya kembali padaku.
"Sejak kapan kau jadi puitis seperti ini, Dennis-ah?" tanggapnya heran. "Apa maksudmu? Dengan tulisan terakhir ini? Ah tidak. Tapi dengan semua tulisan ini?" Aiden menunjukkan tulisan-tulisan yang ia baca.
Aku hanya diam. Aku tak ingin memberitahu Aiden walau ia sahabatku. Bisa-bisa ia meledekku karena aku suka pada Abigail!
Aiden menatapku lekat. Oh tidak. Sebenarnya aku ingin tak ada yang tahu soal ini, tapi sepertinya mau tak mau, dan suka tidak suka, aku harus mengatakannya. Soal perasaanku, tentu. Dan itu artinya aku harus siap diledek Aiden!
"Ehm.." aku berdehem, pura-pura membersihkan tenggorokan. "Sebenarnya.. Ku akui, kau benar. Aku memang sedang jatuh cinta. Ah, tidak. Sepertinya begitu," akhirnya aku bicara.
"Sudah kuduga," ujarnya. "Siapa perempuan yang berhasil menarik perhatianmu?"
"Dia..." aku gugup. "Abigail."
"Apa?" sepertinya ia kaget. "Abigail? Abigail yang.."
"Ya, Abigail. Tetanggamu, dan sahabat dekatmu," kataku segera.
Ia menatapku tak percaya. Mungkin karena dia belum pernah dengar aku jatuh cinta. Dan dalam sekejap saja seluruh kisahku yang menyangkut Abigail mengalir lancar dari mulutku. Tak ada yang ditambah-tambah atau dikurangi. Sementara ia mendengarkan dengan penuh perhatian dan serius. Sedikitpun ia tak menyela perkataanku.
"Tak apa-apa, Dennis," katanya setelah aku selesai menceritakan semuanya. "Kurasa perasaanmu padanya wajar." Benar-benar diluar dugaanku! Ku kira ia akan tertawa terbahak-bahak, dan meledekku habis-habisan! Ternyata dugaanku meleset!
"Tolong rahasiakan ini. Jangan sampai anak-anak lain tahu. Terutama dia," aku wanti-wanti padanya. "Juga jangan menggodaku kalau aku melihatnya saat bersamamu!"
"Tenang saja," katanya menenangkan. "Kau ingin tahu tentangnya?"
Tentu saja! Siapa yang tidak? Aku kan suka padanya! Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Dia itu.." ia memulai. "Pintar, cantik, tapi pendiam.Dia dingin pada orang yang tak ia kenal dekat, tapi, sebenarnya dia baik dan ramah. Dia hanya akan bicara jika ia mengenal orang itu. Tapi walau ia pendiam, dia bisa diajak kerjasama. Dia tegas. Disiplinnya tinggi, sekali mengambil keputusan, sudah tak bisa diubah lagi. A ya A, B ya B. Dia juga supel, tapi.. yah.. Misterius," ujarnya panjang lebar. "Singkatnya, dia itu pendiam. Dingin. Misterius. Itu yang selama ini dilihat oleh anak-anak. Sebenarnya banyak laki-laki yang ingin mendekatinya, mengenalnya lebih jauh. Tapi sayang, Abigail tak pernah mau. Entah kenapa. Kurasa hanya aku orang yang dekat dengannya, selain keluarganya, tentu. Tak kusangka ia mau diajak makan siang denganmu. Padahal, tak biasanya ia seperti itu."
Aku tersenyum puas. Setidaknya, aku tahu sedikit kepribadian seorang Abigail. "Boleh aku tahu namanya, Aiden? Maksudku, nama lengkapnya," pintaku.
Aiden mengangguk, dan berkata, "Abigail Lavoie."
Nama yang singkat, tapi artinya bagus. Aku suka itu.

***
2 bulan kemudian, di pihak Abigail..
Kini ia sedang berkumpul dengan teman-teman akrabnya, yaitu Fraya, Claire, dan Stella. Mereka sedang asyik mengobrol ria di kantin kampus.
“Kenapa sih? Abigail,” panggil Claire. Tapi bukannya menjawab, Abigail sepertinya makin asyik dengan lamunannya, lengkap dengan aksi senyum-senyum sendiri.
“Hey, Abigail! Abigail! ABIGAIL!!” akhirnya Claire sampai harus berteriak dan lengkap dengan tepukan yang cukup keras di pundak Abigail. Dan ternyata tak hanya Abigail yang terkena dampak tersebut. Fraya dan Stella sampai terlonjak kaget karena teriakan Claire.
“YAK!!” Terdengar 3 teriakan sekaligus. Ditujukan kepada Claire tentunya.
“Bisa kan kalau kau tak berteriak? Aku ini tidak tuli! Pundakku sakit..” kata Abigail karena kesal sambil mengelus-elus pundaknya yang kesakitan.
“Um.. I’m so sorry,” kata Claire—tahu kalau dia salah. Dilihatnya Fraya yang ngos-ngosan sambil mengelus-elus dadanya. Bukan karena berlari, namun karena kaget. Maklum, Fraya memang mudah kaget. Ia memandang Abigail dan Fraya dengan tatapan minta maaf.
“Kenapa sih? Teriak-teriak gitu,” kata Stella.
“Justru aku mau tanya, kenapa Abigail melamun. Senyum-senyum sendiri pula. Ini satu pemandangan yang jarang sekali terjadi dalam diri seorang Abigail Lavoie,” jelasnya. Dan secara otomatis 3 pasang mata pun beralih ke arah Abigail—yang kini wajahnya memerah.
“Aku benar-benar tak mengerti maksudmu, Claire,” jawab Abigail cuek.
“Kenapa kau melamun? Sambil senyum-senyum sendiri pula,” ujar Claire. “Atau jangan-jangan.. Kau sedang jatuh cinta! Ya, bukan? Benar tidak? Aku yakin dugaanku benar!” katanya lagi dengan semangat dan sangat yakin.
Dan secara otomatis, wajah Abigail semakin memerah. Oh tidak! “Ha! Wajahmu memerah, semakin merah! Dugaanku benar!” Claire makin semangat saja. Dan Stella ikut-ikutan menggoda Abigail.
“Siapa yang bilang benar? Aku hanya memikirkan sesuatu yang lucu,” jawab Abigail cuek. Namun, terlihat jelas ia berusaha keras mengelak.
“Kalau begitu, ceritakan pada kami,” Stella kini bicara. “Hal lucu apa sih?”
“Diam berarti iya,” kata Claire karena Abigail langsung diam karena perkataan Stella tadi. “Maksudku, iya karena sedang jatuh cinta!” katanya sambil tersenyum puas.
Akhirnya Abigail menyerah. “Um.. Aku memang sedang jatuh cinta. Aku suka pada seseorang,” katanya.
Claire hanya tersenyum penuh kemenangan menanggapi kata-kata Abigail. “Apa kubilang! Kau memang tak bisa membohongiku, Abigail! Siapa laki-laki itu?”
“Apa dia mahasiswa di kampus ini?” Fraya yang sedari tadi diam angkat bicara.
“Bisa dibilang begitu,” jawab Abigail.
“Oh ya?! Apa dia tampan?” tanya Claire lagi. Sepertinya ia makin semangat saja. Matanya berbinar-binar. Nampaknya ia yang paling tertarik untuk soal ini. Stella juga, namun tidak sesemangat Claire. Hanya Fraya yang memandang dengan malas-malasan—seolah-olah itu hanya sebuah hal biasa untuknya. Selalu seperti ini respon mereka jika mendengar hal-hal seperti ini. Dan Abigail hanya mengangguk merespon pertanyaan Claire.
“Siapa dia? Siapa?” tanya Claire dan Stella makin bersemangat. Membuat Abigail semakin malu.
“Um.. Dia..” Abigail gugup. “Namanya Dennis.”
“Apa?! Dennis?!” seketika mereka kaget ketika mendengar Abigail menyebut namanya.
“Sstt..” Abigail menempelkan jari telunjuknya di bibirnya. “Jangan keras-keras!” Abigail memperingatkan sambil berbisik karena takut teriakan ke-2 sahabatnya ini terdengar oleh anak-anak yang lain.
“Dia itu bukannya laki-laki popular di kampus ini, bukan?” tanya Claire.
“Laki-laki itu? Wahh.. Ini hebat! Kau tahu, dia itu sangat hebat bermain piano dan saxophone! Dia juga berjiwa pemimpin! Wah.. Abigail, intinya dia hebat! Ini benar-benar match! Kau cantik, pintar, dan.. bertalenta! Dia juga!” Stella heboh dalam sekejap—tak jauh beda dengan Claire. Mereka pun sibuk menggembor-gemborkan apa saja yang mereka ketahui tentang laki-laki itu. Dennis.
“Ehm,” Abigail berdehem untuk menghentikan pembicaraan 2 sahabatnya ini tentang laki-laki yang disukainya itu. “Tapi, tadi kau bilang dia popular kan, Claire?”
Claire mengangguk merespon pertanyaan Abigail. “Ya, kenapa? Dia memang sangat popular di kampus ini. Bisa dibilang hampir semua mahasiswa disini mengenalnya, ah tidak, tidak hanya mahasiswa disini, bahkan sampai ke kampus lain, terutama mahasiswa perempuan. Kau tahu? Aku satu jurusan dengannya. Setiap harinya, para mahasiswa perempuan itu mengikuti Dennis, mendekatinya, memberinya hadiah seperti bunga, cokelat, dan barang-barang yang dimiliki laki-laki pada umumnya. Uhh.. Kau tahu? Gaya para mahasiswa itu menurutku sangat menjijikkan! Gaya mereka benar-benar centil! Tapi, Dennis tetap peduli dengan mereka, maklum, sifatnya itu memang ramah pada siapapun.” Kata-kata Claire mengalir begitu saja—seperti air terjun saja!
“Nah, seperti yang kau bilang tadi, dia popular dan banyak perempuan yang mendekatinya. Mereka itu pasti perempuan cantik,” ujar Abigail.
“Siapa bilang?” tukas Claire tersinggung. “Memang sih, diantara mereka ada yang cantik. Seperti Cleopatra, Kayla, Tara, atau lainnya. Tapi ada juga diantara mereka yang menurutku “sok cantik” “ ujarnya sambil menekankan kata “sok cantik”.
Aaaa!! Dennis!!
Dalam sekejap banyak mahasiswa perempuan berteriak-teriak begitu sosok Dennis memasuki Kantin. Banyak perempuan yang mengerubunginya. Dan Abigail hanya bisa diam saja melihat adegan tersebut.
“Lebih baik kita pergi dari sini. Aku tak selera makan melihat mereka! Ayo, Abigail,” ajak Claire sambil menarik Abigail keluar dari Kantin.
Kurasa aku tak bisa mendapatkannya. Dia terlalu tampan, bagai Cassanova.Bagai burung yang tak boleh ditangkap.Dan aku hanya bisa melihatnya dari jauh.

***
“Hey, Dennis! Kau kenapa?”
Aiden menghampiriku yang terduduk lesu di kursi taman kampus. “Ah tidak. Aku tak apa-apa,” ujarku.
“Oh ya?” Aiden menatapku. “Hey, aku bukan orang yang baru mengenalmu 2 hari yang lalu. Aku sudah mengenalmu sejak kita kuliah di kampus ini, kau tahu? Kau tak bisa membohongiku, Dennis-ah. Ceritakan padaku.” Ujarnya. “Apa ini menyangkut “wanita”mu itu?”
Lagi-lagi aku mengangguk lesu menjawab pertanyaannya.
“Ada apa dengannya?”
Aku pun menceritakan kejadian di Kantin tadi. Saat itu, aku melihatnya sedang makan di Kantin dengan 3 orang temannya. Aku pun segera ke Kantin. Bukan untuk makan karena lapar, tapi agar bisa melihatnya dari jauh. Namun, ketika aku memasuki Kantin, banyak mahasiswa perempuan mengerubungiku. Dan Abigail langsung keluar dari Kantin. Semangatku langsung menurun begitu saja.
Aiden mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti ketika aku selesai menceritakan kejadian itu.

***
“Ada apa? Tak biasanya kau ingin bertemu denganku, Abigail,” tanya Aiden. Ia memakaikan jaketnya untuk Abigail karena udara malam yang cukup dingin.
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin curhat padamu,” jawab Abigail singkat.
Aiden hanya diam, menunggu Abigail bercerita.
“Aku..”
“Aku?”
“Aku sedang menyukai seseorang,” ujar Abigail akhirnya.
Aiden menatap Abigail tak percaya.  Sorot matanya tajam. Seperti ada kemarahan disana.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?” Abigal merasa sedikit ketakutan karena tatapan Aiden yang tak biasa itu.
“Ah tidak, tidak apa-apa,” Aiden berusaha menetralisir keadaan. “Lalu.. Siapa laki-laki yang kau sukai?”
“Tapi berjanjilah jangan katakan pada siapapun.” Kata Abigail. Dan Aiden hanya mengangguk mengiyakan.
“Namanya Dennis,” ujar Abigail. Nampaknya ia sangat bahagia sekali mengucapkan nama tersebut.
“Dennis?!”
“Iya, Dennis.”
“Dia itu temanku! Ah tidak, lebih tepatnya sahabatku,” ujar Aiden.
“Oh ya?”
“Ya. Jadi.. Apa saja yang kau alami dengannya?” Aiden memandang Abigail. Dari sorot matanya, nampak jelas ia sangat takut. Entah kenapa. Ia sendiri tak tahu apa penyebabnya.
“Hm..” Abigail menghela napas. “Kami makan siang, dan bahkan jalan berdua.”
What?! This is crazy!” erang Aiden. Kelihatannya dia marah.
Crazy? Why?” Abigail terlihat bingung mendengar kata-kata Aiden. Aiden hanya akan bicara bahasa Inggris—tidak dengan bahasa Prancis seperti biasanya jika ia sedang marah. Apa ia sedang marah saat ini? Pada siapa? Padanya? Tapi kenapa?
You’re not his girlfriend!” kata Aiden lagi tanpa bisa dikontrol.
Hey, Aiden! Why?  I like him, ah no, I love him!”
Dan Aiden langsung pergi meninggalkan Abigail dengan seluruh kemarahannya.

To be Continued

Comments

Popular posts from this blog

It’s You