Multiculturalism, I Love You!

Title : Multiculturalism, I Love You!

Genre : Friendship

Notes : Hai! Ketemu lagi sama saya setelah sekian lama tidak menulis. Ini bukan FanFiction, tapi cerpen gaje hasil karya saya sendiri. Semoga suka yaa. Cerpen ini terinspirasi dari perasaan saya dan inspirator terhebat yang pernah ada yang pernah saya miliki (semua ide yang saya dapatkan selama ini itu karenamu!). Ide cerita ini murni dari pikiran saya. TIDAK PLAGIAT! So, don't copy-paste this story, okay? Jika ada kesamaan latar, nama, alur, dsb itu hanyalah kebetulan semata. Oh ya, maaf kalau judulnya tidak sesuai dengan cerita, karena saya nggak pintar buat judul. Dibutuhkan saran dari kalian para readers semuanya agar saya bisa menulis lebih baik lagi, karena saya masih pemula dalam dunia tulis-menulis. Thank you and Happy reading!


Perhatian! Cerita ini TIDAK bermaksud menyinggung! Nggak suka? Jangan baca! 

***

Multikulturalisme seharusnya seperti roda warna. Layaknya berbagai warna yang terbagi-bagi dalam sebuah roda, yang menjadi warna putih—warna yang solid—ketika roda itu berputar. –Multiculturalism, I Love You!

***

Bali, Indonesia, 7 November 2015.


“Aku bertanya-tanya, kapan aku bisa berkunjung ke rumahmu.”
Aku menoleh ke kiri, menatapnya heran. “Apa?”
“Aku bertanya-tanya, kapan aku bisa berkunjung ke rumahmu,” ulangnya lagi sabar. Melihatku yang hanya diam, laki-laki itu menghela napas. “Nggak bisa?” tanyanya, yang menurutku lebih terdengar seperti pernyataan. “Baiklah.”
Aku masih terdiam, menatap laki-laki yang kembali asyik dengan laptopku. Laki-laki ini.. mengapa sepertinya ia ingin sekali berkunjung ke rumahku?
“Sudah selesai,” ujarnya tiba-tiba, membuyarkan lamunanku. “Kamu melamun?”
Aku menggeleng. “Nggak.”
Laki-laki itu mengeleng pelan. “Kamu bukan orang yang pandai berbohong. Kamu begitu transparan, Frederica Natalie,” ujarnya sambil tersenyum jenaka. “Aku antar kamu pulang.”

***
“Masuklah,” katanya.
Aku baru saja hendak mengatakan sesuatu, ketika tiba-tiba ia menyela, “Aku pulang setelah memastikan kamu ada di dalam rumah dengan aman.”
Akhirnya, aku menyerah. Benar-benar.. Tipikal laki-laki yang baik.. atau romantis?
Aku masuk ke rumah, setelah sebelumnya mengucapkan selamat tinggal dengan perlahan. Samar-samar kulihat ia tersenyum kecil di antara kegelapan malam.
William masih berdiri, menungguku dengan sabar hingga benar-benar masuk ke dalam rumah. Aku menutup pintu rumah dengan pelan dan mengintip ke luar lewat jendela.
Gelap. Tak ada siapapun. Sepertinya ia sudah pulang. Syukurlah. Semuanya baik-baik saja.
“Kamu pulang sama siapa, Erica?”
Aku terlonjak kaget. Ups.
Aku menoleh ke belakang, dan mendapati Mama duduk di sofa sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Tatapannya. Aku tahu tatapan apa itu. Tatapan yang seolah-olah ingin menginterogasi. Tatapan yang selalu bertemu dengan tatapanku sejak bertahun-tahun lalu, sejak aku bersahabat dengan William.
Sepertinya ini tidak sepenuhnya baik-baik saja.
Melihatku yang hanya menunduk dan tak memberi jawaban apapun, Mama berkata, “Jangan bilang kalau kamu pulang sama dia?”
  “Aku pulang sama dia,” kataku. Aku memberanikan diriku untuk menatap Mama. “Dan dia punya nama, Ma. Jangan bersikap merendahkan, seolah-olah dia nggak punya nama.”
“Mama nggak peduli dia punya nama atau tidak,” sahut Mama acuh tak acuh. “Sudah berkali-kali Mama bilang, jangan berteman sama dia. Kenapa kamu masih saja ngotot?” kata Mama lagi tenang, namun aku tahu ada kemarahan dalam suaranya.
“Apa yang salah dengan dia?” tanyaku—yang sebenarnya retorik, karena aku tahu benar apa jawabannya.
“Bukannya Mama sudah berulangkali bilang sama kamu, dia itu orang Rote. Kamu juga tahu itu. Kita ini Chinese, Erica. Lagipula, kamu juga tahu, dia miskin. Dia cuma anak beasiswa yang kebetulan bisa masuk SMK Advent.” ujar Mama dengan penekanan di setiap kata. “Jujur, ya, Mama sudah bosan berulangkali kasih tahu kamu tentang ini.”
“Dan aku juga bosan bertanya, apa yang salah dengan Rote dan apa yang salah dengan anak beasiswa terus-menerus, selama bertahun-tahun,” sahutku kesal.
“Mama sudah bilang, kita Chinese, Erica. Dan dia miskin. Miskin. Mungkin dia memang baik sama kamu, mau mengantar kamu pulang, tapi itu semua tidak menjamin bahwa dia benar-benar baik. Kamu harus sadar, bisa saja karena kemiskinannya, dia diam-diam punya niat untuk mencuri. Kamu nggak boleh bergaul dengan orang-orang seperti itu.” jelas Mama panjang lebar, tetapi bagiku sama saja. Aku tetap tidak mengerti. Tidak masuk akal.
Aku memutar  bola mataku mendengar kata-kata Mama. Kurasa Mama terlalu banyak menonton sinetron. “Apa kami terlihat seperti sepasang kekasih yang berencana untuk menikah? Kami hanya bersahabat, Ma. Jadi, kurasa Mama nggak perlu berlebihan,” aku menatap Mama lurus-lurus. “Dan, kurasa Mama nggak tahu siapa dia, jadi bagaimana bisa Mama menuduhnya punya niat untuk mencuri tanpa alasan? Mama tahu, aku mengenalnya selama sebelas tahun. Sebelas tahun. Aku jauh lebih mengenal siapa William, dan itu nggak bisa dibandingkan dengan Mama yang nggak pernah ketemu dia sama sekali.”
“Tidak ada yang bisa menjamin kalau tidak akan ada rasa cinta tumbuh di dalam persahabatan antara laki-laki dan perempuan, dan semua orang bisa berubah. Selalu ada banyak kemungkinan dalam segala hal,” sahut Mama cepat. “Pokoknya Mama nggak mau tahu, kamu harus menjauhi laki-laki itu. Semua ini Mama lakukan karena Mama sayang kamu, Erica.”
Aku hanya diam, tak ingin menjawab lagi. Sayang? Bagiku itu bukan kasih sayang, namun tak lebih dari pengekangan dan ketidakadilan. Jadi, aku memilih masuk ke kamarku dan mengunci diriku di dalam sana.
Kau tahu, aku merasa kalah. Kalah telak.

***
“Halo, Pendek.”
Aku mengangkat kepalaku dari buku yang sedari tadi kubaca, dan kulihat William berdiri di depanku sambil tersenyum tipis.
“Aku tidak pendek. Aku tinggi,” kataku sok percaya diri.
William hanya mengangguk, masih dengan senyum tipis terusngging di bibirnya. Aneh. Biasanya dia akan mengatakan bahwa aku hanya setinggi dadanya, dan itu tak bisa disebut tinggi. Tetapi kali ini ia diam saja. Aneh.
Ia duduk di sampingku. “Roti cokelat kesukaanmu,” ujarnya sambil menyodorkan sebungkus roti cokelat padaku.
“Asyik! Kamu benar-benar mengenalku dengan baik, William. Aku menyayangimu!” seruku senang seraya membuka bungkusan roti itu dan memakannya dengan semangat. Aku menoleh ke arahnya yang masih duduk dengan tenang di sampingku. “Kamu nggak makan?”
William hanya menggeleng dan tersenyum tipis. Aku berdecak kesal. “Jangan senyum terus. Kamu harus makan biar gemuk, tahu.”
William tertawa pelan, tapi dia diam saja. Akhirnya aku bertanya, “Kamu mikirin apa, sih?” tanyaku. “Wajahmu seram. Dahimu berkerut begitu.”
“Oh ya?” tanyanya. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, “Aku bertanya-tanya, sampai kapan kita harus bertemu secara diam-diam terus tanpa alasan yang jelas.”
“Hah? Apa?” tanyaku sambil mengunyah.
William menunjuk salah satu sudut bibirnya dan menatapku lurus-lurus, sementara aku membersihkan sudut bibirku yang terkena krim cokelat. “Aku,” ia berhenti sejenak. “Menurutmu multikulturalisme itu seperti apa?”
Dia berbohong, aku tahu itu. Bukan itu yang ingin ia katakan.
Aku menutup bukuku, dan menyandarkan tubuhku di batang pohon. Aku berpikir-pikir sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Menurutku, multikulturalisme itu seharusnya seperti roda warna. Seperti berbagai warna yang terbagi-bagi dalam sebuah roda, yang menjadi warna putih—warna yang solid—ketika roda itu berputar.”
William mengangguk. Mau tidak mau, rasa penasaranku pun timbul. “Kenapa nanya?” tanyaku dengan mata melebar ingin tahu.
“Aku cuma pengen tahu, bagaimana pendapat seorang penulis tentang multikulturalisme,” katanya sambil tersenyum jenaka—yang bagiku terlihat dipaksakan saat ini.
Dan lagi-lagi aku tahu dia berbohong.
Aku mengamati wajahnya. Sungguh, kurasa William sedikit aneh hari ini. Ia tidak seperti biasanya. Aku tahu ia memang pendiam, tetapi aku merasakan aura yang aneh. Seperti bukan dirinya.
Ada apa dengannya?

***
William masih menatap bangunan yang ada di depannya dengan ragu. Menatap bangunan yang sudah sering—bahkan hamper selalu—ia kunjungi, walaupun hanya sampai di depannya saja.
Rumah Erica.
“Temennya Non Erica, ya, dik?” William menoleh ke arah sumber suara. Dilihatnya seorang wanita paruh baya yang membawa beberapa plastic bening berisi buah-buahan, daging, dan berbagai sayuran sedang tersenyum padanya.
“Eh, iya,” sahut William kikuk.
“Kenapa nggak masuk saja, tho, dik? Non Erica-nya ada kok di dalam,” sahut wanita paruh baya itu lagi dengan logat Jawanya yang kentara sambil membuka pintu gerbang rumah. Sepertinya ia pembantu di rumah Erica. “Saya baru tahu kalau Non Erica punya teman ganteng kayak gini,” kata wanita itu lagi.
William hanya bisa menatap wanita itu bingung, tak tahu harus menjawab apa. William memandang halaman depan rumah Erica yang cukup bersih dan indah. Berbagai tanaman bunga ada di sana. Udaranya sangat sejuk.
William masih menunggu sambil bersandar di dekat pintu gerbang. Namun, bukan Erica yang menyambutnya, melainkan ibunya.
“Ada perlu apa kamu?” tanya ibu Erica tanpa basa-basi.
“Selamat siang, Tante,” ucap William sambil tersenyum sopan. “Saya ada perlu dengan Erica.”
“Erica nggak ada di rumah. Jadi lebih baik kamu pulang.”
Aku diusir secara halus, pikir William. Namun sepertinya itu tidak cukup berhasil memengaruhinya, karena William masih saja tersenyum. “Saya rasa tadi pembantu rumah ini bilang kalau Erica ada di rumah.”
“Dia nggak tahu kalau Erica pergi,” sahut ibu Erica acuh tak acuh. “Lebih baik kamu pulang saja.”
William menatap lantai dua rumah itu. Kamar Erica. Dilihatnya sang pemilik kamar sedang mengintip ke luar lewat jendela. Ia menatap ibu Erica dengan salah satu alis terangkat, dan berkata, “Saya tahu Tante bohong.”
“Berani-beraninya kamu bilang saya bohong?!” bentak ibu Erica sengit.
William tersenyum. “Ternyata Tante sama transparannya dengan Erica. Keduanya tidak bisa bohong. Yah, saya bisa mengerti,” ujarnya santai sambil mengangguk-angguk pelan.
“Berani-beraninya kamu—“ kali ini ibu Erica benar-benar marah sekarang. “Dasar Rote orang miskin!”
Mata William melebar kaget. Apa katanya? Rote orang miskin?
“Apa begini orangtuamu mendidik kamu?” ibu Erica masih bicara. “Kamu benar-benar akan membawa pengaruh buruk untuk anak saya. Jangan pernah dekati anak saya lagi! Kamu cuma orang Rote yang miskin dan nggak tahu sopan santun!” teriaknya.
William masih mendengar ibu Erica bicara, ketika tangannya ditarik seseorang menjauh dari rumah itu.

***
Aku terus berlari sambil menggenggam tangan William erat-erat. Setelah kurasa cukup jauh dari rumah, kulepaskan genggamanku. “Kamu ngapain ke rumahku?”
"Apa seorang sahabat tidak boleh berkunjung ke rumah sahabatnya?” tanya William. Kilat kemarahan terlihat jelas di matanya.
“Bukan, itu—“
“Apa? Apa, Erica?!” bentaknya. Bentakannya cukup keras untukku hingga membuatku kaget. Dia pasti sangat marah. Ia tak pernah sekali pun membentakku, kau tahu?
“William.”
“Jadi ini alasan kenapa kamu selalu menghindar kalau aku tanya kapan aku boleh ke rumahmu, dan selalu bertemu denganku secara diam-diam?” tanyanya lagi. “Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?”
“Karena itu menyakitkan,”aku menatap William dengan tatapan nanar.
“Erica, aku sudah tahu pendapat Mamamu tentangku,” katanya lagi, kali ini lebih tenang, walaupun aku tahu ia masih marah. “Aku sudah tahu sejak aku mengantar kamu pulang seminggu yang lalu.”
Mataku melebar mendengar kata-katanya. Seminggu yang lalu? Itu artinya saat Mama mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal itu untuk kesekian kalinya padaku. Saat Mama memaksaku untuk menjauh dari William?
Jadi saat itu dia belum pulang? Dia benar-benar mendengar semuanya?
“Kamu bohong,” ujarku lirih.
“Kamu yang bohong sama aku,” katanya sengit. Kamu nggak pernah terus terang sama aku,” ia menatapku tajam. William berhenti sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, “kayaknya lebih baik kita nggak ketemu untuk sementara.”
“Kenapa?” Lagi-lagi mataku yang sipit ini dipaksa untuk melebar.
“Aku butuh berpikir. Dan kamu juga.”
“Tapi—“ gumamku, namun aku tak tahu apa yang harus kukatakan. “Aku nggak mau.”
William memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. “Lalu apa?”
Aku menatapnya ragu. Melihat William menatapku tanpa berkedip, akhirnya aku berkata, “Aku mau meyakinkan Mama kalau kamu bukan orang seperti yang dipikirkannya.”
Salah satu alisnya terangkat, matanya menyipit. “Kalau begitu, hampiri aku kalau kamu sudah berhasil melakukannya.”

***
“Ibu, saya mau tanya.”
Ibu Erica menoleh dari kanvas yang ada di depannya sejenak, kemudian melanjutkan gambarnya. “Tanya saja.”
“Ibu pelukis, kan?”
“Kamu lagi melihat saya melukis, Surti,” sahutnya pelan, sambil terus menggerak-gerakkan kuasnya.
“Oh, iya, benar,” gumam pembantu yang ternyata bernama Surti itu sambil mengangguk-angguk pelan. “Ibu pasti sering bermain dengan warna, ya?”
Ibu Erica hanya mengangguk singkat. Surti memutuskan untuk melanjutkan, “Ibu kenapa tadi marah-marah sama temannya Erica? Bohong, lagi.”
“Kalau pertanyaanmu nggak penting, lebih baik kamu keluar, siapkan makan malam,” ujar Ibu Erica sambil memilih-milih warna lain.
“Lho, justru ini penting banget, bu,” sahut Surti. “Saya tahu kenapa Ibu marah-marah. Tapi, Ibu tahu nggak, kalau multikulturalisme itu sama seperti warna-warna? Lebih tepatnya warna-warna yang ada di sebuah kertas atau sejenisnya, yang bentuk kertasnya lingkaran, terus dibagi-bagi seperti pie, dan setiap bagiannya diwarnai dengan warna berbeda?” lanjutnya lagi.
“Maksudmu roda warna?” gumam ibu Erica.
  “Nah, kayaknya sih itu namanya, bu,” ujarnya polos. “Saya pernah dengar, tapi saya lupa namanya.”
“Terus apa maksud kamu?”
“Roda warna itu kan kalau diputar jadi putih, bu. Nah, saya rasa multikulturalisme juga seharusnya begitu. Warnanya beda-beda, tapi ketika semua warna itu menyatu malah menjadi putih, warna yang solid.”
“Lalu?” Dahi ibu Erica berkerut.
“Jadi, maksud saya begini, tidak seharusnya ibu bersikap seperti itu pada teman Erica. Ibu seharusnya lebih menghargai perbedaan, seperti warna putih yang timbul pada roda warna yang berputar itu. Bukannya menghina seperti tadi. Selain tidak menghargai perbedaan dan membuat orang yang mendengar sakit hati, ibu juga seperti melarang Erica bergaul dengan orang lain yang berbeda darinya. Boleh-boleh saja untuk berhati-hati, tapi kita tak seharusnya berasumsi seenaknya. Tidak semua orang Rote, orang pribumi itu membawa pengaruh buruk, punya sifat jelek. Ada juga yang baik. Dan saya juga yakin, tidak semua orang Chinese itu baik,” jelasnya panjang lebar.
Surti menghela napas sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, “Saya tidak bermaksud menggurui, saya hanya ingin mengungkapkan pendapat saya. Kasihan Non Erica, lho, bu. Dia pasti sedih. Teman Erica juga pasti sedih dan marah,” katanya. “Lagipula, saya rasa teman Erica orang yang baik. Ibu saja bisa menerima saya yang orang Jawa selama tujuh tahun, masa iya ibu tidak bisa mengizinkan Erica berteman dengan temannya itu?”
Lagi-lagi Surti terdiam sejenak. “Itu saja yang ingin saya sampaikan. Maaf kalau seandainya ibu tersinggung. Tapi, semuanya kembali pada ibu sendiri,” ujarnya. “Saya permisi dulu, ya, bu.”
Setelah Surti pergi, ibu Erica menghentikan lukisannya. Ia tertegun. Kata-kata Surti terngiang-ngiang di telinganya.
Memang benar, nasehat bisa datang dari siapapun. Bahkan dari pembantu yang seringkali diremehkan sekalipun.

***
“Gimana?” tanyaku penasaran. “Mama bilang apa saja?”
“Rahasia,” sahut William sok misterius. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran bangku taman.
Saat ini kami berada di taman dekat rumahku. Mama memang meminta William untuk datang ke rumah hari ini. Penting, katanya.
“Kamu tadi sudah janji mau kasih tahu aku,” rengekku.
“Ini rahasia,” ujarnya santai.
Aku menyilangkan kedua tanganku di depan dada. Kurasakan William melirikku, namun aku tak peduli. Aku kesal.
“Jangan cemberut,” godanya seraya mengacak-acak rambutku gemas.
“Berantakan, tahu,” gerutuku.
William mengangguk-angguk pelan. “Oh, ada yang marah rupanya,” ujarnya sambil tertawa geli. “Baiklah, kamu ingin kuberitahu satu rahasia?”
Aku langsung menoleh, menatapnya dengan mata melebar semangat sekaligus ingin tahu. “Apa?”
William tertawa geli melihat reaksiku. Apa jangan-jangan.. Ia hanya ingin menggodaku?
“William!” jeritku kesal.
 “Aku serius,” ujarnya sambil berusaha menahan tawa. “Tapi, jangan kasih tahu siapapun, ya? Ini rahasia antara kita berdua,” katanya pelan sambil tersenyum jenaka.
Aku mengangguk setuju. Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “Aku ini keturunan Chinese.”
“Hah?!” seruku tak percaya. “Bohong!”
“Sudah kuduga kamu nggak akan percaya,” katanya. “Harusnya aku nggak kasih tahu kamu tadi,” ujarnya lagi, berpura-pura menyesal.
Aku mengamati wajahnya baik-baik. Ah, jika diperhatikan dengan lebih teliti, warna kulitnya kuning langsat. Dan satu hal yang tak pernah benar-benar kuperhatikan adalah matanya. Matanya sipit, walaupun tidak sepertiku yang akan terlihat seperti garis lurus ketika tersenyum ataupun tertawa. Tidak seperti mata orang Rote pada umumnya.
Astaga, mengapa aku baru menyadarinya setelah sebelas tahun?
“Bagaimana? Rahasia yang hebat, bukan?” ujarnya sambil tersenyum jenaka.
Yah, dialah William. William Alexander. Sahabat laki-laki pertamaku.

 The END

Ditunggu kritik dan saran dari kalian yaa. Terima kasih sudah membaca! GBu ^^

Comments

Popular posts from this blog

It’s You