It’s You

“Aku ingin menghilang. Sebentar saja.” –It’s You

***

Ada seseorang yang selalu kuperhatikan selama tiga tahun ini. Tidak, dia bukan orang yang kusukai. Dia hanyalah seorang teman. Teman yang biasa saja. Teman yang mungkin tidak diperhitungkan untuk menjadi teman di mata sebagian orang.

Namun, dia temanku. Teman yang biasa namun tidak biasa. Dan, aku ingin bercerita tentangnya padamu.

Namanya Elisa Zevannya—biasanya ia dipanggil Elisa—tetapi entah mengapa aku lebih suka memanggilnya Safa, singkatan dari Elisa Zevannya. Kurasa karena aku senang menjadi berbeda dari yang lain, jadi aku melakukannya. Lagi pula, ia tak pernah protes dengan panggilanku untuknya. Maka, aku memanggilnya Safa sampai hari ini.

Kau bertanya padaku seperti apa dia?

Menurutku, dia unik.

Dan, aku akan bercerita tentangnya padamu.

***

Katanya, seseorang memiliki setidaknya satu hal yang memicu ingatan mereka terhadap sesuatu—atau seseorang. Dan dari sekian banyak kenangan yang kami rajut bersama, entah mengapa hanya satu yang terus-menerus bercokol dalam ingatanku sampai hari ini.

Saat itu, aku menjenguknya di sebuah rumah sakit kanker dekat kompleks perumahan tempat tinggalku. Sudah satu jam kami duduk di sini, di bangku taman rumah sakit, hanya diam tanpa kata. Sesekali aku meliriknya, diam-diam mengamati wajahnya yang pucat dari ekor mata. Kuamati rambut hitamnya yang sedikit bergelombang—yang aku tahu sebenarnya itu adalah rambut palsu—yang model dan warnanya sama dengan rambut aslinya. “Dengan begini, setidaknya aku masih bisa melihat sebagian kecil dari diriku, meskipun itu palsu,” katanya ketika aku bertanya soal rambutnya.

Aku menghela napas, mengetuk-ngetukkan jariku pada penyangga bangku, kebiasaanku saat sedang berpikir atau sedang bosan. Sudah satu jam kami duduk di sini tanpa kata, dan aku masih terus memutar otak, memikirkan topik macam apa yang bisa kami bahas.

Roda pikiranku masih terus berputar cepat ketika tiba-tiba ia memecahkan gelembung keheningan yang ada di antara kami. “Kau tidak bosan?”

Aku menoleh, menatapnya dengan dahi mengernyit. Sebelum aku sempat bertanya, ia melanjutkan, “Kau ke sini setiap sore. Dan sekarang, kita sudah duduk selama satu jam tanpa pembicaraan apa pun.”

“Kau bosan?” akhirnya aku buka suara.

“Justru itu yang ingin kutanyakan padamu,” selanya. “Aku tahu, kau tipe orang yang mulutnya akan terasa gatal jika tidak bicara sehari saja. Tidak, sebentar saja. Sebentar saja.”

Aku tertawa pelan, setengah mendengus. “Kau berlebihan.”

“Kau tidak bosan?” ulangnya lagi.

Ya. Aku menyandarkan tubuh ke sandaran bangku seraya berkata, “Tidak.”

Ia terdiam selama dua setengah menit sebelum akhirnya bicara lagi. “Kau tahu, aku penasaran tentang sesuatu.”

Aku hanya diam, tahu bahwa ia belum selesai bicara. ”Bagaimana jika seandainya aku menghilang selamanya?”

Aku berpikir-pikir sejenak, lalu menjawab, “Yang pasti keluarga dan orang-orang yang menyayangimu akan sedih.”

Dari ekor mataku, kulihat ia mengangguk pelan. Diam-diam, roda pikiranku kembali berputar cepat, kali ini bertanya-tanya apa yang ia pikirkan sehingga mengajukan pertanyaan semacam itu. Dalam sekejap, kepalaku dipenuhi dengan berbagai asumsi. Baiklah, mungkin setelah ini ia akan mengatakan bahwa ia ingin—

“Jujur, aku ingin menghilang.” Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “sebentar saja.”

—menghilang.

“Aku juga,” sahutku ringan, berusaha tetap santai. “Tapi, kenapa kau ingin menghilang?”

“Apa kau akan percaya jika aku mengatakan bahwa aku hanya ingin saja?”

“Percaya saja,” kataku. “Kau tahu, keinginan tidak selalu berupa hal yang masuk akal.”

Safa mengangguk. “Tapi, kurasa orang-orang itu akan sedih sebentar saja,” gumamnya. “karena waktu akan terus berjalan.”

“Kau salah,” selaku cepat. “Kehilangan orang yang kausayangi bisa membuatmu juga ingin menghilang.”

“Kenapa?” tanyanya. Ia merapikan anak-anak rambutnya yang ditiup angin. “Rasanya seperti kau ingin mengatakan bahwa orang yang hilang itu tidak akan dilupakan. Bahwa mereka masih diharapkan. Semacam itu.”

“Tidak juga,” sahutku, sembari menyusun kata-kata dalam hati. “Ada banyak alasan kita ingin menghilang karena kehilangan orang yang disayang. Bisa karena sedih, bisa karena marah.” Aku menatapnya tepat di mata. “Dan, orang yang menghilang tidak akan dilupakan—apalagi jika itu orang yang kausayangi. Justru akan membuatmu selalu mengingatnya.”

“Marah?”

Aku mengangguk. “Jika orang itu menghilang karena keinginannya, bisa jadi akan membuatmu marah karena merasa dia egois.”

Kali ini gadis itu mengerutkan dahi. “Egois?”

Aku mengangguk lagi. “Misalnya, aku sangat menyayangimu. Namun, tiba-tiba kau ingin menghilang, dan ternyata kau benar-benar menghilang. Dan aku marah karena kau menghilang hanya karena ingin, tanpa memikirkan perasaanku dan orang-orang yang menyayangimu,” jelasku panjang lebar. “Jadi, cenderung sedih karena tidak terima. Itu menurutku.”

Safa terdiam. Aku hampir mengira topik pembicaraan ini sudah selesai ketika ternyata ia kembali buka suara, “Aku pernah menanyakan ini kepada seseorang. Katanya, orang-orang akan sedih, tetapi mereka akan melupakannya.”

“Iya, itu kalau tidak benar-benar menyayangi. Dan, mungkin ia belum pernah mengalami kehilangan itu,” sahutku. “Dia menjawab hanya berdasarkan khayalannya. Jika ia mengalaminya sendiri, belum tentu ia bisa bicara seperti itu lagi.”

Untuk pertama kalinya, di hari ini, aku melihatnya tertawa. “Ekspresimu lucu.”

Aku tersenyum, meskipun diam-diam bertanya-tanya bagaimana ekspresiku sampai-sampai ia tertawa. Setelah berusaha menghentikan tawa dengan susah payah, ia berkata, “Sebenarnya, sudah beberapa hari ini aku memikirkannya,”

“Kenapa?”

Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran bangku. “Penasaran? Mungkin bisa dikatakan begitu.”

“Kenapa?” Dahiku berkerut. “Ingin tahu bagaimana reaksi orang jika kau menghilang?”

 “Kata orang, seseorang akan lebih dihargai ketika ia menghilang.” Gadis itu tersenyum miring. “Aku ingin tahu, terlepas dari keluargaku, berapa banyak yang … sedih? Semacam itu.”

“Kau ingin merealisasikannya?” tanyaku hati-hati.

“Kurasa penyakitku sudah cukup membantu untuk merealisasikannya secara bertahap,” ujarnya santai, seolah itu bukanlah sesuatu yang besar. “Aku hanya perlu menunggu.”

Ah, kanker darah stadium akhir itu, ya?

Kali ini aku hanya diam, tak tahu apa yang harus kukatakan. Untuk beberapa saat, hanya terdengar suara monoton ketukan jariku di penyangga bangku taman.

Namun, tiba-tiba, aku berhenti, membuatnya menoleh.

“Kau tahu,” gumamku, “kurasa penyebab utamanya bukanlah sekadar ingin tahu seperti katamu.”

Ia hanya menatapku, jadi aku pun melanjutkan, “kurasa … kau ingin tahu bagaimana rasanya menjadi berharga.”

Ia terdiam sejenak, tetapi kemudian tersenyum kecil. “Kau terlalu mengenalku.”

Aku mengangguk seraya bergeser, memperkecil jarak di antara kami. “Tapi, kau tahu, kau tidak perlu menghilang hanya untuk mengetahui seberapa berharganya dirimu,” aku menatapnya lekat-lekat dan melanjutkan, “karena dengan adanya kamu di dunia ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa dirimu berharga. Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi ada banyak orang di sekelilingmu yang bahagia hanya dengan melihatmu.”

“Jangan bicara aneh-aneh,” dengusnya. “Tidak ada hal semacam itu.”

“Aku tidak memintamu untuk memercayainya,” sahutku. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa kau berharga. Jauh lebih berharga dari yang kau pikirkan.”

“Kenapa?”

“Karena kamu adalah kamu.”


Untuk seseorang yang tak bisa berhenti bicara.
27 Juli 2018.


*Akan diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen bersama Indowriters.

Comments

Popular posts from this blog